(Wartawan Utama/ Penggiat
Kaki Bukit Literasi)
Satu hari usai hari raya Idul Fitri 1441 H seorang sahabat yang menjadi pemimpin sebuah media dan dosen berkirim pesan via WA. Isi pesan bertanya, “Apakah saya memiliki materi untuk sekolah jurnalisme Islam atau semacam satuan acara perkuliahan (SAP)?” Saya jawab, “Tidak ada, yang ada materi tentang jurnalisme profetik.”
Untuk mencari tahu tentang jurnalisme Islam, mencoba menelusurinya pada panduan kurikulum jurusan Ilmu Komunikasi atau Program Studi Jurnalistik pada beberapa perguruan tinggi. Tidak dijumpai adanya mata kuliah “Jurnalisme Islam.” Perguruan tinggi tersebut mengajarkan mata kuliah : Pengantar Jurnalisme, Jurnalisme Media Massa, Jurnalisme Online, Jurnalisme Presisi, Jurnalisme Lingkungan, Jurnalisme Radio, Jurnalisme Televisi, Jurnalisme Foto, dan lainnya.
Untuk mengetahui tentang jurnalisme Islam dan jurnalisme profetik, mencarinya pada beberapa buku atau literatur. Diantaranya, buku berjudul Mediating Islam Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim yang ditulis Janet Steele, Associate Professor of Journalism di George Washington University dan Director Institute for Public Diplomacy and Global Communication, dan buku berjudul Jurnalisme Profetik yang ditulis wartawan senior Parni Hadi.
Dua buku tersebut tidak membahas secara khusus tentang jurnalisme Islam namun membahas hubungan antara jurnalisme dan Islam. Dalam buku Mediating Islam Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim, Janet Steele memberikan gambaran mengenai jurnalisme dan Islam. Buku tersebut merangkum sebuah penelitian yang dilakukannya selama hampir 20 tahun terakhir, mengenai praktik pelaporan profesional para jurnalis Muslim di lima kantor berita atau media terkemuka di Indonesia dan Malaysia.
Janet Steele melakukan penelitian di Republika, yang menjadikan masyarakat muslim sebagai segmen pembaca utama; Tempo, majalah berita progresif mengusung pluralisme; Sabili, majalah fenomenal yang mempekerjakan jurnalisnya karena kemampuan mereka dalam dakwah atau propaganda Islam; Harakah, tempat para wartawannya berafilisiasi dengan partai politik Islam; dan Malaysiakini, media independen yang mengambil peran oposisi dengan pemerintah.
Menurutnya, Indonesia dan Malaysia, sebuah pemberitaan tidak hanya diusung berdasarkan prinsip melawan kekuasaan yang sewenang-wenang, tetapi juga adanya tanggung jawab moral terhadap Tuhan.
Pada kuliah umum di UIN Jakarta (2018), Janet Steele mengatakan, “Lewat jendela jurnalisme, saya bisa menyampaikan kepada Barat tentang dunia Islam, karena mereka banyak salah paham kepada Islam.” Menurutnya, jurnalis muslim di Asia Tenggara memakai pendekatan Islam dalam karyanya. Hal ini berbeda dengan Barat.
Peraih gelar doktor dalam Ilmu Sejarah dari Johns Hopkins University bercerita, saat berkunjung ke Washington Post dan bertanya apa hubungan jurnalistik dan agama, mereka mungkin tidak mengutip Bible.
Berdasarkan pengalamannya menurut Janet Steele, sikap para jurnalis di Barat berbeda dengan para jurnalis muslim di Asia Tenggara. Ia menyimpulkan bahwa jurnalis Barat mempunyai tujuan yang profan, sedangkan jurnalis Indonesia dan Malaysia umumnya mempunyai tujuan transendental, ukhrawiah.
Janet Steele menyatakan, dalam hal menjalankan etika jurnalistik, jurnalis muslim Indonesia didasari konsep tabayun, check and recheck, disiplin verifikasi. Dari pengalamannya berinteraksi dengan jurnalis muslim, mereka mengutip Alquran surat Al-Hujurat ayat 6 tentang perintah meneliti kebenaran suatu berita jika dibawa orang fasik. Menurutnya, standar jurnalistik Islam lebih tinggi, karena mereka tak bisa menuduh tanpa bukti.
Janet Steele dalam penelitiannya menemukan bahwa, “Muslim journalists in
both Indonesia and Malaysia express the universal values of journalism, but do so within an Islamic idiom.”
Jurnalisme Profetik
Di Indonesia pemikiran profetik mulai dikenal luas setelah dikembangkan Kuntowijoyo guru besar sejarah dan sastrawan dari Universitas Gajah Mada (UGM) menggagas pembahasan Ilmu Sosial Profetik. Menurut Kuntowijoyo, ilmu-ilmu sosial mengalami kemandekan sebab membatasi diri hanya pada tataran interpretasi atas gejala-gejala sosial semata, pada hal sejatinya ialah juga harus memberi tuntunan terkait dengan arah transformasi yang harus dituju.
