Jauh dari Kata Sejahtera, Diskriminasi terus Terjadi
Memperingati Hari Buruh Internasional yang jatuh besok (1/5), para buruh selalu beraksi menuntut kepada pihak perusahaan dan pemerintah untuk kehidupan lebih baik. Mulai dari kenaikan upah, sistem perlindungan pekerja, hingga penghapusan sistem kerja outsourcing atau alih daya.
Mencari pekerjaan lewat outsourcing sudah seakan menjadi tren saat ini. Banyak perusahaan yang merekrut karyawan dengan jasa outsourcing. Namun, dari pantauan Padang Ekspres di lapangan, terlihat aspek ketidaksamaan perlakuan karyawan tetap dengan outsourcing.
Seperti diakui, Budi (bukan nama sebenarnya, red). Ia bekerja di salah satu BUMN di Sumbar sejak tahun 1994. Namun hingga kini, status Budi masih sebagai pekerja outsourcing, belum diangkat menjadi karyawan tetap.
Budi menuturkan, ia sudah sering diberikan janji untuk diangkat menjadi karyawan tetap. Tetapi nyatanya tiap tahun ia masih melakukan perpanjangan kontrak yang diberikan perusahaan untuknya.
“Sedangkan pekerja outsourcing yang ibaratnya baru dari saya, bisa diangkat jadi karyawan tetap atau naik tingkat untuk bekerja di kantor yang pekerjaan mereka lebih ringan. Namun gaji yang diberikan sama dengan saya,” tutur Budi saat Padang Ekspres berkunjung ke rumahnya, Rabu (26/4).
Ia melihat adanya nepotisme di sana, karena karyawan yang dipindahtugaskan ke dalam kantor memiliki hubungan kerabat dengan karyawan tetap. Untuk masalah kenaikan gaji, Budi baru merasakan saat UMP atau UMR naik.
Selain itu tak ada kenaikan gaji signifikan. Padahal gaji yang diterima tak sesuai dengan pekerjaan yang dikerjakan olehnya. Kelengkapan keamanan yang dipakai saat bekerja pun harus menggunakan uang pribadi. “Lucunya saat ada tamu, baru kami diberikan perlengkapan safety dari perusahaan,” ucap lelaki 37 tahun itu.
Sistem kerja di perusahaanya bekerja menggunakan sistem shift, sembilan jam kerja dalam satu hari. Libur diberikan saat tanggal merah saja, sedangkan Sabtu dan Minggu, Budi harus tetap bekerja. Kecelakaan kerja pasti pernah terjadi seperti terjatuh atau kebakaran.
“Walaupun diberi fasilitas berobat, tapi yang disalahkan tetap kami. Padahal keamanan yang tidak memadai,” tutur Budi.
Sedangkan saat karyawan outsourcing ada yang meninggal pihak perusahaan ikut menjenguk ke rumah duka. Namun tidak memberikan uang duka atau kompensasi kepada keluarga.
Selain Budi, juga ada Zaki (bukan nama sebenarnya). Lelaki 27 tahun ini sudah dua kali menjadi karyawan outsourcing. “Dulu menjadi security, sekarang jadi asisten sopir,” ucapnya saat Padang Ekspres menghubunginya lewat telepon, Kamis (27/4).
Zaki bekerja sebagai security selama dua setengah tahun lewat jalur outsourcing. Selama itu ia tak pernah mendapat tunjangan kesehatan dari perusahaan.
“Setahun kerja saya sudah minta, namun tidak ada kejelasan. Katanya sudah dikirim ke tempat saya bekerja, namun saat saya tanya ke perusahaan tidak ada,” katanya.
Libur Lebaran pun, Zaki melihat ada perbedaan karyawan tetap dengan outsourcing. Karyawan tetap diberi libur selama 10 hari. Sedangkan ia hanya diberi libur selama 5 hari. Untuk bonus akhir tahun diberikan perusahaan pun ia tak dapat, sedangkan karyawan tetap mendapatkannya.
Tidak sampai di situ saja, sudah dua setengah tahun Zaki bekerja menjadi security, pihak perusahaan memindahkannya ke Kalimantan. Mendengar itu Zaki kaget dan bertanya alasan pemindahannya. “Katanya di Kalimantan ada membutuhkan saya,” katanya sambil tertawa.
Lucunya, Zaki menyebut, akomodasi ke Kalimantan menggunakan uang pribadi, walaupun perusahaan mengatakan akan menggantinya saat sudah di Kalimantan. “Saya tak percaya, jadi saya memilih berhenti,” ucapnya.
Zaki kembali meminta haknya untuk tunjangan kesehatan, jawaban perusahaan membuatnya tak habis pikir. Perusahaan mengatakan tunjangan kesehatannya sudah dikirim ke Kalimantan. “Memecat saya dengan cara halus, agar tak diberikan pesangon,” katanya.
