Sofian (17), anak nelayan asal Desa Juru Taro, Muara Sugihan, Banyuasin, Sumatera Selatan, langsung mukanya terlihat murung ketika ditanya bagaimana keadaan kampungnya sekarang.
Bagaimana tidak, kampung nelayan di pesisir jalur 14 Kecamatan Muara Sugihan yang didiami keluarganya secara turun-temurun itu sudah tidak lagi banyak ikannya. Jumlah penduduknya malah bertambah.
“Sekarang ikan tidak sebanyak pada saat saya masih kecil. Penduduk makin bertambah dan hidup pun menjadi makin sulit,” kata Sofian di sela sosialisasi kartu nelayan yang diselenggarakan Dinas Kelautan dan Perikanan di Palembang, akhir pekan lalu.
Bagi Sofian, keadaan ini tentunya menyedihkan. Maklum saja, anak bungsu dari empat bersaudara ini mengalami masa kecil yang begitu indah ketika bermukim di kampung nelayan di persisir jalur 14 Kecamatan Muara Sugihan itu.
Meski infrastruktur terbilang minim karena jalan-jalan di kampung hanya bermaterikan jeramba kayu, tidak sulit bagi warga setempat untuk mendapatkan ikan.
Kala itu, hanya beberapa puluh keluarga saja yang mendiami kampungnya dan aktivitas menangkap ikan cukup dengan alat tangkap tradisional, jaring.
Para nelayan cukup bermodalkan perahu mesin dengan kapasitas kecil untuk menjangkau perbatasan Kepulauan Bangka Belitung dan bisa pergi pulang (p.p.) tanpa harus menginap di kapal.
Dalam sekali berlayar, ayah Sofian, Junaedi, bisa pulang membawa ikan segar dengan beragam jenis dan ukuran yang relatif cukup memenuhi kebutuhan keluarga.
Namun, sekarang keadaan telah berubah. Sejak 1 dekade terakhir, menurut Sofian, sangat terasa penurunan hasil tangkapan. Bahkan, jika tidak melaut hingga ke Kepulauan Riau, seperti ke Natuna dan Pulau Sayak, sang ayah, Junaedi, tidak akan “balik modal”.
Karena besarnya modal, tidak heran nelayan memilih berlayar secara berkelompok. Selain demi keselamatan, mengingat dalam sekali berlayar membutuhkan waktu 3 hari, berkelompok juga bertujuan agar mereka bisa urunan modal.
“Dahulu, saya ingat betul. Cukup miringkan perahu sudah dapat ikan-ikan kecil. Akan tetapi, kini tidak bisa lagi. Miringkan perahu, bukan ikan yang didapat, melainkan sampah,” ucap Sofian.
Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sang ayah terpaksa menjadi petani dan penjual daun nipah (bahan untuk atap).
Sebidang lahan peninggalan keluarga untuk menanam padi yang hasilnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, dia menjual daun nipah saat tidak bisa melaut karena ombak tinggi.
“Beginilah hidup kami, seada-adanya saja. Itulah saya senang ketika pemerintah melarang pakai alat tangkap trawl dan cantrang karena alat tangkap inilah yang membuat tangkapan ikan makin lama makin berkurang,” katanya.
Kesulitan hidup yang dihadapi nelayan ini tidak ayal membuat Sofian enggan meneruskan profesi ayah dan kakek buyutnya sebagai nelayan. Meski tiga kakak kandungnya menjadi nelayan, dia bertekad mengenyam pendidikan tinggi di universitas.
Pemuda kelahiran Banyuasin, 18 Juli 1998, ini sejak kecil menunjukkan minat yang tinggi pada pendidikan. Setamat sekolah dasar, da minta dimasukkan ke pondok pesantren di Darul Abroh, KM 14 Kota Palembang.
Ia pun menolak tawaran untuk mengabdi terlebih dahulu selama setahun sebagai pengajar di pesantren tersebut sebelum melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA karena ingin secepatnya menyelesaikan pendidikan.
“Seharusnya saya jadi guru dahulu, paling tidak 1 tahun di pondok. Akan tetapi, saya tidak mau karena ingin cepat-cepat masuk SMA. Pikiran saya bagaimana caranya agar cepat kuliah,” kata Sofian.
Setelah menamatkan SMP, dia melanjutkan ke SMA Muara Padang dan menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pada tahun ini.
Sofian yang bertekad kuat mengeyam pendidikan formal itu telah membuat kedua orang tuanya terenyuh. Meski awalnya kurang mendukung karena tiga kakak Sofian memilih jadi nelayan, lambat laun keduanya memberikan restu.
Sofian pun tidak menyia-nyiakan dukungan tersebut dengan mendaftarkan diri pada seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri. Dia memilih Jurusan Agrobisnis dan Teknologi Perikanan di Universitas Sriwijaya.
“Saya ingin menerapkan teknologi perikanan di kampung. Semoga saja cita-cita ini terwujud,” ujar Sofian.
Apa yang dialami Sofian itu tidak dibantah Ruslan Aziz (64), nelayan asal Sungsang, Banyuasin, Sumatera Selatan. Dia juga mengeluhkan kurangnya tangkapan ikan sejak 10 tahun terakhir sehingga memaksanya berlayar hingga Kepulauan Riau.
Kondisi tersebut makin menyulitkan para nelayan yang bermukim di Sungsang karena terjadi kenaikan biaya produksi.
“Dalam 10 tahun terakhir ini yang bisa dikatakan sangat terasa berkurangnya. Jika hanya berlayar ke perbatasan Bangka, jumlah tangkapan ikan tidak sesuai, jadi terpaksa saya dan teman-teman ke Kepulauan Riau,” kata Ruslan.
