Duka terasakan keluarga, sahabat, kerabat, dan masyarakat atas peristiwa yang menimpa Novel Baswedan, kini 40 tahun, yang masih dilakukan perawatan intensif.
Luka bakar akibat disiram air keras, melahirkan kecaman keras, juga tuntutan agar kasus kriminalisasi pada Novel Baswedan dibuka seterang-terangnya, termasuk dari Presiden dan Kapolri. Siapa pun merasakan betapa kejam dan biadab pelaku pengecut yang tak bertanggung jawab yang “menghabisi” atau mencelakai berat pada Novel Baswedan.
Juga doa terasakan ketika masyarakat luas secara bersama meneriakkan geram, marah, dan tak akan mendiamkan perkara ini. Adalah Novel Baswedan yang selama ini menjadi kebanggaan anak-anak “gondes”—anak-anak muda Semarang dan sekitarnya, menjadi kebanggaan lulusan SMAN 2 Semarang, kebanggaan angkatan kepolisian, juga para penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK.
Juga kebanggaan masyarakat Indonesia—meskipun ada menyinyirkan kasus penyiraman air keras pada Novel untuk menenggelamkan kasus tuntutan pada Ahok. Di negeri ini agaknya memang sangat beragam, juga dalam menyinyiri sesuatu.
Peristiwa kemanusiaan yang mencengkam, yang mengerikan bisa dikaitkan dengan peristiwa politik, soal Pilkada. Benar-benar absurd, dan itu bisa terjadi. Satu hal pasti: ini menunjukkan bahwa perlawanan pada perkara pemberantasan korupsi memang masif, menyeluruh, dan selalu ada bentuk-bentuk perlawanan yang sama ganas.
Di bidang hukum, atau keganasan yang terjadi di lapangan. Apa yang dialami Novel bukan baru sekali ini terjadi. Sebelumnya, Novel sudah “dihabisi” atau “dicederai berat” dengan ditabrak saat jalan kaki atau mengendarai motor, dan teror lainnya.
Tapi, tokoh satu ini tak mundur, tak menjadi takut. Dan menjadikan bahaya ini bagian dari risiko yang dialami, seperti setiap jenis pekerjaan dengan risikonya sendiri. Hari-hari ini, Novel Baswedan menjadi idola, menjadi bahan pembicaraan, menjadi contoh perlawanan pada para koruptor— apa pun yang harus dialami.
Bukan hanya itu, nilai terbesar yang ditularkan Novel Baswedan adalah serentak dengan itu ia berhasil menyatukan. Menyatukan sikap, terus melawan koruptor.
Kesadaran bersama mewujud bahwa korupsi dan koruptor itu perbuatan dan orang busuk—atau amat busuk, jahat—atau amat jahat. Ini menjadi sangat berharga untuk menyatukan pandangan, Inilah kemenangan yang sesungguhnya dari pengorbanan Novel Baswedan. Ini sekaligus menguatkan bahwa KPK masih akan terus melakukan tugasnya dan mendapat dukungan kepercayaan masyarakat.
Tidak seperti institusi-institusi sebelumnya yang memerangi korupsi dan terkapar di tengah jalan. Yang mentok dan kapok. KPK, dengan keberanian dan pengorbanan seorang Novel Baswedan, juga anggota yang lain, secara keseluruhannya, jauh lebih kukuh, lebih kuat, dan panjang usia dibanding yang diperkirakan.
Novel tidak sendirian. Ia merasakan ancaman, juga keluarganya— istri turut cemas. Dan kadang ini dirasa cukup berat. Novel tidak sendirian. Para penyidik yang lain, para penegak hukum yang lain, para jaksa, juga mengalami ancaman, mengalami teror, serta peristiwa yang menakutkan. Novel Baswedan tidak menyerah. Juga keluarga yang mendukungnya.
Juga masyarakat secara luas. Mereka berdoa untuk kesembuhannya segera, untuk meneruskan perjuangannya, dengan lebih banyak tokoh yang lain. Koruptor tak akan dibiarkan mengancam, apalagi menakutnakuti. Novel Baswedan membuktikan ini. Kita turut bangga, dan menyatu dengan sikapnya.