Washington – Hasil penghitungan electoral votes, yang merupakan tahap akhir pemilihan presiden Amerika Serikat, mengukuhkan Donald Trump sebagai pemenang, Senin (19/12) malam waktu setempat atau Selasa pagi WIB.
Hasil ini akan disahkan oleh Kongres pada 6 Januari 2017, dan Trump akan dilantik sebagai presiden baru pada 20 Januari.
Untuk diketahui, menurut sistem yang berlaku di Amerika, pada pemilihan 8 November lalu rakyat di negara itu pada dasarnya hanya memilih 538 elector yang mewakili masing-masing kandidat presiden, dan setelah itu para elector ini yang memberikan suara mereka (electoral vote) kepada kandidat yang menang di masing-masing negara bagian.
Trump butuh sedikitnya 270 electoral votes dan angka itu dengan mudah dia lampaui setelah para elector di negara bagian Texas memberinya 36 suara. Uniknya, Trump sebetulnya mendapat 38 electoral votes pada pemilihan 8 November, namun dua elector membelot pada hari Senin, yaitu satu untuk Gubernur Ohio John Kasich dan satu untuk mantan anggota Kongres Texas Ron Paul.
Dalam situasi normal, penghitungan electoral votes hari Senin seharusnya hanya formalitas saja untuk mengukuhkan pemenang 8 November, namun sekarang ini aksi protes merebak di berbagai penjuru Amerika mendesak para elector untuk mengkhianati Trump.
Pasalnya, kalau total suara nasional digabung dengan mengabaikan hasil per negara bagian, Hillary Clinton sebetulnya unggul hampir 3 juta suara nasional atau popular vote. Agar Trump kalah, dibutuhkan sedikitnya 37 elector dia yang berkhianat, hal yang nyaris mustahil.
Ternyata justru Trump menang telak, dan di sisi lain pengkhianatan elector juga dialami oleh kandidat lainnya Hillary Clinton. Menurut sejumlah media Amerika, ada empat elector Partai Demokrat yang kemudian membelot dan tidak memilih Clinton.
BERITA SATU
Redaksi:
Informasi pemasangan iklan
Hubungi:
Telp. (0651) 741 4556
Fax. (0651) 755 7304
SMS. 0819 739 00 730