Ruslan mulai menjadi nelayan pada 45 tahun silam. Saat ini dia memiliki kapal berkapasitas 5 GT yang digunakan bersama empat rekannya. Setiap keuntungan yang didapat dari penjualan ikan akan dibagi rata setelah dikurangi biaya produksi.
Ayah empat orang anak itu mengatakan bahwa jumlah pendapatannya selalu tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, dia tetap bertahan karena tidak memiliki kepandaian lain selain menjadi nelayan.
“Bahkan, saat tidak enak badan, saya pun harus melaut. Jika tidak melaut, keluarga tidak makan. Pernah saya hanya bawa pulang uang Rp150 ribu setelah 3 hari melaut,” katanya.
Kesulitan meningkatkan pendapatan itu, bukan semata-mata karena jumlah tangkapan ikan yang berkurang, melainkan ketergantungan nelayan pada tauke. Kelemahan mengakses lembaga keuangan formal untuk modal kerja membuat Ruslan terikat puluhan tahun dengan tauke sehingga mau tidak mau menjual harga ikan dengan harga di bawah pasar.
“Jika saja saya tidak terikat dengan tauke, mungkin saya bisa jual ikan dengan harga yang lebih tinggi. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, jika butuh uang selalu menemui tauke yang bisa meminjamkan,” ujarnya.
Perlindungan
Terkait dengan kondisi tersebut, Ketua Komisi IV DPR RI Edhy Prabowo berharap para nelayan tidak berputus asa karena era pemerintahan Jokowi-JK mulai ada keberpihakan pemerintah kepada nelayan. Bahkan, muncul ungkapan “Jangan Membelakangi Laut”.
Semangat pemerintah ini sejalan dengan semangat anggota legislatif yang telah mewujudkannya dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Undang-undang ini telah masuk dalam RUU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan ke dalam Program Legislasi Nasional pada tahun 2009 s.d. 2014. Sampai pada periode itu, RUU itu tidak pernah dijadikan prioritas tahunan untuk dibahas. Namun, pada tahun 2015 menjadi prioritas Prolegnas, kemudian disahkan pada tanggal 15 Maret 2016. Saat ini memasuki tahapan sosialisasi.
Dalam UU itu dijelaskan bahwa profesi nelayan itu harus dilindungi dengan prinsip kedautan, keberlanjutan, kesejahteraan, dan pemberdayaan.
“Ke depan melalui UU ini, kami berharap nelayan kita hidup lebih sejahtera dan makmur,” katanya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Rifky Effendi Hardijanto mengatakan bahwa keberpihakan pemerintah kepada nelayan tidak lain untuk menyelamatkan profesi tersebut.
Nelayan saat ini salah satu profesi yang menjadi perhatian pemerintah karena dalam 1 dekade terjadi penurunan drastis, yakni dari 16.000 jiwa pada tahun 2004 menjadi 8.000 jiwa pada tahun 2015.
Salah satu penyebabkan adalah rendahnya penghasilan dan tidak ada jaminan kesejahteraan bagi mereka.
Namun, pemerintah tidak tinggal diam. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti belum lama ini menerbitkan Peraturan Menteri 2/2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia di Sektor Perikanan. Melalui aturan itu, KKP ingin memastikan para nelayan mendapatkan hak yang setara dengan profesi lain.
Lahirnya permen itu dilatari hasil penelitian yang mewawancarai sekitar 1.100 korban perdagangan orang di bidang perikanan. Mereka mengungkapkan kekerasan, seperti pembunuhan dan pembuangan jasad ke laut oleh oknum petugas perusahaan.
Jam kerja lebih dari 20 jam per hari hingga perbuatan melawan hukum, seperti mematikan transmiter kapal, “illegal transshipment”, serta pemalsuan dokumen dan “logbook”, juga terungkap pada penelitian itu.
Selain perlindungan HAM, pemerintah juga mengeluarkan beberapa program untuk mengangkat derajat hidup mereka, seperti bantuan alat tangkap ramah lingkungan, asuransi nelayan, sertifikasi lahan, pelatihan-pelatihan, dan mengeluarkan regulasi yang berpihak pada nelayan.
Reformasi yang dilakukan di sektor perikanan nasional mulai menunjukkan hasil. Produksi perikanan yang biasanya dicuri, yang diperkirakan seperempat dari potensi produksi nasional, kini sudah bisa diselamatkan dan dinikmati di dalam negeri.
Pada tahun 2015, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor ini membaik dari 7,35 persen pada tahun 2014 menjadi 8,37 persen. Produksi perikanan juga meningkat dari 20,40 juta ton menjadi 23,99 juta ton.
Perbaikan itu merupakan hasil dari pengaturan serta pemberantasan dan penegakan hukum atas tindakan pencurian melalui penangkapan ikan secara ilegal, tidak terdaftar, dan tidak dilaporkan atau IUU fishing.
Hal itu mencakup moratorium izin kapal asing, penenggelaman kapal IUU fishing, pengaturan alat tangkap, pendaftaran ulang, pemulangan kapal asing, hingga menutup sepenuhnya sektor perikanan tangkap dari investasi asing.
“Memang masih banyak masalah di sana-sini. Akan tetapi, percayalah bahwa kami berusaha agar sektor perikanan Tanah Air terus membaik. Penyelesaian masalah memang tidak mudah karena harus dilihat kasus per kasus,” kata Rifky.
Profesi nelayan hingga kini masih belum menjanjikan kesejahteraan. Profesi yang syarat risiko ini demikian dekat dengan kemiskinan. Indonesia seharusnya merasa malu atas kenyataan tersebut karena menjadi negara dengan pulau terbanyak sekaligus memiliki garis pantai terpanjang nomor dua di dunia setelah Kanada.
Editor: Ujang
COPYRIGHT © ANTARA 2017