Selama 16 tahun keluarga korban dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Wasior, Papua Barat menanti keadilan. Alih-alih keadilan dengan menuntaskan kasus di pengadilan dan memberi ganti kerugian, yang dialami para korban dan keluarga adalah trauma berkepanjangan. Kata pendamping, korban dan keluarga trauma berat saat mesti berhadapan dengan aparat. Mereka juga mengalami stigma sebagai pengacau. Itu sebab mereka kerap harus didampingi manakala mengurus hal yang berkaitan dengan administrasi.
Peristiwa Wasior yang saat itu berada di provinsi Papua terjadi pada 13 Juni 2001. Saat itu aparat Brimob Polda Papua menyerbu Desa Wonoboi, Wasior. Serangan disebabkan konflik lahan hak ulayat yang berujung pada tewasnya anggota Brimob dan satu orang sipil di perusahaan PT Vatika Papuana Perkasa. Akibat serbuan itu tercatat empat tewas, satu mengalami kekerasan seksual, dan puluhan orang terluka.
Pada akhir Januari lalu Menteri Koordinator Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto menjanjikan penuntasan kasus Wasior yang terjadi pada dan juga Wamena pada 4 April 2003. Kata dia, Komisi Nasional (Komnas) HAM sebagai penyelidik telah diminta melengkapi berkas kedua kasus itu. Pasalnya berkas telah dikembalikan Kejaksaan Agung lantaran dinilai belum lengkap untuk dinaikkan ke tahap penyidikan.
Tapi alih-alih segera melengkapi, hingga 5 bulan kemudian Komnas HAM menyatakan kesulitan melengkapi berkas. Wakil Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laela mengatakan belum mendapatkan dokumen kelengkapan tambahan dari pihak rumah sakit dan kepolisian. Alasan dia, polisi belum memberikan dan rumah sakit setelah 5 tahun memusnahkan dokumen.
Menkopolkam Wiranto yang memerintahkan kasus itu dituntaskan, sepatutnya segera memanggil Jaksa Agung, Kapolri dan Komnas HAM. Duduk bersama untuk memastikan berkas segera dilengkapi dan membawa kasusnya ke peradilan HAM. Sembari itu, memberikan pemulihan bagi korban dan keluarga yang masih mengalami trauma setelah 16 tahun peristiwa terjadi.