Empat hari terakhir muncul satu wacana yang menjadi salah satu pembahasan paling kontroversial di masyarakat, yakni Perppu Ormas. Salah satu konsekuensi yang menjadi bahan perdebatan adalah pemerintah kini tak perlu lagi melalui pengadilan jika ingin membubarkan sebuah ormas. Cukup langsung melakukan prosedur pembubaran.
Di tengah bangkitnya nasionalisme dan ancaman soal penggantian Pancasila dengan khilafah, banyak elemen masyarakat yang mendukung jalan pintas pembubaran ormas. Terutama mengacu pada kasus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Hanya, masyarakat juga harus sadar. Memberikan hak yang begitu besar kepada pemerintah sama saja dengan memberikan kekuasaan yang lebih besar. Apalagi, meski menyatakan ada parameter objektif mengenai apa yang disebut “bertentangan dengan Pancasila”, tetap saja penilaian terhadap hal itu bergantung subjektivitas rezim.
Dewasa ini pendulum dunia memang bergerak ke arah “kanan”. Gerakan-gerakan kanan (politik identitas) tumbuh subur di berbagai belahan dunia. Referendum Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa), terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat, dan politisi far right di Eropa menjadi semakin banyak.
Di Prancis, meski yang terpilih adalah politikus yang “tengah”, yakni Emmanuel Macron, Prancis tak lantas bebas dari gerakan kanan radikal. Banyak anak muda Negeri Anggur itu yang bergabung ke Generation Identitaire. Sebuah gerakan rasisme bergaya Ku Klux Klan modern.
Indonesia mengalami masalah serupa. Selain banyaknya simpatisan ISIS, politik identitas makin mendapatkan momentum.
Menguatnya gerakan kanan radikal memang bukan hal yang baik. Tetapi, itu tidak bisa diselesaikan dengan membuat perppu tentang pembubaran ormas. Sebab, langkah tersebut bisa mencederai salah satu prinsip dasar demokrasi: kebebasan berserikat.
Menyelesaikan masalah-masalah kanan radikal sebenarnya sederhana saja. Tegakkan hukum dengan baik. Proses mereka-mereka yang secara hukum nyata-nyata telah melakukan pelanggaran pidana. (*)
LOGIN untuk mengomentari.