Jakarta (ANTARA) – Pada hakikatnya Jakarta menjadi pusat pemerintahan negara Indonesia sejak puluhan tahun lamanya, berbarengan dengan pusat bisnis dan hiburan, di mana para musisi mendapat peluang besar untuk membesarkan karyanya.
Bicara hal tersebut, musisi Jason Ranti mengatakan pemindahan ibu kota negara semestinya tak akan berpengaruh besar pada aktivitas di industri musik, melainkan menjadi tantangan baru bagi seniman untuk membuat karya terbaik, karena distribusi musik saat ini sudah menggunakan sistem digital yang bisa dibuat dan dinikmati di mana saja.
“Peredaran musik akibat masalah geografis itu enggak ada, karena sekarang musik sudah terdistribusi secara digital,” ujar pemilik album “Akibat Pegaulan Blues” kepada Antara.
Jason menyebut, konsep sentralisasi pemerintahan Indonesia terdahulu berdampak besar ke industri musik Tanah Air, menjadikan Jakarta sebagai sebuah patokan kesuksesan karya musik musisi untuk melebarkan sayapnya ke berbagai daerah.
Padahal, menurut Jason, sentralisasi industri sudah berlalu. Saat ini setiap orang bisa menuangkan karyanya melalui berbagai platform digital. Musisi saat ini juga bisa merekam karyanya di studio pribadi dengan kualitas yang mumpuni berkat bantuan teknologi.
Bagi seniman yang masih berjualan album fisik, baik kaset pita maupun compact disk hingga piringan hitam, juga dimudahkan dengan layanan pesan-antar, sehingga perpindahan ibu kota negara sesungguhnya bukanlah hal yang perlu dicemaskan.
Terkait warna dan aliran musik, ia menilai perpindahan ibu kota tidak akan mengubah hal itu. Tiap-tiap daerah sudah memilik karakter musiknya masing-masing, dan hal itu tidak akan berubah meski ibu kota dipindahkan.
Sebagai contoh, penikmat musik sudah bisa membedakan karakter band beraliran pop atau rock asal Jakarta, Bandung, Surabaya hingga Medan. Karakter itu melekat pada musisinya, tidak berpengaruh ke mana karyanya akan didistribusikan atau dinikmati.
Jadi, kata Jason, yang dilihat bukan dari mana asal musiknya, melainkan kualitas karya yang dihasilkan.
“Yang pindah kan pusat pemerintahannya, kalau keseniannya tetep saja kan dari orang-orangnya, nongkrongnya juga bakal di tempat yang sama, enggak ngikut kali yah,” ujar Jason.
Kualitas yang berbicara
Sama seperti Jason, musisi muda Danilla Riyadi juga beranggapan nilai karya musik seorang musisi tidak berpatokan dari lokasi mana karya itu dibuat dan diluncurkan.
“Semua itu dari seberapa serius kita dengan karya itu sendiri. Kalau memang bermusiknya bagus, ya sudah, tinggal proses seleksi alam,” ujar Danilla.
Pelantun single “Berdistraksi” itu menyebut karya musik kini mudah didistribusikan lewat digital album yang bisa dinikmati melalui aplikasi streaming. Hal tersebut juga dinilai memudahkan bagi musisi yang berjalan di jalur independen.
Kemudian dari sisi karya, Danilla menilai sebuah karya yang isinya erat dengan pendengarnya di manapun mereka, akan menjadi karya yang populer dan dinikmati dengan sendirinya.
“Mau kotanya di mana, distribusinya bagaimana, kalau musiknya bagus, banyak yang ‘relate,’ dia akan naik sendiri,” ujar Danilla.
Mereka juga menilai, jika pada masa lalu orang-orang harus ke Jakarta untuk rekaman di studio berkelas. Saat ini dengan kemudahan teknologi, rekaman bisa dilakukan di daerah masing-masing, asalkan memiliki perangkat yang mendukung teknologi itu.
Saat ini banyak musisi daerah yang terkenal atau menjadi viral kendati memproduksi musik bukan di studio ibu kota. Bahkan ada juga yang terkenal duluan sebelum mencicipi panggung hiburan di ibu kota.
Selain itu, personel SM*SH Bisma Karisma juga berpendapat pemindahan ibu tidak banyak mempengaruhi bisnis hiburan. Menurutnya, musisi mudah berkarya di mana saja, dan bisa mendistribusikan musiknya di tempat asalnya seperti yang ia lakukan kini dalam produksi mini album solonya.
“Sekarang kan era digital membuat semuanya menjadi praktis tanpa menghilangkan esensinya. Otomatis, saya dari Bandung juga masih bisa berkarya karena jalurnya digital,” ujar Bisma.
“Se-‘simple’ bertahun-tahun grup band Sheila On 7 bisa hidup dan semua personelnya rata-rata di Yogyakarta, masih bisa ‘off air,’ band tetap jalan, masih bisa berkarya, itu yang coba saya pengin aplikasikan di hidup saya,” lanjut dia.
“Justru yang harus didukung bukan masalah perpindahannya, tapi pemerintahnya akan lebih aktifkah menyatukan seniman-seniman Indonesia untuk dirangkul, dan difasilitasi dalam penyampaian karyanya,” pungkasnya.
Band pop punk Rocket Rockers setuju bila status ibu kota dipindahkan dari Jakarta ke tempat lain di Kalimatan. Alasannya pun sederhana, Jakarta sudah terlalu padat dan begitu banyak kegiatan berpusat di sana, termasuk pangung hiburan.
“Saya sangat setuju, sudah paling realistis (dipindahkan),” kata Aska kepada Antara.
Dia membayangkan suasana ibu kota di Kalimantan kelak serupa dengan apa yang sudah terapkan di negeri Jiran Malaysia. Negara tetangga itu menetapkan Putrajaya sebagai pusat administrasi negara, pengganti Kuala Lumpur.
“Di sana kan terpusat di Putrajaya dan justru malah bisa jadi tempat wisata juga,” sambung Aska.
Bisma, pemain bass Rocket Rockers, berpendapat perpindahan lokasi takkan menyulitkan pekerjaan pemerintah, terlebih dengan kemajuan teknologi yang membuat komunikasi jarak jauh tetap lancar.
“Di puncak teknologi yang sekarang bisa memudahkan, misalnya dengan video call. Koordinasi apa pun bisa dilakukan kok,” kata dia.
Sebelumnya, pemerintah menyebut Kalimantan hampir pasti akan jadi tempat baru jika pemindahan ibu kota negara betul-betul direalisasikan.
Pemindahan ibu kota itu akan memberikan dampak signifikan bagi Kalimantan. Pulau itu jadi pilihan karena punya lahan luas, relatif aman dari bencana dan berada di tengah wilayah Indonesia.