in

Dulu Sumber Asap, Kini Sumber Asap Dapur

Lima enam tahun silam, kawasan seluas ratusan hektar di Desa Tebing Siring, Kecamatan Bajuin, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, ini, adalah sumber asap yang disebabkan oleh kebakaran lahan. Ilalang-ilalang yang kering meranggas, sangat mudah menjadi lidah api sekalipun tanpa pemicu atau intervensi manusia. Dalam setahun, kebakaran bisa terjadi dua hingga tiga kali. Kala itu, warga tak peduli jika terjadi kebakaran lahan. Mereka tak punya kepentingan untuk memadamkan api, karena kebakaran tersebut tidak terjadi di lahan yang mereka miliki.

Lahan Tebing Siring sebelum diolah oleh warga sekitar adalah ilalang kering yang mudah terbakar.
Lahan di lokasi/titik yang sama setelah dikelola oleh warga dan mendapatkan pendampingan dari Universitas Lambung Mangkurat.

Berkat program perhutanan sosial yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi, kawasan itu kini praktis nihil kebakaran. Sudah sejak tiga tahun terakhir ini, tidak pernah terjadi kebakaran di area tersebut. Kawasan tanah negara yang tadinya tidur dan dibiarkan menganggur, melalui program perhutanan sosial kini terkelola dengan baik. Warga sekitar hutan pun memperoleh tambahan penghasilan untuk hidup sehari-hari, serta memiliki harapan dan “tabungan masa depan” berupa tanaman karet yang mereka tanam.

Gajali Rachman, warga Desa Tebing Siring, Kecamatan Bajuin, Kabupaten Tanah Laut, bersama dengan warga lain sekeliling hutan, kala itu mengolah sebagian kecil lahan itu secara sembunyi-sembunyi alias ilegal. “Tanpa kepastian waktu itu. IUP (Izin Usaha Pengelolaan) dari Dinas Kehutanan pun kami belum punya. Dulu rintangannya banyak sekali, termasuk klaim-klaim atas tanah-tanah tersebut. Sekarang setelah ada program perhutanan sosial ini, kami bisa bekerja lebih tenang. Kami diberi izin mengelola –bukan memiliki—sampai dengan 35 tahun, dan bisa diperpanjang,” ujarnya kepada serombongan wartawan yang mendatangi lokasi tersebut, 22 November 2017.

Menurut Gajali, kepastian dan ketenangan dalam mengelola membuat warga merasa punya harapan. “Dulu memang kami juga tidak dikejar-kejar oleh polisi hutan. Tapi kami bekerja dengan rasa takut. Dengan legalitas dari Dinas ini, kami bisa membuat rencana lebih baik. Setelah ada izin kelola yang kami pegang, kami jadi lebih tenang dalam bekerja. Apalagi ada bimbingan dari Pak Mahrus,” imbuh Gajali yang juga Ketua Kelompok Tani “Ingin Maju” di desa tersebut sejak kelompok tani berbasis Hutan Kemasyarakatan itu terbentuk.

Mahrus yang dimaksud Gajali adalah Dr. Ir. Mahrus Aryadi, M.Sc, pengajar dari Fakultas Kehutanan Univesitas Lambung Mangkurat (ULM). Doktor di bidang ekonomi pembangunan tersebut sangat intens dalam melakukan pendampingan, mulai dari mencarikan mitra kerja sama, membantu warga untuk mendapatkan izin legal dalam pengelolaan hutan ini, sampai dengan mendidik mereka untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari lahan yang mereka kelola.

“Kami memberikan pelatihan kepada para petani tentang penanaman pohon karet yang benar. Termasuk membantu mereka mencarikan mitra untuk memberikan bibit pohon karet yang kualitas unggul, sehingga memberikan tingkat kepastian hidup yang lebih tinggi. Selain itu, kami juga memberikan pelatihan untuk membudidayakan madu dengan menanam pohon kaliandra dan kapuk sehingga mengundang lebah untuk datang,” ujar Mahrus.

