Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Oni Widjanarko, tentang “Bitcoin”
Guna mengetahui kebijakan itu, Koran Jakarta mewancarai Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Oni Widjanarko, di BI, Jakarta, Rabu (31/1). Berikut petikannya.
Kabarnya sudah menggunakan bitcoin sampai 700 ribu?
Yang sudah menggunakan ya siap-siap kalau untung atau rugi. Kalau harapan kami, jangan meluas dulu kalau belum jelas. Kalau sudah jelas, pembeli silakan ambil keputusan. Kalau belum jelas sebaiknya saran kita, ya jangan.
Kenapa BI melarang?
Kita belajar dari kejadian-kejadian di berbagai negara. Tahun 2016, itu Eterium pernah kebobolan 50 juta dollar AS. Akhirnya, rigbugt di Amerika. Kemudian di Jepang, kita bisa lihat betul nggak uangnya dikembalikan. Hemat kami yang sudah terlanjur, kalau beli take a risk, silakan dipelihara itu keputusan yang pegang.
Kalau nggak berani, kembalikan saja. Sekaligus dicoba, bisa nggak dikembalikan. Kalau dari kita, kami melihatnya bagi yang belum ya jangan, karena risiko besar, untung besar tapi risiko lebih besar. Bukan untuk yang pegang saja.
Tapi, mungkin kalau jumlahnya banyak dan meluasnya yang kena orang lain nanti kalau terjadi krisis. Ya, kalau terjadi krisis, teman-teman bisa tahu back build-nya bisa lima tahun ke belakang. Jadi jangan remehkan stabilitas. Bank Indonesia awair kalau menyangkut stabilitas. Dan kalau kita perlu melarang karena kita punya kewenangan.
Apakah akan ada Peraturan BI tentang pelarangan bitcoin?
Setiap kementerian dan lembaga punya view yang sendiri-sendiri itu yang perlu kita diskusikan supaya nanti ada konsensus bagaimana menyikapi virtual currency yang berbahaya ini. Di dalam negeri akan berkoordinasi. Nggak tahu nanti keluarnya apa.
Kewenangan BI sudah jelas melarang, tapi tadi kan sudah dijelaskan, nggak ada perlindungan konsumen, nggak ada yang ngatur. Nah, karena nggak ada yang ngatur itulah kita bareng-bareng diskusi sikapnya bagaimana. Eropa kita tunggu bulan April.
Kita di dalam sudah ngobrol kok. Jadi, kita tunggu dulu, nanti keluarnya seperti apa. Nanti kalau saya bilang nggak keluarnya, tahunya keluar, kalau saya bilang keluar, ternyata nggak keluar. Tapi prosesnya kita cerita.
sendiri bagaimana terkait virtual currency?
Kajiannya belum selesai.Kita rencanakan kajian awal, yang kita lakukan. Mungkin di Singapura sudah ada ubin, tapi kita masih petakan. Kita melihat cost and benefit. Kita juga melihat yang terjadi di beberapa negera.
Kita wait and see apa yang terjadi di lapangan. Tapi kita nggak diam saja. Kita kumpulkan semua fakta-fakta. Kita akan lakukan kajian, dan kalau kajian sudah selesai prosesnya juga belum tentu langsung diaplikasikan. Tapi, rekomendasinya harus dibawa ke rapat-rapat yang matang. Tapi kajian itu bisa dua, dijalankan atau tidak karena tidak siap.
Apa risiko bitcoin dalam stabilitas perekonomian?
Pencetakannya yang sangat besar, bisa dua kali lipat. Kalau uang beredar banyak, itu uang menjadi tidak berarti. Jadi barang mahal. Itu stabilitas moneternya. Kedua, kalau tadi naiknya dua kali lipat, belum 164 kali lipat.
Kita ingat krisis 1997/1998 bunga bank 60–120 persen, itu berarti kan dua kali lipat, sudah krisis barang-barang menjadi mahal. Itu pelajaran berharga. Di Amerika, harga properti kalau kenaikan harga properti dua kali lipat saja, kayak global financial crisis di 2008, jadi berpotensi untuk itu.
Yang terkait dengan stabilitas keuangan, tadi yang sudah naik yang megang banyak, tiba-tiba jatuh. Itu juga mengganggu stabilitas sistem keuangan. Jadi, kalau tadi dampaknya dari sisi stabilitas moneter bisa terjadi buble, sehingga berpotensi mengganggu stabitas keuangan.
Tapi ada yang bertanya, bagaimana kalau size-nya growing, kita harus hati-hati. Bisa saja nanti sepeti yang terjadi di Korea. Sudah banyak sekali yang megang, susah dikendalikan. Jadi, kalau berisiko ya kita harus kendalikan sampai kita yakin bisa dikendailkan.
Karena tidak ada yang bertanggung jawab. Kita nggak perlu nunggu jadi raksasa dulu. Kalau jadi raksasa nggak bisa dikendalikan nanti. Artinya pastikan dulu, aman atau tidak, berisiko atau tidak. achmad/AR-2