Ilmu Sosial Profetik lahir dari pengamatan dan perenungan epistemologis rasio, indra, dan wahyu atas perdebatan diseputar persoalan teologi yang kemudian berujung pada dua kelompok yang saling bertentangan, demikian halnya dengan kenyataan objektif ilmu sosial yang didominasi oleh paradigma positivistik, dan sekuleristik, serta fakta sosial yang belum mencerminkan nilai-nilai ilahiah. Adapun esensi Ilmu Sosial Profetik ialah sarat dengan nilai-nilai ilahiah.
Menurut pemikiran Kuntowijoyo, ilmu sosial profetik adalah suatu disiplin ilmu sosial yang menjadikan dimensi transedental sebagai landasanya. Ia merupakan alternatif di tengah-tengah perkembangan berbagai ilmu pengetahuan yang cenderung bersifat positivisme.
Ilmu sosial profetik mengadopsi suatu ajaran yang besumber dari teks keagamaan otoritatif (yakni Alquran dan Hadis), yang di jadikan sebagai dasar pijakan proses tranformasi humanisasi, liberasi. Sehingga ia menjadi suatu pengetahuan yang memiliki nilai-nilai keilahian, yang pada dasarnya keimanan dan tauhid kepada Allah SWT.
Pada tahun 2014 Parni Hadi wartawan senior dan pendiri Harian Republika menerbitkan buku berjudul Jurnalisme Profetik. Sejak itu jurnalisme profetik semakin dikenal luas diantara genre jurnalisme yang ada. Menurut Parni Hadi tugas wartawan menyebarluaskan informasi merupakan suatu kebaikan untuk tujuan kebaikan, dalam agama Islam disebut dakwah bil qalam. Penerapan konsep jurnalisme profetik menurutnya adalah mencerdaskan dan mencerahkan.
Ide pemikiran jurnalisme profetik merupakan bagian kampanye untuk meneladani sifat Rasulullah seperti jujur (shiddiq), menyampaikan pesan yang mendidik (tabligh), terpercaya (amanah), dan cerdas yang penuh dengan bijaksana (fathanah). Dalam konsep jurnalisme profetik mengajak media dan wartawan untuk bisa mengungkap suatu kebenaran, menegakkan keadilan, mendukung dalam menciptakan kesejahteraan, bisa mewujudkan atau menciptakan perdamaian, dan mengangkat setinggi-tingginya nilai kemanusiaan secara universal.
Kata “profetik” berasal dari bahasa Inggris prophetic. Artinya adalah kenabian. Menurut Parni Hadi jurnalisme profetik adalah jurnalisme kenabian. Maksudnya, jurnalisme yang meneladani akhlak dan perilaku mulia para nabi dan rasul dari semua agama. Jadi, pada dasarnya para wartawan adalah pewaris dan penerus tugas kenabian.
Tugas para nabi dan rasul, menurut Alquran, adalah untuk : “menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan, mengajak orang berbuat kebaikan dan memerangi kebatilan atau amar makruf, nahi munkar. Tugas itu sama dengan apa yang diemban para wartawan, menurut fungsi pers dan kode etik jurnalistik yang bersifat universal.
Jurnalisme profetik adalah proses mencari, mengumpulkan dan mengolah bahan-bahan dan menyiarkannya dalam bentuk informasi dengan melibatkan olah fisik, intelektual dan spiritual sejak awal untuk melayani publik dengan penuh cinta tanpa memandang suku, ras, budaya, agama dan ideologi.
Jurnalisme profetik adalah jurnalisme cinta. Jurnalisme profetik tidak berarti lembek atau toleran terhadap kejahatan kepada kemanusiaan, termasuk korupsi. Jurnalisme profetik juga menggalakkan investigative reporting.
Fungsi jurnalisme profetik adalah: memberi informasi, mendidik, menghibur, mengadvokasi, mencerahkan dan memberdayakan publik. Agar fungsi itu bisa terwujud, diperlukan persyaratan-persayaratan berikut: 1) kebebasan, agar ada 2) independensi, untuk menampilkan 3) kebenaran, guna mewujudkan 4) keadilan, demi 5) kesejahteraan, agar tercipta 6) perdamaian bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin).
Parni Hadi meyakini, jurnalisme profetik adalah genre jurnalisme yang diperlukan Indonesia dan dunia saat ini, ketika kebebasan berekspresi dapat dilakukan dengan sangat cepat dan menjangkau seluruh jagat oleh siapa pun hampir tanpa batas berkat kemajuan teknologi informasi dengan segala dampak positif dan terutama, negatifnya. Jurnalisme profetik adalah melakukan kontrol dari dalam (control from within) berdasar iman, agama apa pun yang dianut.