Lepas dari pekerjaan menjadi security, Zaki kembali bekerja lewat jalur outsourcing sebagai asisten sopir di kampungnya. Kembali Zaki melihat adanya perbedaan karyawan tetap dan outsourcing.
Contohnya saja seperti nomor pokok wajib pajak (NPWP). Zaki mengatakan, perusahaan yang mengurus NPWP karyawan dengan cara memotong gaji karyawan untuk membayarnya.
“Karyawan tetap dapat surat pembayaran pajak, sedangkan saya tidak. Namun setelah lima bulan bekerja, saya mendapat surat peringatan dari pihak pajak. Berarti saya sudah lama tidak membayar pajak hingga mendapat surat peringatan. Sedangkan gaji yang saya terima tiap bulannya tidak berubah,” jelasnya.
Selain itu, Zaki tidak menerima uang lembur dari perusahaan. “Saya libur Sabtu dan Minggu, sedangkan tanggal merah saya tetap bekerja. Pernah hari Sabtu saya tetap bekerja, itu kan tibanya uang lembur tapi bulan selanjutnya gaji yang saya terima tidak ada penambahan,” ucapnya.
Untuk protes belum dilakukan Zaki, mengingat ia baru lima bulan bekerja sebagai asisten sopir. Perlakuan berbeda pun juga dirasakan Zaki saat diberikan keringanan bekerja.
“Kadang angkut barang melebihi kapasitas mobil. Kalau saya minta mobil tambahan tidak pernah diberikan. Sedangkan karyawan tetap langsung diberikan mobil tambahan. Itu kan memengaruhi keselamatan bekerja, membawa barang dengan kapasitas yang sudah melebihi muatan,” ujarnya.
Zaki mengatakan uang makan pun diberi sekali sebulan, sedangkan karyawan tetap sekali seminggu. Apa salahnya diberi sekali seminggu juga. Safety diberikan perusahaan saat bekerja yang tidak memenuhi standar juga dirasakan pekerja outsourcing lainnya, Adi (bukan nama sebenarnya). Sudah satu tahun lebih ia bekerja, namun ia merasa keamanan saat bekerja tidak cukup diberikan perusahaan.
Tidak hanya keamanan kurang, Adi juga tak diberi uang lembur oleh perusahaan. “Saya kerja per shift, sehari sembilan jam. Kadang saya lembur. Tapi tidak pernah diberi uang lembur,” ucapnya.
Melihat fenomena demikian, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sumbar mencatat di Sumbar, angka sengketa pekerja (buruh) dengan perusahaan masih terbilang tinggi. Termasuk pekerja yang statusnya outsourcing atau alih daya.
Data dihimpun SPSI Sumbar dari pada tahun 2016 tujuh kasus sengketa karyawan dengan perusahaan dengan jumlah karyawan 126 orang. Dari jumlah itu, tiga kasus terjadi kepada pekerja outsourcing, dengan jumlah karyawan mencapai 107 orang.
Perusahan yang mengalami sengketa dengan pekerja outsourcing ini bergerak di bidang pengadaan barang dan jasa, serta petugas keamanan. Sedangkan tahun 2017 hingga bulan ini, tercatat ada sembilan kasus dengan melibatkan 366 karyawan. Dari sembilan kasus, tiga kasus di antaranya melibatkan 10 pekerja outsourcing.
Sementara, data didapat Padang Ekspres dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumbar, membagi dua kasus sengketa antara karyawan dan perusahaan. Kasus perselisihan hanya mencangkup kasus pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tercatat pada tahun 2016 terjadi 205 kasus dengan 66 perusahaan terlibat. Itu dibagi juga menjadi bipartit dan mediasi. Bipartit itu perundingan antara karyawan dan perusahaan, tercatat ada 33 kasus. Sedangkan mediasi apabila saat berunding tidak adanya kesepakatan bersama, tercatat 160 kasus.
Pada tahun 2017 hingga bulan ini, adanya 28 kasus dengan 28 perusahaan. Bipartit sebanyak enam kasus dan mediasi 22 kasus. Jenis perusahaan yang mengalami sengketa dengan karyawan pada tahun 2016 dan 2017 bermacam-macam. Ada perkebunan, hotel, SPBU, perusahaan BUMN, yayasan, perbankan.
Sedangkan kasus pelanggaran, mencakup tunjungan hari raya (THR) yang tak diberikan, gaji di bawah upah minimum regional (UMR), tunjangan kesehatan tak diberikan, cuti tahunan tak diberikan, dan lainnya.
Tercatat pada tahun 2016 ada 196 perusahaan yang melanggar dengan total 406 jenis pelanggaran terjadi. Untuk tahun 2017 hingga bulan ini, adanya 30 perusahan yang melanggar dengan total 28 jenis pelanggaran yang terjadi. (*)
LOGIN untuk mengomentari.