in

Hak Konsumen Bisnis Sepak Bola

Agustinus Simanjuntak
Dosen FBE UK Petra Surabaya

CUKUPLAH tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober lalu menjadi dukacita terakhir dalam dunia bisnis sepak bola kita. Tragedi yang menewaskan 131 orang itu menjadi bahan refleksi bagi semua stakeholder bisnis sepak bola.

Saatnya mengembalikan sepak bola ke tujuan mulia, yaitu kegembiraan, persahabatan, prestasi, dan keindahan permainan. Tujuan sepak bola bukan sekadar penaklukan lawan. Apalagi jika penaklukan itu sampai memakan korban jiwa.

Karena itu, produsen pertandingan (penyelenggara, manajemen klub, pelatih, dan pemain) bertanggung jawab atas hak-hak penonton yang telah membeli tiket pertandingan. Produsen wajib menyuguhkan stadion yang paling kondusif bagi penonton dalam menikmati indahnya pertandingan.

Klub sepak bola pun meraih kemenangan dengan standar tanding yang berkualitas, bukan asal menang. Dengan demikian, penonton wajib dianggap sebagai konsumen yang hak-haknya diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Hak-hak yang dimaksud adalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menikmati permainan sepak bola. Juga hak atas informasi yang benar dan jujur mengenai kondisi stadion serta lingkungan pertandingan.

Selain itu, penonton berhak mendapat pembinaan dan edukasi terkait layanan (di luar maupun di dalam stadion). Bahkan, penonton berhak mendapat kompensasi atau ganti rugi jika layanan dan tontonan yang diterima tidak sesuai dengan yang seharusnya.

Liga yang mengabaikan estetika permainan dan keselamatan penonton seharusnya mengembalikan biaya tiket karena penonton telah kehilangan haknya untuk menikmati hiburan. Penonton tidak hanya disuguhi hasil pertandingan, tetapi kesan indah yang dibawa pulang walaupun (misalnya) tim kesayangannya kalah.

Jadi, sepak bola merupakan wahana hiburan estetis yang bisa memulihkan kondisi manusia dari kejenuhan dan kelesuan hidup. Sepak bola bisa juga mencerminkan kualitas hidup suatu bangsa lewat karakter pemain dan teknik bermain yang indah.

Hak lain penonton ialah mendapat bantuan hukum (advokasi) terkait sengketa layanan dengan produsen sepak bola, terutama tentang kerugian yang diderita penonton. Itu sebabnya, liga sepak bola tidak boleh dicampuri dengan aktivitas bisnis ilegal, seperti perjudian dan persekongkolan bisnis (jual beli kemenangan) yang merusak kualitas liga.

Ini tidak sesuai dengan Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen bahwa penyelenggara wajib beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya dan menjamin standar mutu layanan (stadion dan pertandingan).

Bila perlu, penonton diberi kesempatan untuk menguji, mencoba kenyamanan dan keamanan stadion sebelum pertandingan. Demikian pula garansi atau kompensasi atas pelayanan yang buruk. Pola tersebut sudah seharusnya diterapkan guna mendorong liga yang berkualitas.

Sebab, bisnis sepak bola sudah menjadi salah satu mesin globalisasi/penghubung komunitas lintas negara, sesuai visi Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) 2020–2023, yaitu Making Football Truly Global.

Paradigma Produsen Liga

Dunia sepak bola telah memengaruhi jutaan penonton di Indonesia. Karena itu, standar proteksi dan kualitas layanan penonton seharusnya mengacu pada standar sepak bola internasional. Di sini pemain dan penonton bukan sekadar objek sumber pendapatan besar bagi penyelenggara dan klub.

Pola untung sebesar-besarnya dengan pengeluaran sekecil-kecilnya (utilitarianisme) justru berpotensi melahirkan risiko bahaya kecelakaan atau kerusuhan fatal di stadion sepak bola. Sebab, manajemen risiko di dalam dan luar stadion jadi lemah.

Misalnya, penyelenggara tidak berniat mengidentifikasi karakteristik penonton, jalur evakuasi dan pintu darurat tidak cukup, serta kondisi suhu stadion yang panas sehingga berpotensi menaikkan sifat agresif penonton.

Itu butuh tata kelola yang baik. Untuk itu, produsen sepak bola harus dianggap sebagai korporasi bisnis yang wajib memiliki visi-misi layanan mulia. Visi-misi korporasi sepak bola terkait dengan sportivitas dan penghargaan yang tinggi terhadap hidup manusia.

Ini sesuai dengan Pasal 3 UU Perlindungan Konsumen bahwa perlindungan dimaksud harus mengangkat harkat dan martabat penonton dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian produk (stadion dan pertandingan).

Karena itu, visi produsen perlu ditopang dengan kode etik bagi seluruh pengelola dan staf korporasi sepak bola sebagai wujud komitmen terhadap layanan berkualitas tinggi bagi penonton. Bahkan, visi korporasi diselaraskan dengan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan.

Sepak bola bukan malah membentuk polarisasi penonton/suporter, melainkan proses integrasi dukungan dan pujian terhadap pertandingan yang berkualitas. Misi produsen sepak bola bukan hanya soal investasi atau aliran pendapatan berkelanjutan, tetapi sebuah misi pendorong patriotisme ke arah penghargaan hak asasi manusia dan kebersamaan dalam menghadapi tantangan umat manusia.

Konsep dasarnya adalah jiwa, moral, dan keabadian sepak bola bersumber dari Tuhan.
Konsep tersebut menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi korporasi dan pemain sepak bola dalam menampilkan bakat dan permainan tercantiknya.

Jadi, spirit pertandingan bukan karena dorongan uang/materi. Kepemilikan jiwa merupakan kondisi sine qua non dalam bertanding yang berkualitas tinggi. Artinya, motivasi permainan terbaik bukan semata karena uang/materi, tetapi lahir dari cita-cita luhur pelatih dan pemain untuk tampil terindah di hadapan penonton (aspek metafisik).

Aspek metafisik ini pula yang membuat seluruh pemain bangkit dengan semangat yang melampaui realitas materi (bayaran). Budaya korporasi dan karakter permainan sepak bola seharusnya merupakan ekspresi kualitas spiritualitas dan moralitas yang abadi. Budaya seperti ini bisa menjadi warisan yang kuat bagi generasi sepak bola berikutnya.

Misalnya warisan integritas korporasi dan pemain, kekayaan teknis permainan, serta nilai juang dan optimisme sebagai pemain hebat. Sebaliknya, paradigma utilitarianisme dalam bisnis sepak bola bakal sulit membangun warisan pertandingan yang legendaris. Paradigma ini justru berbahaya bagi kenyamanan dan keselamatan penonton karena perlindungan penonton bukan lagi prioritas. (*)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Peninjauan Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, di Stasiun Tegalluar, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, 13 Oktober 2022

Gua Homo Sapiens Tertua ASEAN Dilelang, Pernah Gegerkan Dunia