JAKARTA – Sejumlah kalangan mengatakan stimulus dalam bentuk relaksasi likuiditas dan permodalan yang dikucurkan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk perbankan berpotensi disalahgunakan (moral hazard) oleh pihak-pihak yang terafiliasi dengan bank, seperti pada krisis-krisis sebelumnya. Lagi pula, OJK melaporkan kondisi perbankan dalam keadaan sehat sehingga tidak perlu injeksi likuditas.
Wakil Ketua Komisi XI DPR, Amir Uskara, mengatakan pemerintah maupun otoritas harus mengambil tindakan penyelamatan yang terukur dengan merelaksasi sesuai dengan kebutuhan saat ini dan beberapa waktu ke depan. “Masalahnya, pada krisis-krisis sebelumnya ada indikasi tindakan dalam masa darurat cenderung berlebihan, sehingga berpotensi disalahgunakan,” kata Amir, di Jakarta, Jumat (29/5).
Amir mengimbau kepada otoritas agar betul-betul melaksanakan stress test yang akurat dan cermat agar tindakan-tindakan penyelamatan terukur dan optimal untuk mempercepat pemulihan dan mendorong percepatan roda ekonomi setelah kondisi berjalan normal.
“Jangan sampai kebijakan yang ditempuh saat kondisi darurat, meskipun maksudnya baik, kelak setelah situasi ekonomi berjalan normal tidak menyisakan masalah,” kata Amir.
Secara terpisah, Ekonom dari Institute for Development of Ecomomics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan relaksasi kebijakan untuk perbankan berbanding terbalik dengan kondisi yang ada.
“OJK melaporkan kondisi perbankan masih terjaga, tapi kenyataannya malah diberikan stimulus. Seolah-olah bakal ada bank kolaps,” katanya.
Berdasarkan data yang disampaikan OJK per April 2020 profil risiko lembaga jasa keuangan masih terjaga, yaitu rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) gross bank umum konvensional tercatat 2,89 persen dan NPL net 1,09 persen. Sedangkan rasio pembiayaan bermasalah perusahaan pembiayaan atau Non Performing Finance (NPF) di level 3,25 persen.
Demikian juga dengan risiko nilai tukar perbankan yang terjaga pada level yang rendah di mana indikatornya tecermin dari rasio Posisi Devisa Neto (PDN) sebesar 1,62 persen atau masih di bawah ambang batas ketentuan 20 persen.
Sementara itu, likuiditas dan permodalan perbankan berada pada level yang memadai. Rasio alat likuid (non-core deposit) pada level 117,8 persen dan alat likuid (Dana Pihak Ketiga/DPK) pada April 2020 sebesar 25,14 persen, jauh di atas threshold (ambang batas) masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Selain itu, rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) bank umum rata-rata 22,13 persen. Begitu juga dengan rasio permodalan terhadap risiko Risk Based Capital (RBC) industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing 651 persen dan 309 persen, lebih tinggi di atas ambang batas ketentuan sebesar 120 persen.
Harus Hati-hati
Dengan mengacu pada data tersebut, Bhima juga berharap pemerintah dan OJK harus berhati-hati merelaksasi kebijakan ke industri jasa keuangan, khususnya bank. “Pemberian stimulus ke perbankan harus hati-hati karena ada penunggang gelapnya di setiap krisis,” katanya.
Menurut Bhima, pemerintah mesti belajar dari kondisi krisis yang terjadi sebelumnya, seperti pada tahun 1998 dan 2008 yang mayoritas uang stimulus kepada perbankan tidak tepat sasaran.
“Jadi, uang stimulus yang diberikan bukan kemudian untuk para debitur. Itu pun juga beberapa kasus di krisis-krisis sebelumnya ternyata debiturnya adalah debitur yang memiliki kedekatan, misalnya dengan pejabat bank. Padahal performa debiturnya sudah jelek sejak sebelum pandemi,” jelas Bhima.
Pemerintah, tambahnya, sebenarnya sudah mengendus potensi moral hazard tersebut, namun karena kekhawatiran dan ketidakmampuan OJK untuk mengawasi ketat stimulus tersebut dan bisa menyeret aparat pengambil kebijakan saat ini ke ranah hukum kelak, maka dibuatlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020.
“Dalam Perppu Pasal 27 ada imunitas atau kekebalan. Inilah yang kita lihat, kenapa OJK dalam menangani Jiwasraya dan AJB Bumiputera juga belum selesai sampai sekarang,” kata Bhima. n uyo/bud/AR-2