in

Jalan panjang Si Merah Muda ke pedalaman Kepulauan Mentawai

Kepulauan Mentawai (ANTARA) – Dari kejauhan, bunyi mesin pompong memecah kesunyian pagi di aliran Sungai Sarereiket dan suaranya dari samar menjadi semakin keras, pertanda ada sampan yang mendekat.

Berlabuhlah pompong itu di Desa Matotonan setelah melayari sungai yang meliuk-liuk bak ular sekitar dua jam perjalanan dari Desa Ugai, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

Setelah semua penumpang turun ke darat, mulailah pemilik sampan itu menurunkan barang-barang yang dibawa, termasuk gas elpiji 12 kilogram yang dipindahkan dengan meniti tangga dari batang kelapa sepanjang 2,5 meter yang disandarkan dengan kemiriangan 45 derajat ke bantaran sungai.

Di sana, seorang sikerei (dukun tradisional Mentawai), Hariadi Sabulat (63), menyambut Bright Gas itu dan memasukkan ke gerobaknya. Dengan gerobak itu, gas pesanannya dibawa melewati jalan rabat beton dari dusun ke dusun, mendaki dan menurun sampai ke rumah anaknya di Dusun Onga sekitar 700 meter.

Hariadi membantu membawa gas itu ke rumah anaknya, Leli Farida Sabulat (30), untuk digunakan memasak sehari-hari di rumah. Sore itu Hariadi ingin menikmati keladi goreng dan teh manis panas di beranda rumah sambil menghabiskan sore.

Dengan sigap, Leli membuka segel tabung gas dan memasang regulatornya. Ia mengikat regulator ke pegangan tabung menggunakan sobekan kain agar pemasangan kuat dan tidak lepas. Tidak pakai lama, Leli sudah bisa menyalakan api kompor dan memasak makanan kesukaaan ayahnya itu.

Leli mulai menggunakan gas nonsubsidi itu sejak tahun 2019 karena belum masuknya gas tiga kilogram ke daerah itu. Sebelumnya ia menggunakan kompor minyak tanah.

Agar gas itu bisa sampai ke Matotonan, Leli harus membayar sekitar Rp400 ribu per tabung, sudah termasuk ongkos kirim dari Muara Siberut dan harga isi ulang. Pertama kali membeli tabung gas, ia merogoh kocek Rp700 ribu.

“Sekarang sudah ada yang jual isi ulangnya di Matotonan, harganya Rp345 ribu per tabung. Biasanya saya pakai bisa tahan enam bulan lebih, karena jarang masak juga. Kalau sering masak, tiga empat bulan bisa habis,” kata Leli di Matotonan, pada hari Minggu pertama di bulan Juli.

Meskipun tidak lagi menggunakan kompor minyak tanah, Leli masih menggunakan kayu bakar. Biasanya digunakan untuk masak yang membutuhkan durasi lama, seperti masak air dan masak sagu.

Selain itu, Leli lebih suka menggunakan kompor gas, karena bisa memasak lebih cepat dan tidak ribet. Kendati harganya mahal dan bukan barang subsidi, ia menilai menggunakan elpiji 12 kilogram bisa lebih hemat dibandingkan menggunakan kompor minyak tanah.

Tanpa menunggu lama, Leli menghadirkan sepinggan keladi goreng di meja yang langsung dilahap ayahnya. Teh manis panas masih mengepulkan asap berbaur dengan kabut pagi.

Pedagang kelontong di Desa Matotonan, Zainuddin mengaku pada awalnya ia menjual gas elpiji 12 kilogram isi ulang sebanyak enam tabung, namun semakin hari pelanggannya semakin bertambah menjadi 12 orang.

Gas tersebut ia beli sambil berbelanja stok jualannya di Muara Siberut, kemudian dibawa menggunakan pompong ke Desa Matotonan. Tapi ada juga yang langsung membeli ke Muara Siberut atau agen lain di daerah hilir.

Menurut dia, warga memilih memakai gas untuk memasak sehari-hari karena lebih hemat dibandingkan menggunakan minyak tanah yang juga ia jual di warungnya Rp10 ribu per liter.