Jurnalisme Islam
Dalam beberapa wacana yang berkembang ada yang menyamakan jurnalisme profetik dengan jurnalisme Islam. Dalam buku Jurnalisme Profetik Parni Hadi menjelaskan perbedaan antara pemikiran jurnalisme profetik dengan jurnalisme Islam, dan jurnalisme Islami.
Secara sepintas pemahaman jurnalisme profetik tentu memiliki kesamaan dengan jurnalisme lainnya yang mengedepankan kebenaran. Secara filosofis, jurnalisme harus berpijak pada prinsip kebenaran, independensi, check and balance, cover all (multi) sides, verifikasi fakta, dan keberpihakan pada yang lemah. Segala praktik jurnalistik tentu sesuai dengan kaidahnya adalah menyampaikan informasi atau peristiwa fakta untuk disebarluaskan ke khalayak.
Parni Hadi menjelaskan tentang pemahaman jurnalisme Islam dan jurnalisme Islami. Pemahaman dua jurnalisme itu telah telah memunculkan perdebatan panjang. Masalah itu karena menempelkan label “Islam” setelah kata “jurnalisme” sehingga melahirkan ragam pendapat.
Menurutnya, jurnalisme bersifat universal dan karena itu praktiknya menerapkan kode etik Jurnalistik, dan pada dasarnya jurnalisme sebenarnya telah memuat nilai-nilai keislaman. Pemikiran jurnalisme islami adalah praktik jurnalistik yang berdasarkan Alquran dan hadis Rasulullah SAW.
Dalam pandangannya tentang jurnalisme Islam, Parni Hadi menilainya seperti pada sabda Rasulullah SAW yaitu sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Sekalipun mengusung panji-panji Islam, kalau tidak banyak manfaatnya, praktik jurnalisme itu belum islami.
Di tengah masyarakat, selain dikenal istilah jurnalisme profetik dan jurnalisme Islam, juga ada istilah jurnalisme islami, jurnalistik Islam, jurnalistik islami dan pers Islam yang semuanya merujuk pada kaidah dan normanya bersumber dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dengan mengemban misi dakwah.
Menurut Dudi Iskandar dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Budi Luhur dalam penelitian berjudul “Teologi, Etika, dan Islamisasi Jurnalisme,” terminologi islamisasi jurnalisme ini terinspirasi oleh islamisasi
(ilmu) pengetahuan ala Raji Ismail Al Faruqi. Gagasan islamisasi pengetahuan ini pun mendapat respon positif dan negatif. Diskursus kemudian berkembang dengan munculnya berbagai tandingan gagasan, seperti (ilmu) pengetahuan Islam dan (ilmu) pengetahuan islami.
Beranjak dari tiga terminologi sintesis Islam dan ilmu pengetahuan, Dudi Iskandar mengaitkannya dengan dunia jurnalisme. Maka hubungan Islam dan jurnalisme bisa dirangkai dengan jurnalisme Islam, jurnalisme islami, dan islamisasi jurnalisme.
Istilah jurnalisme Islam lebih menekankan pada nama atau formalitas dari pada substansi atau isi jurnalisme yang berbasis Islam. Dengan kata lain jurnalisme Islam dan non Islam dibedakan hanya dari bentuk luarnya saja. Kemudian istilah jurnalisme islami. Model jurnalisme ini berpendapat
tidak penting nama (bentuk atau formal) Islam. Yang paling penting adalah substansi atau isi jurnalisme tersebut, dalam kinerja dan kerjanya islami. Dalam model jurnalisme islami ini kaidah-kaidah Islam dipraktikan.
Sedangkan istilah islamisasi jurnalisme lebih cenderung dalam konteks epistemologi. Istilah ini lebih dekat dengan jurnalisme islami yang lebih menekankan pada proses dan kinerja bukan pada bentuk. Seperti dalam
jurnalisme Islam. Islamisasi jurnalisme berarti semua proses dan kinerja dalam jurnalisme berlandaskan nilai-nilai Islam.
Jurnalisme Islam sebagai salah satu genre jurnalisme bisa lahir dan diterima karena bisa menyajikan metode yang lebih advance (maju) dari metode sebelumnya, tanpa harus melawan elemen-elemen klasik jurnalisme. Sampai kini kajian jurnalisme dalam perspektif Islam berkembang dengan banyak pendapat yang berbeda, namun tidak bertentangan dengan elemen-elemen klasik jurnalisme. Misal prinsip verifikasi jurnalisme, lewat konsep tabayyun (QS. Al-Hujurat: 6). ??