Kita pantas bertanya terhadap standar moral lelaki yang meremas bagian sensitif dari pasien yang sedang tidak berdaya. Bilakah pantas untuk disampaikan, sungguh Rumah Sakit Umum Daerah Zainol Abidin, Banda Aceh, kini pun tak lagi aman. Musang priek telah menghuni fasilitas publik yang seharusnya aman bagi siapapun.
Rumah sakit seharusnya sekaligus menjadi rumah aman bagi siapapun, khususnya kepada pasien yang notabenenya adalah orang yang membutuhkan layanan kesehatan karena penyakit yang diderita. Namun, RSUD Zainol Abidin Banda Aceh, telah memberikan jawaban kepada kita, sungguh RS pun tak lagi mampu memberikan keamanan bagi pasien. Kisah pelecehan seksual terhadap RY (17), merupakan preseden buruk terhadap citra pelayanan. Kesehatan di Aceh, selain ragam layanan lain yang kerap menuai kemarahan keluarga pasien.
Luar biasa, seorang cleaning service yang berinisial SR (20) dengan “gagah berani”, Kamis (5/10/2017) pukul 14.00 WIB, memasuki ruangan tempat di mana sang gadis yang baru usai operasi telinga ditempatkan. Ruangan itu semacam tempat transit pasca operasi. Lelaki cabul itu sukses menjamah daerah terlarang sang gadis. Bukan hanya sekali, tapi dua kali. Aksi cabul nan bejat itu baru berhenti kala korban melawan.
Pasca tersebarnya kabar yang memalukan itu, pelaku dikabarkan sudah dikeluarkan dari rumah sakit. Perusahaan mitra penyedia cleaning service telah menarik yang bersangkutan dari tugasnya di sana. Namun, publik kadung marah. Banyak komentar miring yang meyakini bila peristiwa bejat itu berkemungkinan bukan yang pertama dilakukan. Bisa jadi sudah dilakukan beberapa kali, namun karena urusannya dengan orang yang kena bius, maka tidak terkuak keluar.
***
Lupakan tentang dugaan bila aksi SR terhadap SY bukanlah peristiwa pertama. Karena tidak ada bukti yang menunjukkan hal demikian. Anggap saja ini yang pertama dilakukan oleh pemuda cabul itu. Namun demikian, was-was haruslah dikedepankan, sebenarnya berapa orang di sana yang mengalami gangguan seksual? Sehingga tega menjamah pasien yang sedang tidak berdaya. Kewaspadaan dini harus dikedepankan, untuk membentuk kehati-hatian kita terhadap berulangnya peristiwa yang demikian.
Kedua, untuk ke depan, petugas jaga –jikalau memang disiplin– tidak cukup satu orang. Melihat aksi SR, ia memanfaatkan kekosongan piket untuk beraksi. Kalau kata Bang Napi yang sudah almarhum: “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah! Waspadalah!”
Ke depan, untuk kawasan yang tidak bisa diakses oleh keluarga pasien, rumah sakit harus menempatkan penjaga lebih dari satu orang. Sehingga tidak ada pelaku kejahatan yang bisa melakukan kejahatannya, dengan memanfaatkan waktu “luang” petugas piket yang tiba-tiba harus ke toilet karena kebelet pipis dan eek.
Saya mengapresiasi langkah hukum yang ditempuh oleh keluarga pasien, yang telah melaporkan kasus itu ke Polda Aceh pada Senin (9/10/2017) dengan nomor laporan: LP/117/X/2017/SPKT. Pelaku harus dihukum atas kesalahannya. Bagi saya pribadi, melakukan kejahatannya terhadap korban yang sedang tidak berdaya, tidaklah patut mendapatkan pengampunan, sebelum pelaku diganjar hukuman. Perbuatannya lebih rendah dari binatang.
Akhirnya, peristiwa memilukan ini harus menjadi cambuk bagi manajemen RSUZA untuk berbenah. Pelecehan seksual yang dilakukan oleh SR merupakan sesuatu yang bisa merusak kepercayaan publik. Bila tidak diselesaikan dengan terhormat dan tegas, jangan salahkan publik bila di kemudian hari, publik pula yang akan menghukum bila ada peristiwa serupa di rumah sakit.
Mari ciptakan Zainol Abidin sebagai tempat aman bagi pasien yang membutuhkan layanan. Agar RS ini kembali aman dari gangguan manusia terkutuk. []