Banyak Indikasi Penanganan Korupsi Diwarnai Intervensi
Dua tahun memimpin Kejaksaan Agung, M Prasetyo kembali mendapat sorotan. Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan rapor merah atas kinerja mantan politikus Partai NasDem itu. Salah satu yang terburuk adalah kinerja pemberantasan korupsi yang kerap diwarnai intervensi.
Dalam catatan ICW, sepanjang Prasetyo memimpin, Kejaksaan Agung (Kejagung) hanya menangani 24 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 79 orang. Dari 24 kasus tersebut, sekitar 67 persen atau 16 kasus korupsi ngendon di tingkat penyidikan. Sementara itu, kasus yang naik ke penuntutan hanya sekitar 33 persen atau 8 kasus korupsi.
“Banyak kasus mangkrak di kejaksaan. Ada kesan penanganan kasus korupsi sengaja menyasar orang tertentu,” ujar peneliti Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Wana Alamsyah dalam konferensi pers di Jakarta, kemarin (17/11).
ICW juga mencurigai beberapa kasus korupsi yang ditangani kejaksaan merupakan intervensi partai politik tertentu. “Kami menemukan adanya kasus-kasus yang melibatkan politisi dihentikan, dipetieskan, atau dituntut ringan,” ucap Wana.
Salah satu contohnya adalah penghentian perkara korupsi Bupati Bone Bolango Hamim Pou. Awalnya, Hamim menjadi bupati lewat jalur independen. Setelah perkaranya dihentikan, Hamim bergabung dengan Partai NasDem dan menjabat ketua DPW Gorontalo.
”Ini memang sulit dibuktikan, tapi masyarakat sulit tidak mengaitkan dengan posisi jaksa agung sebagai mantan orang partai,” imbuh Aradila Caesar, peneliti ICW lainnya.
Penghentian perkara korupsi juga dilakukan terhadap Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Kejagung menghentikan perkara tersebut dengan alasan tak punya bukti kuat.
Padahal, kasus itu berasal dari temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atas kepemilikan rekening gendut sejumlah kepala daerah.
Kejaksaan gagal menangani kasus Nur Alam, tapi KPK malah berhasil menetapkannya sebagai tersangka KPK pada Agustus lalu. Nur Alam dijerat dengan kasus korupsi penerbitan izin tambang dari 2009 hingga 2014.
Prasetyo juga diduga melakukan intervensi dalam menuntut ringan para pelaku korupsi di pengadilan. Itu terlihat, antara lain, dalam kasus yang melibatkan Indriyanto MS alias Yance.
Mantan bupati Indramayu dan anggota DPRD Jawa Barat, serta ketua DPD Golkar itu terjerat perkara korupsi pembebasan lahan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada 2004.
Meski kerugian negara yang ditimbulkan sangat fantastis, jaksa hanya menuntut 18 bulan penjara. Hal yang sama dialami adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Dia hanya dituntut 18 bulan penjara.
Padahal, Wawan didakwa korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan dalam proyek pembangunan tiga puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tangerang Selatan pada 2011–2012. Kasus itu juga merugikan negara hingga Rp 9,6 miliar.
Penuntutan ringan terhadap para pelaku korupsi memang termasuk kinerja buruk Prasetyo. Sepanjang dua tahun kepemimpinannya, kinerja penuntutan jauh dari kata optimal. Berdasar pantauan ICW, 332 perkara yang ditangani kejaksaan berhasil diputus pengadilan.
Di antara jumlah tersebut, 231 terdakwa dituntut ringan di bawah 4 tahun penjara. Ada juga 89 terdakwa yang dituntut berat di atas 4 tahun penjara. Sedangkan 60 terdakwa tidak dapat diidentifikasi tuntutannya. “Jika dirata-rata, penuntutan kasus korupsi di era Prasetyo ini hanya 3 tahun 4 bulan,” ujar Aradila.
ICW juga menemukan indikasi Prasetyo mengobral surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Dalam kurun dua tahun ini, total 33 kasus korupsi—mulai di kejaksaan agung, kejaksaan tinggi, hingga kejaksaan negeri—dihentikan. Total tersangka yang dibebaskan 58 orang. Di antara mereka ada tiga bupati yang terjerat korupsi.
Aradila mengatakan, kebanyakan alasan penghentian kasus korupsi yang sedang ditangani itu adalah tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan. Selain itu, penyidik tidak memiliki cukup bukti untuk menaikkan proses ke tahap selanjutnya.
“Ini menunjukkan jaksa agung belum memiliki strategi menuntaskan kasus korupsi yang selama ini mangkrak,” jelasnya. ICW juga menyoroti Prasetyo yang memberikan keistimewaan kepada koruptor kasus BLBI Samadikun Hartono.
Prasetyo memberikan penjemputan khusus plus kesepakatan mencicil uang pengganti korupsi kepada Samadikun. “Di era Prasetyo ini juga banyak jaksa yang terlibat kasus korupsi yang ditangani KPK,” ungkapnya.
Mengenai rapor merah yang diberikan ICW, Jaksa Agung M Prasetyo kemarin tak bisa dikonfirmasi. Begitu pula Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) M Rum. Konfirmasi via SMS dan telepon tidak direspons.
Sementara itu, Juru Bicara Presiden Johan Budi SP menyatakan bahwa sah-sah saja ICW memberikan masukan kepada presiden terkait kinerja bawahannya. “Bagus ICW memberi masukan. Ini bisa jadi saran bagi presiden,” ujar mantan pimpinan KPK tersebut.
Johan menambahkan, presiden setiap saat mengevaluasi kinerja seluruh anggota kabinetnya tanpa terkecuali. Presiden punya perangkat dan tolok ukur dalam mengevaluasi kinerja jajarannya. Itu sudah dibuktikan dalam dua kali reshuffle kabinet.
“Jangan bilang bahwa reshuffle kedua itu sudah terakhir. Belum tentu, itu hak prerogatif presiden,” tambahnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.