in

Ibu, mata air sukses

Teka-teki mengapa ada individu-individu yang gesit, suka tantangan, bertenaga alias energik, cerdik dan berwatak memimpin sementara ada individu yang berciri sebaliknya agaknya terpecahkan sudah.

Salah satu teori dari studi psikologi menyatakan bahwa ibulah sumber sukses manusia hebat di dunia.

Mereka yang dibesarkan oleh ibu yang keras, yang menuntut anak-anaknya dengan target yang tinggi, perfeksionis akan cenderung memiliki karakteristik kejiwaan yang selalu tergerak untuk meraih cita-cita yang tinggi.

Sementara mereka yang dibesarkan oleh ibu yang permisif, yang tak menuntut banyak pada anak-anak dan memanjakannya akan menghasilkan jiwa-jiwa yang cukup puas dengan cita-cita yang sedang-sedang saja, tak muluk-muluk.

Itu sebabnya ada keluarga-keluarga yang menghasilkan anak-anak yang sukses dalam hidup mereka sementara ada pula keluarga yang gagal, tanpa harus dilengkapi ajektiva total, dalam melahirkan anak-anak menapaki kehidupan di bumi.

Yang menarik, dalam satu keluarga terjadi variasi dalam peraihan sukses. Artinya, di samping melahirkan anak yang sukses, sebuah keluarga juga sekaligus melahirkan anak yang gagal.

Sukses dan gagal di sini tentu harus dimaknai dalam pengertian yang nisbi. Dalam konteks ini, anak yang lahir dari keluarga buta huruf, dengan ekonomi sangat memprihatinkan dan tinggal di kawasan terbelakang harus dipandang sebagai keluarga yang memiliki anak yang berhasil saat sang anak bisa naik ke tangga sosial dengan menjadi seorang guru, polisi, atau kepala daerah.

Hans Cristian Andersen, penulis dongeng yang masyhur itu, adalah ikon keberhasilan yang legendaris, karena dia terlahir dari keluarga yang bapaknya adalah tukang sepatu.

Dalam konteks serupa, seorang keluarga yang dikepalai oleh bapak yang pernah menjadi presiden akan melahirkan anak yang tak bisa dipandang berhasil jika sang anak hanya cukup menjadi politikus biasa-biasa saja.

Di era ketika sukses bisa diraih dengan jalan nepotisme, peran penting ibu dalam melahirkan watak anak yang energik tentu tak dominan lagi. Namun, kasus nepotisme bukanlah peristiwa umum yang dialami oleh sebagian besar individu.

Dibandingkan dengan  bapak, ibu tentu diberkati dengan kemampuan berlebih dalam membantu dan mendorong anak untuk mengoptimalkan kecerdasan emosional.

Teori psikologi juga membenarkan bahwa sukses indivdu merupakan perpaduan antara tingginya intelegensi dan kestabilan emosi. Anak yang diberkati kecerdasan sejak lahir akan menjadi pribadi yang berpeluang besar meraih sukses ketika dia dilengkapi dengan kestabilan emosi yang didapatnya selama masa pengasuhan ibu.

Guy Odom yang menulis risalah tentang kaitan ibu, kepemimpinan dan sukses telah mendedahkan bahwa dalam sejarah orang-orang hebat di dunia, peran ibu dalam memelahirkan pribadi-pribadi unggul tak bisa dimungkiri.

Anak dalam sepanjang masa kanak-kanaknya pada umumnya lebih banyak berinteraksi dengan ibu, dibandingkan dengan bapak yang harus mencari nafkah keluarga.

Pengasuhan ibu terhadap anak-anak inilah yang membuat terjalinnya interaksi batiniah dan jasmaniah yang intens dan dengan demikian melahirkan ikatan emosional yang mendalam dibandingkan dengan hubungan anak dan bapak.

Di benak dan perasaan anak-anak, ibu adalah sosok yang melahirkan  impresi yang istimewa.

Kesan tentang keistimewaan ibu sesungguhnya sudah digariskan jauh-jauh sebebelumnya oleh sebuah kalimat religius yang berbunyi: surga berada di telapak kaki ibu.

Pernyataan esoterik itu menyiratkan sebuah sinyal bahwa janganlah berlaku durhaka pada ibu dan selalulah hormat padanya karena dialah yang memungkinkan seorang anak menjadi hidup dengan sentuhan kasih sayang yang akan menjadi modal dalam menjalani perannya sebagai insan ciptaan Sang Khalik.

Maka tak ayal lagi bahwa Ibu diapresiasi secara global dan nasional dengan memberikan satu hari istimewa untuk memperingatinya, yang di Tanah Air berlangsung setiap 22 Desember.

Bagaimana wujud memberikan makna pada hari ibu sehingga tidak menjadi sekadar peringatan serimonial yang hampa? Tentu masing-masing individu dan organisasi sosial punya cara masing-masing.

Ada yang menyelenggarakan gerakan massal aksi membasuh kaki ibu. Aksi semacam ini tentu menarik karena tak semua komunitas punya tradisi membasuh kaki ibu.

Bagi yang baru pertama kali melakukan, tentu canggung. Tapi bagi mereka yang pernah, aksi ini merupakan kegiatan yang mendatangkan sensasi emosional spiritual yang membuat hati lega, gembira dan bahagia.

Ibu pun merasakan sentuhan kaki dari anak dengan perasaan yang lega, gembira dan tak kalah bahagianya.

Di nusantara ini, ada orang-orang yang punya kebiasaan membahagiakan ibu dengan memijit kakinya. Salah satunya adalah sosiolog Mohamad Sobary.

Kepada teman-teman dekatnya, Sobary tak segan-segan bertutur tentang kegemarannya membahagiakan ibu kandungnya, juga ibu mertuanya dengan memijit kaki mereka sambil merendam kaki itu  di air hangat.

Sobary yang piawai bernarasi itu memperlihatkan bahwa semua ibu akan bahagia ketika anak-anak mereka menyentuh kaki yang boleh jadi sudah mulai menua. Sang anak pun akan merasakan sedang memijit bukan sekadar kaki renta tapi juga sumber kebahagiaan, yang dikaruniakan oleh Penguasa Langit pada sang anak.

Ibu dengan demikian bukan hanya merupakan mata air sukses tapi juga sumber kebahagiaan yang bisa diwujudkan dalam bentuk aksi memijit kaki oleh sang anak.

Yang ironis, tak semua ibu yang jasanya tak berhingga itu bisa mengenyam kenyamanan dan kedamaian di masa tua. Ada yang tersia-siakan oleh anak mereka sendiri.

Untuk menihilkan, setidaknya meminimalkan ironi pahit seperti itulah, peringatan Hari Ibu layak direnungkan maknanya.

Editor: Ujang

COPYRIGHT © ANTARA 2016

What do you think?

Written by virgo

Yaris Terbakar di Traffic Light

10 lagu Pop terbaik 2016