Palembang, BP- Informasi hoaks atau bukan harus bisa di bedakan, jangan mudah percaya dengan informasi hoaks, bagaimana cara kita melawannya ?
Webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 Kota Palembang memberikan pencerahan tentang itu. Dengan tema “Menjadi Pejuang Anti Kabar Bohong (Hoaks) yang diselenggarakan Jumat (19/11) pukul 09.00 – 12.00 dengan menghadirkan narasumber di antaranya Syali Gestanon, S.Sos (Kepala Seksi Pengelolaan dan Aspirasi Publik Dinas Kominfotik ), Koharudin S. T (Kepala Seksi Layanan Hubungan Media), Layang Sardana, M.H. (Dosen Universitas PGRI Palembang) dan Masni Dewi, M.Pd (Guru SMK Negeri 7 Palembang).
Moderator Ayu Amelia di sesi awal mempersilahkan Rani @ranieuntara (Momfluencer & Less Waste Enthusiast) sebagai Key Opinion Leader, Rani mengingatkan pentingnya meliterasi diri sendiri. Ini dalam rangka cerdas membedakan berita hoaks atau tidak. “Pastikan jangan sampai sia-siakan ilmu yang didapat. Eksis di dunia maya tidak salah tapi gunakan sepositif penting. Jangan sampai viral sesaat saja. Tapi berbuatlah yang positid misalnya buat konten-konten yang positif. Bijak dan jujur dengan diri sendiri baru bisa mengungkap atau share ke orang lain. Bagaimana melihat efek yang akan diterima orang ketika kita ikut-ikutan share berita hoaks. Pertanyaan-pertanyaan ini yang kita tujukan pada diri sendiri sebelum melakukan sesuatu di dunia digital ini,” ujar Rani.
Syali Gestanon, S.Sos (Kepala Seksi Pengelolaan dan Aspirasi Publik) sebagai narasumber pertama pada webinar kali ini menampilkan berbagai materi selama lebih kurang 20 menit. Syali Gestanon’s yang dalam keseharian berkutat di aspirasi dan opini yang tiap hari saya cek perkembangannya. “Setiap hari harus buka media online, twitter, dan perangkat lainnya,” ujarnya.
Syali sharing tentang kejahatan dunia digital. Narasumber di awal memaparkan pengguna internet di Indonesia yang sudah mencapai angka 202 juta. Ini merupakan suatu kemajuan namun di balik itu dilihat penggunaannya untuk apa. Penggunaan ke arah mana?
Menurutnya, transformasi digital dikampanyekan dunia dalam rangka mengikuti perkembangan dunia digital. Perlu perenungan buat semua, penggunaan untuk kepentingan apa? Untuk sekadar main game? atau untuk meliterasi diri. “Kepada para peserta yang merupakan pelajar, pada kesempatan ini saya juga ingatkan bahwa ini momen meliterasi diri jadi jangan dibuat sambilan main game. Sayang saja kesempatan menambah wawasan kita seperti saat ini. Gunakan ruang digital sesuai dengan ruang dan waktu. Boleh main game tapi di kesempatan lain,” ujar Syali yang juga menyebutkan bahwa ruang digital seperti pisau bermata dua, ada efek positif dan efek negatif. Beberapa contoh diberikannya yaitu adanya cybercrime yang disebabkan penyalahgunaan data pribadi yang dipublikasikan.
Beberapa potensi penyalahgunaan data pribadi dipaparkan Syali juga pada kesempatan ini. Cybercrime melalui video disebutkannya Syali saat ini sedang marak. Definisi mis informasi, mal informasi dan disinformasi juga dipaparkan Syali. “Berbagi pesan boleh tapi harus hati-hati karena ada UU yang mengatur itu semua. Terkait dengan informasi dan transaksi elektronik. Berita hoaks, pencemaran nama baik dan mal informasi ada pasalnya semua. Sanksi hukum juga jelas hukuman penjara dan denda. Hati-hati mau share cepat-cepat taunya itu berita bohong nah ini jelas ancamannya,” kata Syali seraya memberikan tips verifikasi sumber informasi dengan cek situs, narasumber kredibel atau tidak terkait informasi yang diberikan, selanjutnya, cek data-data terkait dengan informasi tersebut. “Jarimu adalah harimaumu. Jejak digital tak bisa dihilangkan meski sudah dihapus,” kata Syali yang juga kembali mengingatkan.
