in

Impor Membuat Posisi Tawar Petani Terus Jatuh

JAKARTA – Orientasi kebijakan pangan pemerintah harus dibenahi dengan menempatkan petani da­lam piramida pembangunan di atas BUMN, korporasi dan entrepreneur. Reorientasi diperlukan karena model yang dikembangkan saat ini dengan bergantung pada impor secara per­lahan akan mengantar petani hancur karena posisi tawarnya terus jatuh.

Reorientasi yang ideal dengan membalik piramida, sehingga dalam kue ekonomi petani mendapat bagian yang lebih besar dibanding pedagang yang terlibat dalam rantai pasokan.

Pakar Pertanian dari Institut Perta­nian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santo­sa, dalam webinar bertajuk Teka-teki, Masa Depan Pangan Nasional, di Ja­karta, Kamis (10/9), mengatakan kalau menilik indeks ketahanan pangan glo­bal (FAO), Indonesia memang sudah berada di urutan 62 dari 113 negara atau meningkat dibanding tahun 2015, saat masih berada di urutan ke-75.

RI kini masuk ke kelompok mene­ngah, namun harus diakui kalau In­doensia tertinggal dari Singapura yang berada di urutan pertama.

“Ketahanan pangan itu tidak peduli asal pangannya dari mana. Singapu­ra itu 90 persen pangannya dari impor. Demikian pun RI, bahkan dalam lima tahun terakhir impor pangan sangat tinggi,” ungkap Dwi dalam diskusi soal pangan, di Jakarta, Kamis (10/9).

Menurut Dwi, Ada delapan komo­ditas yang impornya di atas 300 ribu ton per tahun, di antaranya gandum, beras, jagung, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, dan kacang tanah. Komoditas tersebut melonjak dari 21,9 juta ton pada 2014 menjadi 27,6 juta ton pada 2018 dan sedikit menurun pada 2019 menjadi 25,3 juta ton.

Berdasarkan data Pusdatin-Kemen­terian Pertanian (Kementan), impor gandum sebagai pengganti beras me­lonjak tajam dari 5,14 juta ton pada 2014 menjadi 11,11 juta ton pada 2019. Peningkatannya mencapai enam juta ton dalam rentang waktu lima tahun.

Dengan tingginya impor, membuat posisi tawar produksi petani terus ja­tuh. Belum lagi diperparah dengan ni­lai tukar petani (NTP) yang terkadang yang kerap di angka 100. Padahal, ide­alnya NTP itu di atas 120 seperti yang terjadi pada tahun 2001–2003.

Impor yang massif dan jor-joran, jelasnya, juga mengancam produkti­vitas pangan dalam negeri. Terlebih lagi pertumbuhan produksi padi da­lam 18 tahun terakhir hanya 0,78 per­sen per tahun. Angka tersebut jauh dari rata-rata pertumbuhan pendu­duk yang mencapai 1,3–1,4 persen.

Diversifikasi Pangan

Dalam kesempatan yang sama, Di­rektur The SMERU Research Institute, Widjajanti Isdijoso, menambahkan mestinya pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi pemerintah untuk mendorong diversifikasi pangan.

“Apalagi RI kaya dengan keanekara­gaman pangan lokal, sehingga semesti­nya tidak ada lonjakan impor gandum. Tapi nyatanya tidak, impor gandum malah meningkat tajam capai enam juta ton dalam lima tahun,” tandasnya.

Sementara itu, Sekjen Aliansi Ma­syarakat Adat Nusantara, Rukka Som­bolinggi, menilai kunci diversifikasi pangan pada sejauh mana negara me­lindungi masyarakat adatnya karena pangan lokal itu bersumber dari ma­syarakat adat. “Jangan seperti kasus di Riau, masyarakat adat bermasalah de­ngan perusahaan. Lahannya diubah menjadi tanaman industri dan dan sawit,” tutup Rukka. n ers/E-9

What do you think?

Written by Julliana Elora

Piutang Negara dari BLBI Wajib Ditagih

Presiden Hadiri Acara Puncak Haornas 2020 secara Virtual dari Istana Bogor