in

Dea Panendra dan Giulio Parengkuan bintangi “Penyalin Cahaya”

Jakarta (ANTARA) – Dea Panendra dan Giulio Parengkuan menjadi bagian dari film “Penyalin Cahaya”, melengkapi departemen akting yang juga diperkuat Shenina Cinnamon, Chicco Kurniawan, Lutesha, dan Jerome Kurnia. Film “Penyalin Cahaya” disutradarai Wregas Bhanuteja, pemenang film pendek terbaik di Semaine de la Critique-Cannes Film Festival 2016 dan dua kali Piala Citra FFI 2016 dan 2019 untuk film pendek terbaik.

Dalam film “Penyalin Cahaya” yang diproduksi Rekata Studio dan Kaninga Pictures ini, Dea memerankan karakter Anggun, seorang sutradara teater di kampusnya. Sementara Giulio memerankan Rama, penulis skenario di teater yang sama dengan Anggun.

Teater tersebut merupakan sebuah komunitas di kampus yang mempertemukan mereka dengan Sur (Shenina Cinnamon), Tariq (Jerome Kurnia), dan juga Amin (Chicco Kurniawan).

“Saya mengagumi karakter Anggun, karena di usianya yang muda, dia pintar dan sudah bisa berpendapat sangat berani. Dengan berbekal banyak pengetahuan, Anggun tidak takut menunjukkan siapa dirinya. Dia jadi bisa survive di banyak hal. Karakternya dominan, tapi sebenarnya juga vulnerable, karena masih dealing sama hidup dia yang memasuki fase young adult. Di saat bersamaan, dia juga memiliki empati kepada orang lain, karena punya hati yang baik dan suka berbagi. Anggun ini sangat solid karakternya,” ungkap Dea.

Wregas sendiri meyakini Dea mau meninggalkan dirinya untuk berubah menjadi Anggun. Hal itulah yang Wregas butuhkan untuk karakter Anggun. Sebab, Anggun adalah sosok yang berwibawa, tegas, dan berjiwa kepemimpinan yang tinggi. “Saat mengobrol dengan Dea pertama kali di Festival Film Cannes 2017, saya sudah merasakan karisma Dea. Tanpa pikir panjang, saya merasa ia sangat tepat memerankan Anggun,” kata Dea.

Selain itu, lanjut Wregas, Dea juga memiliki karakter vokal karena juga seorang penyanyi. “Saya sebagai sutradara lantas meminta bantuan Dea untuk melatih vokal Shenina Cinnamon (pemeran utama Sur). Saya meminta Dea untuk melatih tenaga dialog, artikulasi, dan tinggi rendahnya nada untuk melambangkan emosi Sur. Mulai dari latihan fisik, pernafasan, dan tenaga vokal. Latihan tersebut sangat membantu kekuatan dialog Shenina,” kata Wregas.

“Proses mengeksplorasi karakter Anggun bersama Dea adalah bagaimana ia meninggalkan kebiasaan-kebiasaan sehari-harinya yang berbeda dengan karakter Anggun, misal sindiran, selera musik, bercandaan, amarah, dan lain-lain,” tambah Wregas.

Baca juga: “Tak Ada yang Gila di Kota Ini” berkompetisi dalam festival film Busan

Baca juga: Wregas Bhanuteja enggan buat film politik

Seperti halnya kepada Dea, keyakinan yang sama juga dirasakan Wregas saat mengobrol pertama kali dengan Giulio Parengkuan ketika casting. Sebab, di mata Wregas, aktor berusia 22 tahun itu memiliki pemikiran yang menarik tentang kehidupan. Contohnya, saat Giulio mengatakan bahwa kebahagiaan dapat muncul karena terpicu dari zat-zat di dalam tubuh hanya dengan melalui modifikasi cara bernafas.

“Banyak pandangan dia yang menarik soal estetika, filsafat, dan kemanusiaan. Karena itu, saya merasa Giulio cocok memerankan karakter Rama. Seorang karakter yang memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap kehidupan dan rutinitas sehari-hari manusia,” ujar Wregas.

Menguatkan pernyataan Wregas, Giulio mengungkapkan bahwa variabel menarik dari karakter Rama adalah eksplorasi tubuh yang dipadukan dengan konsep pemikiran filosofinya. Sebab, Rama dibesarkan dalam keluarga berlatar belakang seniman. Ia juga mempelajari ilmu-ilmu filsafat dalam kampusnya.

“Rama kemudian mengimplementasikan filosofi yang dipercayainya, serta menjahitnya menjadi satu bagian pribadi yang utuh. Itu merupakan salah satu tantangan dalam memerankan karakter Rama dan sebenarnya bagian yang paling menyenangkan juga,” kata Giulio.