Selanjutnya narasumber kedua, Koharudin S. T (Kepala Seksi Layanan Hubungan Media). Bijak Kenal UU ITE, Jaga Dunia Digital Apa itu hoaks, mengidentifikasi hoaks disebutkan Koharuddin dengan membedakan mulai dari judul berita, apakah yang bersifat provokatif atau spekta. “Jika berita itu tidak ada sumber informasi maka ini yang perlu diteliti lebih lanjut kevalidannya. Sumber informasi sangat penting karena data dan fakta yang disajikan harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Selanjutnya, ada tulisan “Minta dishare atau viralkan” maka ini pun perlu diwaspadai sebagai sebuah informasi yang ada apa-apanya. Apa tujuan minta diviralkan? Apa kepentingan, apa nilai positifnya? dan beberapa pertanyaan perlu kita pertimbangkan untuk ikut-ikutan latah mengsharenya juga,” kata Koharuddin yang menyebutkan beberapa segmen yang paling banyak hoaks dari pemberitaan politik dan kesehatan.
Sanksi hukum tindak pidana dari berita hoaks disebutkan Koharuddin jelas pasal per pasal seperti Pasal 45 ayat 1 dan 2 yang ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara. Media sosial disebutkannya sebagai saluran yang paling tinggi tingkat penyebaran berita hoaks di dunia maya.
Koharuddin juga pada kesempatan ini tak lupa memaparkan sisi negatif dan positif. Menjadi pengguna media yang cerdas disebutkannya harus diikuti dengan beberapa langkah di antaranya dengan pengetahuan seputar literasi di dunia digital. “Jari tangan juga harus dijaga selalu. Telaah isi konten sebelum dishare. Jika menerima suatu pesan maka jangan latah langsung share, cek dulu kebenarannya,” tambah Koharuddin.
Narasumber ketiga, Layang Sardana, M.H. (Dosen Universitas PGRI Palembang) yang memaparkan materi selama 20 menit tentang Realitas dalam Budaya Global. Layang di awal pemaparan menyebutkan beberapa nilai seperti nilai positif dan negatif dalam pemanfaatan teknologi. Beberapa contoh diberikannya. “Informasi yang disebarkan yang dapat menyebabkan kekacauan bisa ditangkal jika kita memiliki pemahaman tentang dampaknya. Adanya oknum tertentu yang bertujuan menyebar berita hoaks tentunya dengan tujuan tertentu. Dalam skala kecil mungkin untuk kepentingan pribadi tapi untuk skala besar untuk kepentingan politik. Permasalahan-permasalahan bangsa seperti kemiskinan, pandemi dan sebagainya banyak dimanfaatkan oknum untuk menyebar berita hoaks dalam rangka memperkeruh suasana. Salah satu penyumbang besar dari berita hoaks adalah tulisan yang sampai 79 persen. Selanjutnya video yang diunggah berulang-ulang 69,2 persen. Medsos juga penyumbang berita hoaks dengan angka presentase yang juga tinggi,” ujar Layang.
Ada lima cara mengantisipasi Hoaks di antaranya hati-hati dengan judul yang provokatif, cermati alamat situs, periksa fakta. “Penyebaran konten bohong ini dilakukan untuk mencari keuntungan,” kata Layang yang juga menyebutkan cara lain yaitu melakukan pendekatan literasi digital. Menurutnya, seharusnya saat ini digalakkan pendekatan literasi digital untuk mengedukasi masyarakat sehingga dapat meningkatkan nilai kepribadian kecakapan mengetahui berita hoaks atau tidak.
