Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”. Mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu.
(QS. Al Baqarah: 13)
Jalan Kaki Bayar Seikhlasnya, Sering Dipakai Swafoto
Jembatan milik Rustam membantu warga dua desa yang terpisah provinsi untuk menghemat waktu. Saat musim hujan tiba kelak, sang pemilik harus siap merelakannya hanyut.
Rustam bersiap. Sebab, seorang pengendara mendekat. Dia lantas berdiri untuk menerima uang yang diulurkan saat motor akan memasuki jembatan bambu di sebelahnya.
“Kalau untuk menahan beban lebih dari tiga motor juga kuat, asal searah. Kalau papasan, ya harus bergantian karena lebar jembatan hanya cukup untuk satu motor,” ujar Rustam kepada Radar Cirebon (Group Padang Ekspres) setelah si pengendara tersebut berlalu.
Kalau Rustam paham sekali perihal kekuatan jembatan selebar 1 meter tersebut, itu wajar. Sebab, jembatan bambu di atas Sungai Cisanggarung tersebut memang milik pribadinya. Karena itu pula, pria 55 tahun tersebut menarik tarif untuk siapa saja yang memanfaatkan jembatan tersebut.
Peran jembatan bernama Sekroh –sesuai dengan blok tempatnya berdiri– itu vital. Tak cuma menghubungkan dua desa yang sama-sama bernama Kalibuntu, tapi sekaligus dua kabupaten di dua provinsi yang berbeda, Cirebon di Jawa Barat dengan Brebes di Jawa Tengah.
Sungai Cisanggarung memang batas alami dua provinsi tersebut di bagian utara. Di atas sungai itu pula berdiri jembatan jalan raya permanen dengan gapura selamat datang di kedua provinsi.
Jauh berbeda dengan jembatan jalan raya, jembatan milik Rustam hanya bisa dilintasi pengendara motor dan sepeda serta pejalan kaki. Meski demikian, bagi warga Desa Kalibuntu di Kecamatan Pabedilan, Cirebon, dan Desa Kalibuntu, Losari, Brebes, jembatan tersebut sangat membantu untuk menghemat waktu.
Memang ada dua jembatan permanen yang menghubungkan Cirebon dengan Brebes di Losari dan Ciledug. Tapi, dibutuhkan setidaknya 25 menit bagi warga Desa Kalibuntu di Brebes jika harus melewati jembatan tersebut untuk bisa memasuki wilayah Cirebon.
Padahal, lewat Jembatan Sekroh, cukup lima menit. “Yang lewat kebanyakan orang-orang ke sawah atau berangkat kerja,” tutur Rustam.
Di sepanjang aliran Cisanggarung wilayah Cirebon, jembatan pribadi sebenarnya bukan hanya milik Rustam. Di Desa Cigobangwangi, Kecamatan Pasaleman, juga ada jembatan seperti itu. Menghubungkan desa tersebut dengan Desa Waled Kota di Kecamatan Waled. Untuk melintas di jembatan milik keluarga H. Timbul tersebut, warga bisa membayar seikhlasnya, Rp 1.000–Rp 2.000.
Keluarga Timbul sudah mengelolanya selama 10 tahun. Tiap hari dibuka 24 jam. Dijaga dalam tiga sif oleh anak-anak sang pemilik.
Dengan jembatan yang hanya cukup untuk dua kendaraan roda dua itu, warga sangat terbantu. Sebab, mereka tak perlu harus memutar ke Cilengkrang, melewati jembatan yang telah dibangun permanen di sana.
“Mereka yang ingin ke pasar (Waled, red) atau mau ke Cirebon (kota, Red) ya lewat sini,” kata Darkim, warga Cigobangwangi.
Hanya bedanya, tak seperti milik Rustam, dua desa yang dihubungkan jembatan yang konstruksinya terdiri atas bambu dan kayu tersebut sama-sama berada di wilayah Cirebon.
Sebelum “berbisnis” jembatan, Rustam adalah pemilik perahu penyeberangan warisan orang tua. Ketika debit Cisanggarung surut, otomatis perahu miliknya tak bisa beroperasi karena sungai menjadi dangkal.
Rustam menceritakan, sebelum membuat jembatan, dirinya harus memastikan bahwa jalur yang akan dilalui kendaraan sudah siap dan tidak membahayakan. Bahkan, dia harus membeli material urukan agar akses yang berada di badan bekas sungai tersebut keras dan bisa dilewati kendaraan.
Selain itu, dia harus benar-benar memastikan landasan bambu tersebut sejajar dan tidak miring agar aman dilintasi pemotor. Kalau tidak, berbahaya. Pelintas bisa terjatuh di tengah jembatan.
Secara keseluruhan, dia menghabiskan sekitar Rp 3 juta untuk berbelanja material bambu. Proses konstruksinya membutuhkan empat hari. “Yang utama itu, fondasi di bawah sungai harus kuat agar landasan tidak goyang,” katanya pekan lalu.
Jam operasionalnya bukan 24 jam seperti jembatan milik Timbul. Rustam hanya mengoperasikan jembatannya mulai pukul 06.00 sampai 17.00 WIB. “Kalau malam tutup,” katanya.
Belakangan banyak pula anak muda dari kedua desa yang memanfaatkan jembatan itu untuk berswafoto begitu sampai di bagian tengah. “Katanya, pemandangannya bagus karena langsung berdiri di tengah-tengah Cisanggarung,” kata bapak dua anak tersebut.
Menurut Rustam, tiap pelintas sudah paham tarif yang diterapkan. Jadi, tak pernah ada yang mbeling dengan menerobos tanpa membayar. “Kalau pejalan kaki, ya seikhlasnya, tidak dipaksa,” katanya.
Rustam yakin bahwa jembatannya itu bisa bertahan selama kemarau masih berlangsung. Juga, debit Cisanggarung belum normal.
Begitu memasuki musim hujan kelak, bisa jadi jumlah pelintas berkurang. Sebab, kalau sudah demikian, warga kedua desa biasanya lebih suka menyeberang dengan perahu.
Otomatis, Rustam bisa kembali berbisnis perahu penyeberangan. Di sisi lain, ketika hujan deras dan debit Cisanggarung kian tinggi, Rustam juga harus ikhlas, merelakan jembatannya hilang disapu banjir.
Tapi, setidaknya untuk saat ini dia bersyukur karena masih bisa mengantongi pemasukan saat perahu tak lagi beroperasi. “Lumayan, tapi tidak besar,” katanya, lalu menyebut angka sekitar Rp 100 ribu per hari sebagai pemasukan.
Tak besar secara pemasukan maupun fisik bangunan, tapi secara fungsi sangat penting. Terutama bagi warga dua desa bertetangga tapi terpisah kabupaten dan provinsi. (*)
LOGIN untuk mengomentari.