in

Fokuslah

Oleh: Two Efly, Wartawan Ekonomi

Ada dua fakta ekonomi menarik awal Agustus ini. Pertama untuk pertama kalinya sejak tahun 2020 pertumbuhan ekonomi Sumbar berada di angka 5 persen. Namun sayangnya pencapaian ini “kurang sempurna” karena masih berada di bawah rerata pertumbuhan ekonomi nasional. Kedua, rendahnya kemampuan Pemprov bersama seluruh OPD (Organisasi Perangkat Daerah) menyerap anggaran. Hingga akhir semester I/2022 serapan anggaran baru tercapai 25,60 persen dari total APBD. Lebih parahnya lagi serapan belanja modal yang menjadi “kuenya” masyarakat, banyak menempati posisi buncit pula dengan serapan hanya 4,45 persen.

Benarkah begitu? Mari kita bicara data. Dikutip dari data www.bps.go.id hingga Q2/2022 atau akhir semester 1/2022 tercatat rerata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,48 persen. Secara year on year ekonomi Indonesia sudah masuk dalam pertumbuhan normal dan cenderung bertumbuhan dari Q to Q. Ini juga menunjukkan recovery ekonomi disektor makro dan mikro sudah berjalan. Kalaupun masih ada kekurangan itu wajar saja, apalagi global ekonomi pun masih berfluktuatif.

Jika nasional sudah recovery Sumbar pun begitu. Untuk pertama kali semenjak Maret 2020 re rata pertumbuhan ekonominya bisa menembus angka 5 persen. Inilah pencapaian tertinggi dalam dua tahun terakhir. Semoga saja trend positif ini berlanjut pada Q to Q dan y to y berikutnya.

Walau sudah tumbuh dan masuk “bilik normal” ada pula dua fakta menarik lagi. Satu fakta menyenangkan dan satu lagi fakta yang kurang menyenangkan. Untuk fakta menyenangkannya adalah untuk pertama kalinya juga Sumbar mampu re rata pertumbuhan ekonominya tercapai di atas target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Dalam Perda No 6 Tahun 2021 ditargetkan pertumbuhan ekonomi Sumbar tahun 2022 masih berada di kisaran 3,5 % – 3,9 %. Sementara realisasinya hingga Q2/2022 sudah tercapai di atas 5 persen. Apakah memang ini sebuah prestasi atau target dalam RPJM nya yang terlalu rendah? Analisislah sendiri, he he he.

Fakta kurang menyenangkannya apa? Semenjak 2020 re rata pertumbuhan ekonomi Sumbar selalu tercecer di bawah re rata pertumbuhan ekonomi nasional. Lihatlah data teranyar. Hingga Q2/2022 re rata pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5,58 persen sementara re rata pertumbuhan ekonomi Sumbar hanya 5,08 persen. Masih ada disparitas antara capaian nasional dibandingkan capaian Sumbar. Sumbar kembali tertinggal sebesar 0,54 persen. Betul secara angka ini relatif kecil namun dalam aplikasi di lapangan angka 0,54 persen sangatlah besar dampaknya.

Serapan Anggaran sangat Rendah

Bila kita kuliti lebih dalam, ada lagi fakta menarik lagi dari serapan APBD 2022 ini. Besaran pendapatan jauh melampaui besaran pengeluaran. Total pendapatan daerah yang mampu dicatatkan sampai 31 Juli 2022 sebanyak Rp 2,92 Triliun atau tercapai 49,10 persen sedangkan pengeluaran tercatat hanya Rp 1,59 Triliun atau tercapai 25,60 persen. Artinya, lebih banyak masyarakat menyerahkan uangnya kepada pemerintah dibandingkan dengan pemerintah daerah membelanjakan uangnya untuk kepentingan masyarakat.

Konsep seperti ini kalau untuk sebuah lembaga bisnis sangat bagus. Lebih besarnya pendapatan dibandingkan pengeluaran adalah langkah efisiensi yang sangat diinginkan pemegang saham. Semakin besar disparitas antara pendapatan dengan pengeluaran maka semakin besar margin didapatkan. Jika pendapatan tercapai 49,10 persen sedangkan pengeluaran hanya 25,60 persen maka ada margin gross sebesar 23,50 persen. Sayangnya Pemprov bukanlah perusahaan. Pemprov adalah lembaga pelayanan dan melayani masyarakat. Tidak boleh pemerintah berpikir dengan kerangka bisnis. Prinsip dasar pemerintahan adalah pengelolaan anggaran efisien sedangkan pelayanan kepada masyarakat harus maksimal.

Benarkah serapan belanjanya rendah? Mari kita bicara data. Hingga akhir Juli 2022 ternyata dari Rp 5,22 Triliun total belanja yang sudah dialokasikan baru mampu dibelanjakan sebanyak 25,60 persen atau setara dengan Rp 1,59 Triliun. Kemampuan rata rata Pemerintah Daerah Sumatera Barat bersama seluruh OPD untuk belanja hanya 4,26 persen atau setara Rp 250 Miliar per bulan. Angka ini berada jauh di bawah re rata normal dengan re rata 8,33 persen per bulan atau setara Rp 500 Miliar per bulan.