Wregas menambahkan bahwa tantangan proses eksplorasi karakter Rama bersama Giulio adalah pengolahan tubuh. “Ada beberapa adegan di mana Giulio harus meninggalkan gerak sehari-harinya sebagai Giulio dan menceburkan diri dalam karakter dan kehidupan Rama. Latihan saya bersama Giulio banyak dihabiskan dengan diskusi tidak hanya bersumber dari skenario, tapi juga buku-buku nonfiksi, seperti buku-buku filsafat, psikologi, maupun budaya,” jelasnya.

Dalam perfilman Indonesia, baik Dea Panendra maupun Giulio Parengkuan telah menorehkan prestasi di awal karier keaktorannya. Dea memenangkan Piala Citra untuk Pemeran Pendukung Wanita Terbaik FFI 2018 karena aktingnya dalam film “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak”. Berkat film yang sama, ia juga diganjar penghargaan di Indonesia Movie Actors Awards 2018 (Pasangan Terbaik bersama Marsha Timothy) dan nominasi Pemeran Pendukung Wanita Terbaik Festival Film Tempo 2017. Dea lalu bermain dalam film “Orang Kaya Baru” (2019), “Bebas”(2019), “Toko Barang Mantan” (2020), dan “Affliction” (2021).

Sementara Giulio juga sudah menjajal berbagai peran lewat sejumlah film layar lebar. Sebut saja “Pertaruhan” (2017), “Dilan 1990” (2018), “Dilan 1991” (2019), “Milea:Suara dari Dilan” (2020), hingga “Ratu Ilmu Hitam” (2019). Ia juga terlibat dalam serial web, seperti “Pretty Little Liars Indonesia” (2020). Berkat debut aktingnya dalam film “Pertaruhan”, performa akting Giulio langsung diakui oleh beberapa ajang penghargaan, antara lain nominasi Pendatang Baru Terbaik di Indonesian Movie Actors Award 2017 dan nominasi Aktor Pendatang Baru Terpilih di Piala Maya 2017.

Film “Penyalin Cahaya” berkisah tentang Sur yang harus kehilangan beasiswanya, karena dianggap mencemarkan nama baik fakultas usai swafotonya dalam keadaan mabuk beredar. Ia tidak mengingat apa pun yang terjadi pada dirinya saat menghadiri pesta kemenangan komunitas teater di kampusnya. Dalam pesta tersebut, Sur tidak sadarkan diri. Ia lantas meminta bantuan Amin, teman masa kecilnya yang juga tukang fotokopi yang tinggal dan bekerja di kampus, untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya di malam pesta.

“Film ini menjadi salah satu cara untuk menyuarakan keresahan kami. Isu kekerasan seksual ini perlu didengar. Kami berharap banyak orang yang akan makin menyadari bahwa isu ini sangat dekat dengan kita. Dengan adanya film ini, mudah-mudahan orang bisa melihat dan memahami titik mula kekerasan seksual dan akhirnya mengetahui cara membantu para korban. Karena menariknya film ini adalah penonton akan dikasih lihat berbagai macam point of view, baik dari korban hingga pelakunya,” papar Dea.

“Penyalin Cahaya” merupakan film panjang pertama Wregas Bhanuteja. Sebelumnya, Wregas sudah melahirkan film-film pendek yang berhasil masuk kompetisi festival film internasional. Antara lain, “Lemantun” (pemenang Film Pendek Terbaik di XXI Short Film Festival 2015), “Lembusura” (berkompetisi di Berlin International Film Festival 2015), “Prenjak” (pemenang Film Pendek Terbaik di Semaine de la Critique-Cannes Film Festival 2016 dan Piala Citra FFI 2016), serta “Tak Ada yang Gila di Kota Ini” (pemenang Piala Citra FFI 2019 dan berkompetisi di Sundance Film Festival 2020).

Dalam membuat film “Penyalin Cahaya”, produser Adi Ekatama dan Ajish Dibyo dari Rekata Studio berkolaborasi dengan produser Willawati dari Kaninga Pictures.
Kaninga Pictures sendiri adalah rumah produksi yang pernah memproduksi film “Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak” (2017).

Baca juga: “Penyalin Cahaya”, film panjang perdana sutradara Wregas Bhanuteja

Baca juga: Enam film Indonesia ini tayang terbatas di laman Festival Film Locarno

Baca juga: Film Pendek Terbaik, Wregas Bhanuteja bawa pulang Piala Citra kedua

Oleh Nanien Yuniar
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
COPYRIGHT © ANTARA 2021

What do you think?

Written by Julliana Elora

260 warga binaan Rutan Baturaja divaksin COVID-19

Vaksin Covid-19 Moderna Mulai Disuntikan ke Masyarakat Palembang