Hal yang sama dirasakan warga Dusun Kinikdog, Marius Sabagalet, yang baru saja memakai LPG merah muda itu sebulan lalu.

“Kalau pakai kompor minyak tanah lebih lama menunggu, tidak efisien. Kalau pakai gas lebih cepat masaknya,” kata Marius saat ditemui sedang memasak air di rumah sosial yang ditempatinya.

Marius membeli gas elpiji di warung kelontong di Desa Rogdog, kemudian membawanya menggunakan sampan ke rumah dengan harga Rp300 ribu per tabung.

Elpiji 12 kilogram dengan harga yang sangat mahal itu idealnya dipakai oleh pengusaha, restoran, dan industri lain yang membutuhkan. Masyarakat umum, khususnya di pedalaman, cukup menggunakan gas melon tiga kilogram.

Namun di Desa Matotonan, desa daerah 3T itu warga menembus batasan itu, karena di sana belum tersentuh program konversi minyak tanah ke gas.Gas tiga kilogram menjadi barang langka di sana, bahkan tidak ada sama sekali. Kalaupun ada, biasanya dibeli dari Padang dengan harga yang mahal. Dengan gas 12 kilogram, memasak lebih tahan lama dan tidak perlu bolak-balik mengisi ulang.

Nelayan melintas di kawasan mangrove Desa Maileppet, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Selasa (8/7/2025). Kawasan hutan mangrove Siberut yang berada di dalam Taman Nasional Siberut itu memiliki sebanyak 23 spesies mangrove yang dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata berbasis lingkungan. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/agr

Menunggu program konversi

Penjual gas di Muara Siberut, Musrizal, menyiapkan motor bututnya untuk mengantar pesanan Bright Gas ke pedalaman di Desa Ugai. Perjalanan ke sana membutuhkan waktu paling lama dua jam melewati Jalan Trans Mentawai.

Kondisi jalan sekitar lima kilometer rusak berat dengan jalan tanah yang bergelombang, sisanya jalan rabat beton dan kerikil hingga ke Desa Ugai. Jika ingin melanjutkan ke Matotonan, perjalanan bisa disambung dengan pompong atau sampan panjang bermesin dompeng sekitar 2 jam menyusuri sungai Sarereiket.

Meskipun akses sulit, Musrizal mengaku pelanggannya terus meningkat dari berbagai desa di Kecamatan Siberut Selatan, bahkan juga ada dari kecamatan lain dan pulau-pulau. Tokonya adalah satu dari tiga tempat yang menjual gas elpiji di sana.

“Saya membeli gas ini langsung dari agennya yang datang menggunakan kapal dari Padang. Pembeli kami sudah 50-an orang di sini, kalau mau diantar ke pedalaman tambah ongkos kirimnya Rp50 ribu,” kata Musrizal.

Di luar ongkos kirim, ia menjual gas isi ulang 12 kilogram itu Rp295 ribu per tabung, sedangkan untuk pembelian pertama tabung gas dengan isinya Rp700 ribu per tabung.

Harga gas yang mahal tidak menyurutkan warga Siberut untuk memakainya, karena itu lambat-laun jumlah pelanggan terus meningkat. Tapi ia juga berharap agar gas tiga kilogram dapat masuk sehingga semua kalangan bisa menikmatinya.

Selain menjual gas, Musrizal juga melakukan kampanye dan sosialisasi agar warga mau membeli gas menggantikan minyak tanah. Banyak alasan, di antaranya masyarakat takut gas itu meledak.

Musrizal juga tak enggan membantu menunjukkan cara memasang regulator gas yang benar.

Ia menekankan kepada warga tentang perbandingan harga pemakaian minyak tanah dalam satu dengan gas 12 kilogram yang bisa dipakai selama 4-6 bulan.

Communication and Relations Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagut Imam Mohamad mengatakan, secara umum masyarakat di Mentawai hingga saat ini masih menggunakan minyak tanah untuk memasak.

“Tidak ada kuota elpiji 3 kilogram di Mentawai karena di warga di sana masih menggunakan minyak tanah. Adapun penggunaan elpiji terbatas pada Bright Gas dan mayoritas penggunaannya untuk sektor usaha hotel atau restoran,” katanya.