Dari tiga bentuk belanja pemerintah hanya belanja operasi yang sedikit lebih bagus capaiannya. Hingga akhir Juli 2022 serapan belanja operasi tercapai 32,54 persen atau setara Rp 1,36 Triliun. Untuk kelompok belanja operasi inipun didominasi belanja pegawai Rp 876 Milar atau 40,25 persen dari pagu belanja tahun 2022 sebesar Rp 2,17 Triliun. Setelah itu disusul belanja barang dan jasa sebanyak 24,38 persen atau setara Rp 476 Miliar dan terakhir ditempati belanja hibah sebesar 21,34 persen atau setara Rp 12,4 Miliar.

Bagaimana dengan belanja modal? Ini yang lebih parah lagi. Hingga 31 Juli 2022 tercatat kemampuan Gubernur/Wagub bersama OPD nya menyerap belanja modal hanya sebesar 4,45 persen atau setara Rp 43 Miliar. Angka ini sangat jauh dari pagu anggaran yang sudah diketuk palukan sebesar Rp 997 Miliar. Untuk belanja modal ini penyerapan tertinggi adalah untuk belanja modal tanah dengan capaian 14,24 persen atau setara Rp 1,5 Miliar. Setelah itu disusul oleh belanja modal untuk jalan, jaringan dan irigasi dengan serapan 5,54 persen atau setara dengan Rp 22,1 Miliar. Di tempat ketiga terlihat belanja modal peralatan dan mesin dengan serapan 5,50 persen atau setara Rp 13,7 Miliar, belanja modal gedung dan bangunan dengan serapan 2,20 persen serta belanja modal asset dengan serapan 0,06 persen atau setara Rp 28 Juta.

Sementara itu untuk belanja tak diduga terserap 0,40 persen dan belanja transfer terealisasi 18,13 persen. Artinya, secara akumulasi total belanja mulai dari belanja operasi, belanja modal, belanja tak diduga dan belanja transfer hanya mampu direalisasikan sebesar 25,60 persen. Capaian sangat jauh dari kata cukup apalagi bagus.

Bagaimana dengan pendapatan? Total pendapatan daerah relatif bagus. Hingga akhir semester 1/2022 tercatat sebanyak Rp 2,92 Triliun yang bersumber dari pendapatan daerah sebesar Rp1,33 Triliun dan pendapatan transfer sebanyak Rp1,56 Triliun. Untuk pendapatan daerah masih di dominasi oleh pajak daerah Rp 1,04 Triliun, lain lain PAD yang sah Rp189 Miliar dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (laba BUMD-red) Rp 92,3 Miliar.

Fokuslah Mengawal APBD

Secara teoritis APBD adalah senjata utama Kepala Daerah dalam membangun daerah. Melalui anggaran tersebut seorang Kepala Daerah membangun daerah sesuai dengan visi dan misi yang sudah dijanjikannya kepada masyarakat. Untuk menjalankan visi dan misi itu Kepala Daerah dibantu oleh jajaran “kabinetnya”.

Seluruh anggaran terdistribusi ke OPD dan OPD lah yang mengkreasikannya menjadi program kerja. Baik program kerja yang linier dengan program strategis nasional, singkronisasi antar daerah maupun Program Unggulan (progul-red). Minimnya serapan anggaran selama semester I/2022 menunjukkan bahwa Kepala Daerah bersama OPD nya tidak mampu mengelola APBD dengan baik. Pemicu bisa macam-macam. Bisa jadi Kepala Daerah yang tak focus mengawal APBD nya atau bisa jadi juga kepala OPD yang tak mumpuni. Apakah karena minim kreativitas atau rasa ketakutan yang berlebihan.

Secara prinsip, rendahnya serapan APBD tak bisa anggap biasa biasa saja. Kemampuan yang rendah dalam menyerap APBD jelas menunjukkan ada masalah dilingkungan Pemprov. Ingat, ini sudah bulan Agustus (Awal semester 2/2022). Waktu yang tersisa hanya empat bulan lagi.

Selain waktu yang semakin mepet dengan ujung akhir anggaran 2022, tahun 2022 adalah tahun kedua Duet Mahyeldi-Audy. Waktu yang tersedia untuk menunaikan “janji politik” tidaklah lama lagi. Lebih kurang 1,5 tahun lagi waktu efektif yang tersisa dan dapat dipergunakan untuk menunaikan janji. Untuk itu fokuslah!

Melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan fokuslah mengawal APBD. Ingat, Sumbar ini tidaklah daerah industri. Capital in flow ke Sumbar sangatlah terbatas. Satu-satunya harapan masyarakat untuk trigger ekonomi adalah APBD. Kalau perlu pelototi dan evaluasi setiap saat kinerja dari OPD tersebut. Hentikan atau kurangilah “safari-safari” politik yang tak penting bagi masyarakat banyak. Lebih baik energi kita diarahkan untuk memacu pembangunan daerah karena masyarakat sangat membutuhkan itu. Terakhir, jangan sampai muncul anomali. Dalam brangkas daerah uang mengendap, sementara belanja modal untuk pembangunan tersendat-sendat. (***)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Alasan Kenapa Bendera Indonesia Merah Putih

Mensos Jenguk Korban Penyekapan Yang Dirawat di RSUD Suwondo