Hari-hari ini semua orang bicara Pancasila. Semua fokus kepada Bhinneka Tunggal Ika, sebuah konsep bahwa sejatinya bangsa ini tersusun dari banyak perbedaan maka usaha apa pun untuk menolak keberbedaan adalah upaya menghilangkan akar.
Indonesia sebagai sebuah negara bangsa merdeka pada 17 Agustus 1945. Sebentar lagi perayaan akan digelar, upacara bendera menjadi agenda rutin tahunan, film perjuangan dan cerita di seputar Proklamasi kemerdekaan hilir mudik di koran, media sosial, bahkan di ruang gelap bioskop. Tapi tak ada cerita tentang Garuda di sana.
“Padahal, Garuda adalah lambang negara, semesta simbolik yang menyatakan seluruh unsur yang membentuk bangsa. Lambang negara kita menyimpan akar dan tujuan bangsa ini didirikan, tapi entah kenapa cerita tentang sejarah terbentuknya lambang negara kita itu sangat minim, baik di traktat resmi sejarah negara maupun buku sekolah,” kata dosen Jurusan Televisi Fakultas Media Rekam, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Nanang Rachmat Hidayat, saat dijumpai Koran Jakarta, di kediamannya yang ia jadikan sebagai Museum Garuda, di Bantul, Senin (14/8).
Sejak 2003, Nanang bertanyatanya bagaimana bisa cerita tentang lambang negara bisa begitu minim. Setelah puluhan tahun pencarian panjang ke seluruh pelosok perpustakaan dan pakar sejarah, baru-baru ini dia baru menemukan sebuah buku resmi terbitan negara tahun 1982 yang bercerita lengkap sejarah lambang Garuda sekaligus diceritakan sesuai kelas sekolah. Tahun 2006, Nanang mengambil master di ISI. Tesisnya bertajuk Mencari Telur Garuda.
Kecintaannya kepada Garuda makin menjadijadi. Ratusan, kemudian ribuan pernak-pernik Garuda Pancasila berupa relief, cetak, aluminium, jam tangan, bahkan Spinner Garuda ia miliki. Tepat 17 Agustus 2011, dia ubah rumahnya menjadi Museum Garuda. Sejak itu dia dikenal sebagai Nanang Garuda.
Gerbang Paling Kuat
Bagi Nanang, Garuda Pancasila adalah gerbang paling kuat yang bisa membawa siapa pun untuk memasuki alam pikir dan warisan gen manusia Indonesia. Nanang ngeri membayangkan rakyat Indonesia yang tak punya tautan dengan cerita di seputar Garuda. Itu artinya, hidup tak punya akar, tak memiliki masa lalu, apa pun itu.
Negara bangsa hanya konsep-konsep di atas kertas KTP, Nomor Pajak, kertas ujian, dan sesekali mengharu biru dalam pertandingan badminton dan sepak bola untuk kembali dicaci maki jika yang hadir hanyalah kekalahan demi kekalahan. Menurut Nanang, Garuda menyimpan cerita mitologi agama Hindu di mana Garuda sebagai raja para burung dikenal oleh hampir semua kebudayaan modern hari ini.
Thailand menjadikannya sebagai lambang negara seperti Indonesia. Bangsa Jepang mengenalnya sebagai karura. Dan elang digunakan oleh banyak negara sebagai lambang negara termasuk Sang Adidaya penguasa dunia hari ini Amerika Serikat. “Sebagai binatang mitologis, Garuda menjadi pralambang dari kekuatan, kesetiaan, kemerdekaan dari belenggu, kebebasan untuk terbang ke seluruh jagat raya.
Dongeng Garuda jarang dikenal oleh rakyat apalagi generasi muda hari ini,” kata Nanang. Sebagai kronik sejarah perancangan lambang negara, Garuda Pancasila akan membawa pada perjalanan M Yamin dan Ki Hadjar Dewantara membuka teks-teks kuno dan menyusuri candi-candi di Indonesia melacak relief-relief Garuda.
Candi Sukuh di Karanganyar, Jawa Tengah, candi yang banyak dilupakan dan tak tercatat sebagai destinasi wisata populer, ternyata justru menyimpan relief Garuda terbanyak, yang disusul oleh Candi Kidal di Malang. Perjalanan merancang lambang, bagi Nanang, menjadi gerbang memasuki alam pikir para pendiri bangsa dalam merumuskan diri mereka, bangsa Indonesia.
Atas perintah Soekarno pada Januari 1950, Sultan Hamid II, M Yamin, Ki Hadjar Dewantara, Basoeki Resobowo, MA Pellaupessy, dan RM Ngabehi Poerbatjaraka berjalan merumuskan lambang negara. “Yang paling menarik adalah fakta yang disembunyikan bahwa Dirk Ruhl, warga negara Jerman, adalah perancang terakhir Garuda Pancasila yang kemudian ditetapkan sebagai rancangan final oleh Presiden Soekarno,” kata Nanang.
Tak lama setelah penetapan lambang negara, Sultang Hamid II justru ditangkap atas tuduhan keterlibatannya dalam pemberontakan Westerling. Basoeki Resobowo terlibat dalam Lekra. Nanang ingin menyatakan kronik perancangan Garuda Pancasila sebagai lambang negara sebenarnya justru akan membawa kepada seluruh kekayaan masa lalu yang menjadikan kita hari ini ada.
Naskah-naskah kuno, candi, dan segala pencapaian dan kegagalan para pendiri bangsa, bahkan keterbukaan para pendiri bangsa untuk memesan sesuatu kepada orang asing. Garuda, menurut Nanang, adalah masa lalu gemilang ribuan tahun yang telah berhasil membangun Candi Borobudur yang megah dan kosmologis, Candi Sukuh yang penuh teka-teki, dan cerita perjalanan orang-orang Nusantara yang sudah keliling langit sebagaimana terekam dalam sebuah kitab kuno.
Garuda yang pernah terbang keliling angkasa pada suatu periode kebangkitan pengetahuan di barat meski takluk dalam sangkar, anakanak terbaiknya terus mengenangnya dan menjadikannya sebagai kawan dialog, sebagaimana para pendiri bangsa. Sayang, cucu-cucunya, cicit-cicitnya, terus melupakan bahkan tidak lagi percaya bahwa dalam darahnya tersimpan gen terbaik, manusia utama dengan hati dan otak yang telah berhasil menjawab jutaan pertanyaan, marabahaya, perang, dan wabah penyakit.
“Kita adalah anak turun para pengembara semesta, manusia yang penuh percaya diri menghadapi segala hal dan memburu jawaban hingga ke bulan bahkan matahari. Sayang, kita dipaksa lupa,” kata Nanang. Nanang percaya, belum telat untuk kembali sebab Garuda Pancasila selalu ada di dekat kita, di dinding ruang tengah kita, tinggal kita mau kembali menyapanya atau tidak. Eko Sugiarto Putro/N-3