Diusir Warga, Dilarang Sekolah, Ditolak Rumah Sakit
Hati Puger Mulyono bisa dibilang sangat mulia. Meski hidupnya pas-pasan, dia rela mendedikasikan diri untuk merawat anak-anak dengan HIV/AIDS (ADHA) yang dikucilkan, bahkan oleh keluarga mereka sendiri.
Teriknya matahari Solo, Rabu (1/2), tidak lantas membuat Puger bermalas-malasan. Dengan sigap, pria 42 tahun itu membantu orang-orang memarkirkan kendaraan mereka di depan kantor Indosat di kawasan Purwosari.
Sehari-hari, Puger memang bekerja sebagai tukang parkir. Sebelum menjadi tukang parkir, dia bekerja sebagai tukang tambal ban di lokasi yang sama. “Tapi, kena gusur karena ada pembuatan taman. Akhirnya, saya beralih profesi jadi tukang parkir di sini,” cerita Puger ketika ditemui di tempat kerjanya, Rabu siang.
Puger bekerja sejak pagi hingga sore sebagai juru parkir. Di sela pekerjaannya, dia menyempatkan diri untuk menjemput anak-anak yang tinggal di Rumah Lentera dari sekolah mereka.
Dari pekerjaannya sebagai tukang parkir, Puger mengantongi Rp 50 ribu setiap hari. Bukan pendapatan yang besar karena Puger harus menghidupi istri, empat anak kandung, serta anak-anak Rumah Lentera yang berjumlah 11 orang. Belum lagi ditambah tiga pengasuh yang juga tinggal di Rumah Lentera.
Jika dihitung-hitung, pendapatan Puger sebagai tukang parkir hanya Rp 1,5 juta sebulan. Itu pun jika setiap hari dia bekerja. Sementara itu, kebutuhan keluarganya dan Rumah Lentera bisa sampai Rp 10 juta sebulan. Bahkan, kadang lebih dari itu.
Misalnya, Januari lalu, pengeluaran pribadi Puger dan Yayasan Rumah Lentera yang mengurusi anak-anak dengan HIV/AIDS mencapai Rp 13 juta. Sebab, ada anak asuhnya yang harus diopname di rumah sakit.
Meski begitu, kondisi serba kekurangan tersebut tidak lantas membuat semangat Puger kendur. Dia juga tidak mau menyerah untuk mengurus anak-anak Rumah Lentera.
Puger bercerita, sudah cukup lama dirinya punya perhatian lebih kepada para penderita HIV/AIDS. Pada 2006 dia sempat menjadi relawan di LSM Mitra Alam yang bertugas mengurus para pecandu narkoba jenis suntik. Dari aktivitas itulah dia berkenalan dengan banyak orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Jiwa kemanusiaan Puger pun tersentuh.
“Apalagi, pada 2010 penderita HIV/AIDS di kalangan ibu rumah tangga meningkat. Saat itu kami memprediksi pasti akan banyak anak yang tertulari orangtuanya,” tutur Puger.
Benar saja, pada 2012 Puger dan kawan-kawan anggota LSM mendapat kabar dari RS Moewardi Solo bahwa ada ADHA di rumah sakit mereka. Anak berusia 1,5 tahun itu sudah tidak punya orangtua dan akhirnya dibawa pulang oleh neneknya setelah 22 hari dirawat di rumah sakit.
Begitu mendapat informasi tersebut, Puger langsung meluncur ke rumah nenek yang merawat si anak tersebut. Tujuannya, menampung anak itu jika memang neneknya tidak mampu mengurus lagi.
“Dan, ternyata benar, kakek-neneknya sudah menawarkan anak itu ke mana-mana, termasuk ke panti-panti. Tapi, tidak ada yang mau karena tahu anak itu sakit,” ungkapnya.
Puger akhirnya membawa pulang anak tersebut. Dia lalu mencarikan tempat tinggal. Kala itu masih berupa kamar kos-kosan dengan seorang mantan WPS (wanita pekerja seks) sebagai pengasuhnya.
Semakin hari, jumlah ADHA yang ditampung Puger semakin banyak. Dia pun harus memutar otak untuk mencari tempat tinggal yang layak. Teman seperjuangan Puger di LSM, Yunus Prasetyo, menjual motornya untuk menyewa rumah kontrakan di kawasan Mangkuyudan selama dua tahun.
Kemuliaan hati Puger dan teman-temannya untuk mengurus ADHA ternyata tidak selalu direspons positif oleh masyarakat. Menurut Puger, masyarakat, tampaknya, malah berlomba-lomba menolak keberadaan Puger dan anak-anak tak berdosa itu. Masyarakat, dengan pengetahuan seadanya, takut Puger dan anak-anak itu akan memberikan dampak buruk jika tinggal di lingkungan mereka.
Puger berkisah, penolakan tersebut bukan sebatas kata-kata. Pernah sekali waktu dia menemukan kontrakan yang ditinggalinya bersama anak-anak dikosongkan paksa oleh warga sekitar. “Barang-barang kami dikeluarkan paksa oleh warga. Di jalanan,” kenangnya.