Mahrus juga bercerita bagaimana ia dan timnya dari Pusat Perhutanan Sosial dan Agroforestri (Puspersaf) ULM berusaha meyakinkan kepada para petani untuk bersusah-susah di awal, termasuk saat memulai mengolah lahan ini. “Mereka tidak diberi upah. Hanya mendapat uang makan. Kami berikan penjelasan kepada mereka, bahwa ini investasi para petani untuk kehidupan yang lebih baik,” ujar pria asli Banjar ini. Dari sana pula ia meyakinkan kepada para pihak untuk membantu para petani, karena mereka sudah memiliki legalitas dalam pengelolaan hutan, sehingga kerja sama dengan pihak lain juga lebih mudah. “Jika tidak legal, tidak ada orang yang mau membantu,” imbuh Mahrus.

TIm Pusat Perhutanan Sosial dan Agroforestri Universitas Lambung Mangkurat bersama warga desa Tebing Siring yang menggarap lahan hutan negara melalui program perhutanan sosial.

Sekarang, dari sekitar 400 hektar lahan yang siap untuk menjadi lahan perhutanan sosial, kurang lebih sekitar 180 hektar sudah tertanami pohon dan diolah masyarakat.

Program pengelolan ini sendiri dilakukan secara bertahap. Mula-mula setiap warga mendapatkan 0,5 hektar untuk dikelola. Jika warga mengolah tanah yang dipercayakan kepada mereka, maka pada tahun berikutnya mereka akan mendapatkan hak pengelolaan tambahan. “Prinsipnya, perhutanan sosial ini memberikan hak pengelolaan. Jika mereka tidak mau mengelola dengan baik, dalam tahap selanjutnya mereka tidak akan mendapatkan tambahan lahan yang dapat dikelola,” kata Mahrus.

Setelah program ini berjalan dan legalitas sudah rampung, para petani juga diajari untuk mengembangkan usaha produktif lainnya. Gajali bercerita bahwa lahan tersebut juga bagus untuk ditanami jengkol. “Satu pohon jengkol itu ketika panen bisa mendapatkan kira-kira 15 bakul jengkol yang sudah terkelupas. Masing-masing bakul dihargai 100 ribu, sehingga untuk satu pohon, warga bisa mendapatkan sekitar Rp.1,5 juta,” kata Gajali. Sekarang ini, masing-masing warga yang sudah mengelola lahan sudah menanam kurang lebih sekitar 100 pohon, sehingga dalam beberapa tahun ke depan mereka bisa berharap mendapatkan tambahan penghasilan sekitar Rp150 juta, hanya dari buah jengkol.

Mahrus bersama timnya juga mengusahakan bibit-bibit tanaman lain untuk dikelola petani, seperti pohon durian, cempedak, rambutan, kemiri, dan sebagainya. Tak cuma itu. Para petani kini juga sudah dapat menikmati produksi lebah madu berkat adanya tanaman kaliandra di kawasan hutan. “Memang madu ini tantangannya tidak mudah. Musuh terbesarnya adalah beruang madu. Binatang ini sering datang merusak rumah madu yang kami usahakan. Mereka banyak berkeliaran di seputar hutan,” kata Gajali.

Selain itu, sekarang ini para warga juga diajari untuk mengelola peternakan sapi. “Kami mulai dengan menanam pakannya terlebih dahulu. Setelah tanaman rumput gajah tumbuh, lalu mereka mendapatkan bantuan bibit sapi,” terang Mahrus. Ia menambahkan, saat ini para petani sedang diajari untuk membuat produksi pupuk dari kotoran sapi tersebut.

Setelah sapi, pengembangan usaha yang dibuat di kawasan tersebut adalah kolam ikan. “Kendalanya masih banyak, karena kami belum dapat memproduksi pakan ikan sendiri yang berbiaya murah dan bahan-bahannya menggunakan sumber-sumber pakan setempat. Kalau mengandalkan pakan ikan pabrikan, harganya mahal,” kata Mahrus. Namun ia yakin, dengan pelatihan yang tepat para petani akan mampu memproduksi pakan ternak yang murah sehingga hasil budidaya perikanannya dapat menambah penghasilan warga.

Dengan pendampingan dan pengarahan yang tepat, kini warga Desa Tebing Siring, berhasil mengubah lahan sumber asap menjadi sumber “asap dapur”. Apalagi, mulai tahun depan, mereka sudah dapat berharap memanen getah karet yang mereka tanam.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Aceh Selatan Juara I Duta Posyandu se Aceh

Sejumlah Sungai di Medan Tercemar