Selanjutnya, dengan penegakan hukum yang dilakukan dengan melibatkan institusi berkompeten. Google, email dan beberapa badan lain yang sudah menyediakan layanan untuk pengaduan. UU ITE itu juga merupakan sanksi tegas untuk penegakan hukum. :Perkataan akan hilang jika mengandung unsur bohong,” kata Layang.
Masni Dewi, M.Pd (Guru SMK Negeri 7 Palembang) merupakan narasumber terakhir membawakan materi tentang Etika Digital. Masni Dewi mendefinikan etika dari dua versi yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Aristoteles. “Menurut Aristoteles : etika dibagi menjadi dua, Terminius Technikus dan Manner and Custom. Terminius Technikus adalah etika yang dipelajari sebagai ilmu pengetahuan dengan mempelajari suatu problema tindakan atau perbuatan manusia. Sementara definisi Etika digital adalah kemampuan individu untuk menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika bermedia digital dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Ada sepuluh point dalam beretika di dunia maya yang dijabarkan Masni sebagai berikut; Ingat keberadaan orang lain, Pikir dulu sebelum berkomentar, Gunakan bahasa yang sopan dan santun, Menjadi pembawa dalam diskusi yang sehat, Jangan menyakahgunakan kekurangan, Hormati waktu dan band width orang lain, Bagilah ilmu dan keahlian, Hormati privasi orang lain,Maafkan jika orang lain membuat kesalahan, dan Taat standar perilaku online yang sama kita jalani dalam kehidupan kita.
Selanjutnya, Masni juga menyebutkan dua hal yang harus dilakukan agar tidak terjadi masalah dengan unggahan yaitu memiliki rasa empati dan Perlakukan orang lain sama seperti kita ingin diperlakukan.
Webinar dibuka dengan menayangkan Lagu Indonesia Raya yang diikuti semua peserta webinar dan dilanjutkan dengan penayangan video keynote speech yaitu Semuel A Pangerapan, Direktur Jenderal (Dirjen) Aplikasi Informatika (Aptika) Kemenkominfo RI. Lantas keynote speech kedua disampaikan Walikota Palembang H Harnojoyo yang mengapresiasi penyelenggaraan webinar tersebut.
Lebih lanjut dalam sesi tanya jawab, moderator mempersilakan empat penanya terpilih untuk menyampaikan pertanyaan secara langsung kepada keempat narasumber secara berurutan. Karena antusias peserta cukup tinggi untuk bertanya, moderator juga memilih enam peserta lagi untuk berkesempatan mendapat hadiah langsung berupa uang elektronik masing-masing senilai Rp 100 ribu.
Suryati Ali selaku Runner Literasi Digital wilayah Palembang Sumsel membenarkan bahwa webinar yang digelar Kemenkominfo RI bekerjasama dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel diikuti secara daring oleh 796 peserta
dari kalangan mahasiswa dan pelajar. “Alhamdulilah, antusias masyarakat mengikuti webinar ini masih tinggi. Kami sangat bersyukur, melalui kegiatan literasi digital ini, sesuai dengan arahan Kemenkominfo untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat khususnya di wilayah kota Palembang melalui gerakan Webinar Literasi Digital 2021 Kota Palembang,” kata Suryati, Jumat (19/11).
Webinar selanjutnya akan digelar kembali pada Senin 22 Nopember 2021 pukul 09.00 – 12.00 dengan materi bertema “Kritis dan Bijak dalam Menghadapi Hoaks di Masa Pandemi” dengan menampilkan beberapa narasumber di antaranya Kepala SMP Negeri 41 Palembang, Drs Aris Munandar MSi, Dosen Pascasarjana Universitas Taman Siswa Palembang.#osk