Puger mengaku pusing tujuh keliling. Dia bingung untuk mengamankan anak-anak asuhnya tersebut. Dalam kondisi terpepet itu, tiba-tiba datang seorang ustad yang memberikan bantuan. Dia menyewakan sebuah rumah kontrakan di kawasan Purwosari, tidak jauh dari tempat Puger bekerja. Puger dan anak-anak diminta menempati rumah tersebut. Tanpa pikir panjang, dia langsung membawa anak-anak ke rumah baru itu, sedangkan barang-barangnya menyusul.
Puger menyatakan, kesehatan anak-anak itu lebih penting daripada barang-barang. Semakin lama mereka terpapar di luar rumah, apalagi sampai kehujanan, mereka rawan sakit. Dan jika sudah sakit, ancamannya tidak sebatas flu, tapi sampai kehilangan nyawa. Dengan kekebalan tubuh mereka yang tidak seperti orang sehat, anak-anak harus betul-betul menjaga diri mereka.
“Kehujanan itu paling tidak boleh dialami anak-anak. Air hujan itu jahat. Sekali kehujanan, tidak perlu menunggu besok, saat itu langsung demam. Kalau sudah begitu, bahaya. Harus dirawat di rumah sakit,” tegasnya.
Karena itu, selain memberikan obat ARV secara rutin kepada ADHA, Puger memberikan suplemen untuk meningkatkan kekebalan tubuh mereka. Menurut dia, hal tersebut dilakukan sebagai ikhtiar untuk menjaga kesehatan anak-anak. Di rumah kontrakan Puger, terdapat sekotak penuh obat-obatan dan suplemen vitamin.
Untuk tempat tinggal, Puger selama ini memang masih mengontrak dan harus bersiap pindah jika sewaktu-waktu warga kembali mengusir mereka atau mereka yang tidak sanggup membayar ongkos kontraknya.
Padahal, sebenarnya Pemerintah Kota Surakarta sudah memberi Puger tempat yang bisa dimanfaatkan untuk mengurus anak-anak malang tersebut. Pemko pernah memberi Puger sebuah rumah di kawasan Setabelan. Namun, warga menolak Puger dan anak-anaknya.
“Pemko lalu memberi tempat lain. Lokasinya di utara Monumen Pers. Baru selesai seremoni serah terima, kami sudah didatangi warga. Mereka protes dan mengusir kami. Saya bisa apa?” ungkap Puger.
Penolakan juga terjadi di sekolah anak-anak ADHA. Saat mendaftarkan anak-anak sekolah, Puger memang tidak memberi tahu bahwa mereka adalah ADHA. Dia sadar, sekali berkata jujur soal itu, anak-anaknya sudah bisa dipastikan akan putus sekolah. Tidak ada sekolah yang mau menerima anak-anak dengan kondisi seperti itu. Jika ada, belum tentu orang tua siswa menerima “anak-anak” Puger tersebut.
“Jadi, slogan ’jauhi virusnya bukan orangnya’ itu pada praktiknya tidak ada. Tetap saja mereka dikucilkan. Bahkan oleh sekolah. Untungnya ada satu sekolah yang mau menerima mereka,” ungkap Puger.
Yang membuat Puger tidak habis pikir, ada sebuah rumah sakit yang menolak anak-anaknya untuk berobat. Tapi, kali ini dia tidak mau tinggal diam. Dia siap berjuang habis-habisan. Sebab, kondisi anak-anak itu sangat bergantung pada rumah sakit. Jika rumah sakit menolak, apa jadinya anak-anak tersebut?
Puger lalu melayangkan surat protes kepada manajemen rumah sakit tersebut. Pihak rumah sakit menjelaskan bahwa penolakan tersebut bukan karena mereka memilih-pilih pasien. Tapi, saat itu mereka belum mampu menangani. Dokter dan perawat rumah sakit tersebut belum berkompeten menangani pasien dengan HIV/AIDS.
“Penjelasan mereka semula begitu. Namun, ketika manajemennya berganti, mereka akhirnya mau menerima anak-anak tanpa biaya sepeser pun. Setiap bulan kami juga selalu mendapat obat gratis dari rumah sakit itu,” terang Puger tanpa bersedia menyebutkan rumah sakit yang dimaksud.
Dia mengakui, para dokter dan perawat di rumah sakit itu masih belajar menangani pasien dengan HIV/AIDS. Mereka masih gagap menangani anak-anak. Mereka juga masih khawatir akan tertular. Pernah sekali waktu anak-anak harus mendapat tindakan karena telinga mereka megeluarkan cairan.
Menurut Puger, jika sudah demam, telinga anak-anak itu akan mengeluarkan cairan. Belum ada dokter dan perawat yang berani menangani. Akhirnya, Puger turun tangan sendiri. “Dokternya berada di ruang kaca dan memberikan instruksi melalui mikrofon,” jelas Puger.
Pengalaman serta pengetahuan Puger soal perawatan homecare untuk pasien HIV/AIDS ternyata cukup banyak menarik perhatian praktisi medis yang ingin belajar merawat pasien dengan HIV/AIDS. Beberapa kali Puger diundang untuk mengisi seminar dengan tema tersebut.
Apapun akan dilakukan Puger agar bisa membuat anak-anak itu terus bersemangat menjalani hidup. “Anak-anak yang sudah mengerti kondisinya biasanya sudah kehilangan semangat hidup. Mereka sudah tidak percaya kepada siapa pun. Itulah tugas saya untuk menghidupkan kembali semangat mereka,” tandas Puger. (*)
LOGIN untuk mengomentari.