Imam menyebutkan, saat ini setidaknya terdapat dua agen yang mensuplai kebutuhan LPG Bright Gas (NPSO), sedangkan penyalurannya diangkut oleh agen melalui kapal untuk kemudian didistribusikan ke desa-desa di sana.

Hingga saat ini belum ada outlet resmi Pertamina di Mentawai yang menjual Bright Gas, katanya.

Harga LPG Bright Gas (non subsidi) setelah di Mentawai berada di kisaran harga Rp290 ribu sampai Rp300 ribu untuk isi ulang 12 kilogram. Sedangkan yang 5,5 kilogram berada di kisaran harga Rp180 ribu sampai Rp200 ribu per tabung.

Kepala Bidang Energi dan Ketenagalistrikan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumatera Barat Erick Kurniawan mengatakan, penyaluran LPG tiga kilogram bersubsidi belum diizinkan di Kabupaten Kepulauan Mentawai karena masih menunggu konversi dari Ditjend Migas.

Memang program konversi minyak tanah bukan kewenangan Pemprov, namun dari berbagai kesempatan koordinasi sudah disampaikan ke Kementerian ESDM dalam hal ini Ditjend Migas untuk dapat melakukan konversi minyak tanah di sana, kata Erick.

Pemerintah Provinsi juga sudah menyampaikan permohonan ke Ditjend Migas Kementerian ESDM terkait hal ini melalui Surat Gubernur yang didasarkan Surat Sekretaris Daerah Mentawai tentang Konversi minyak tanah ke LPG tiga kilogram di Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Sekretaris Daerah Mentawai Martinus Dahlan dalam surat tertulisnya menyampaikan, sejak Sumatera Barat ikut dalam Program Konversi Minyak Tanah ke LPG 3 Kilogram pada 2008, hanya Mentawai yang belum ikut disebabkan pada saat itu secara umum masyarakat di masih sangat membutuhkan minyak tanah dalam menunjang kehidupan sehari-hari.

Dalam perkembangannya, sebagian masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai juga menggunakan LPG 3 kilogram di antaranya nelayan sasaran, petani sasaran dan keluarga prasejahtera yang sangat membutuhkan gas melon itu dalam kesehariannya.

Untuk memenuhi kebutuhan itu, dilakukan upaya pembelian di luar wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai terutama dari kota padang sehingga menyebabkan kurangnya pemenuhan kebutuhan di wilayah kota Padang.

Pemerintah daerah mengusulkan konversi sebagian ke elpij, jadi tidak semua kuota minyak tanah untuk Mentawai dihapuskan karena sebagian masyarakat masih membutuhkan, terutama di pedalaman.

Kabupaten Kepulauan Mentawai yang terdiri atas 43 Desa dan 341 Dusun dengan penduduk berjumlah lebih kurang 97.000 jiwa dan 26.652 Kepala Keluarga.

Untuk tahun 2025 Kabupaten Kepulauan Mentawai mendapatkan kuota minyak solar 2.654 kilo liter dan minyak tanah 2.719 kilo liter.

Maka itu, Pemkab Mentawai memohon kepada pemerintah pusat untuk dapat diberikan kuota gas elpiji tiga kilogram kepada sekitar 13.326 Kepala Keluarga di Bumi Sikerei tersebut.

Sejumlah Sikerei (dukun Mentawai) menjalankan ritual di depan seekor babi yang akan disembelih pada upacara memperingati kematian di Dusun Onga, Desa Matotonan, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Sabtu (5/7/2025). Upacara adat memperingati kematian (kamateijat) atau disebut ritual E’eruk itu merupakan aktivitas pembersihan diri dari hal-hal buruk menurut kepercayaan masyarakat adat Mentawai yang diikuti oleh keluarga dan seluruh anggota uma (rumah Mentawai) dari seseorang yang telah meninggal dunia. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/foc.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Kopda Bazarsah  Dituntut Hukuman Mati Usai Tewaskan Tiga Polisi di Lokasi Judi Sabung Ayam

Eks Polisi dan Tiga Rekannya Ditangkap, Bawa Dua Senpi Rakitan dan Sabu