Jika manufaktur berorientasi ekspor masih sulit dikejar dalam jangka pendek maka tidak ada alasan lagi untuk tidak berpihak pada industri substitusi impor.
JAKARTA – Devaluasi yuan Tiongkok dinilai bakal mengganggu kinerja perdagangan Indonesia karena akan melemahkan ekspor, dan sebaliknya mendorong kenaikan impor dari Negeri Tirai Bambu tersebut.
Akibatnya, defisit neraca perdagangan Indonesia bakal kian melebar sehingga memperlebar defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Ini akan menjadi sentimen yang kurang bagus bagi pergerakan nilai tukar rupiah, karena akan semakin bergantung pada aliran hot money.
Pada kuartal I-2019, Bank Indonesia (BI) mencatat neraca transaksi berjalan membukukan defisit 6,97 miliar dollar AS atau setara dengan 2,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Sekretaris ISEI Cabang Yogyakarta, YS Susilo, mengemukakan devaluasi nilai tukar yuan bakal semakin memukul kinerja ekspor-impor Indonesia dengan Tiongkok.
“Depresiasi yuan sudah pasti membuat harga barang ekspor dari Tiongkok semakin murah di pasar global. Ini tentunya akan melemahkan ekspor Indonesia karena kalah bersaing dengan barang buatan Tiongkok,” jelas dia, ketika dihubungi, Kamis (8/8).
Selain itu, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok sejak tahun lalu telah melemahkan perdagangan global, termasuk permintaan dari AS maupun Tiongkok, yang merupakan pasar ekspor utama Indonesia.
Padahal, lanjut dia, Indonesia sedang berupaya keras meningkatkan kinerja ekspor untuk membenahi masalah fundamental yang menggelayuti ekonomi RI sejak 2012, yakni defisit transaksi berjalan.
Susilo menambahkan, harga barang ekspor Tiongkok yang semakin murah juga akan membuat impor Indonesia dari Negara Panda itu semakin meningkat. Indonesia bisa kebanjiran barang impor murah dari Tiongkok.
“Ini yang perlu diantisipasi. Perang dagang yang meningkat menjadi perang mata uang bisa membuat Indonesia terdampak. Dari sisi ekspor, makin melemah. Sebaliknya, impor berpeluang besar melonjak. Akibatnya, defisit perdagangan dan CAD makin melebar,” tukas dia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada kuartal II-2019, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit 1,87 miliar dollar AS, atau meningkat ketimbang kuartal II-2018 yang sebesar 1,45 miliar dollar AS.
Sebagaimana dikabarkan, tensi perang dagang makin mendidih ketika Presiden AS, Donald Trump, pada Kamis (1/8), mengumumkan AS akan mengenakan tarif 10 persen pada produk impor Tiongkok yang tersisa senilai 300 miliar dollar AS, karena Beijing tidak menepati janji dalam membeli produk pertanian AS.
Kemudian, pada Senin (5/8), Tiongkok membalas dengan membiarkan mata uangnya melemah di bawah tujuh yuan per dollar AS, dengan ancaman akan menghentikan pembelian produk pertanian AS. Beberapa jam kemudian Trump lewat Twitter mengecam Tiongkok sebagai manipulator mata uang.
Benahi CAD
Pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengungkapkan strategi yang paling tepat untuk membenahi CAD adalah mendorong sektor manufaktur untuk meningkatkan ekspor barang agar surplus neraca barang meningkat.
“Jika manufaktur berorientasi ekspor masih sulit dikejar dalam jangka pendek maka tidak ada alasan lagi untuk tidak mengurangi impor, dengan berpihak pada industri substitusi impor,” papar dia.
Salamuddin mengatakan, selama ini kebijakan ekonomi negara dikuasai oleh para importir barang konsumsi dan eksportir komoditas yang merusak alam. Datanya jelas menunjukkan, ada pembiaran terhadap penurunan kinerja manufaktur nasional. Tahun lalu, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan PDB hanya tersisa tak sampai 20 persen, padahal 2014 masih di atas 21 persen, dan 2010 masih di atas 22 persen.
“Angka ini sebenarnya masih yang terbesar sumbangannya terhadap PDB. Namun, tidak ada langkah untuk mendukungnya. Tidak seperti kalau sawit dihadang Eropa, semua kebakaran jenggot. Atau ketika properti terpuruk, semua men-support dengan banyak cara termasuk mengakali NPL (kredit macet),” kata Salamuddin.
Menurut dia, variabel rupiah dan segala macam hitungan moneter tidak ada gunanya kalau fundamental yang didukung negara adalah ekonomi konsumsi berbasis impor dan ekspor komoditas berbasis perusakan alam. YK/ers/SB/WP