in

Kasus Mobil Listrik Mirip Sponsor di F1

Tidak Bisa Dianggap Merugikan Negara

Penyediaan prototype mobil listrik untuk keperluan KTT APEC 2013 di Bali sebenarnya jauh dari ranah pidana korupsi. Sebab pendanaan kendaraan tersebut menggunakan dana sponsorship perusahaan BUMN.

Secara umum sama seperti pemberian sponsor dari perusahaan BUMN untuk pembalap Formula seperti Rio Haryanto, Sean Gelael, maupun Ananda Mikola dan Moreno Soeprapto di masa lalu. 

Hal itu yang terungkap dalam diskusi membedah kasus hukum Dahlan Iskan di kantor hukum Ihza & Ihza di Jakarta, kemarin (26/1). Kuasa hukum Dahlan Iskan, Yusril Ihza Mahendra menegaskan, pendanaan mobil listrik untuk kepentingan APEC tidak berasal dari APBN.

Melainkan bersumber dari dana sponsorship tiga perusahaan BUMN. Yaitu: PT Pratama Mitra Sejati (anak perusahaan Pertamina), PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan BRI.

Menurut Yusril, penggunaan dana sponsorship untuk mobil listrik itu hampir sama dengan pemberian sponsor Pertamina pada pembalap Sean Gelael, Rio Haryanto, maupun pebalap lain. Sebagaimana diketahui, Pertamina memberikan sponsor pada mereka untuk berlaga di ajang Formula. Mulai GP2, Formula 3, A1GP, sampai Formula 1. 

Dalam perjalanannya, tidak semua pebalap itu mencapai hasil yang memuaskan. Di beberapa ajang, dalam semusim bahkan ada yang tidak mendapatkan poin.

”Hampir sama juga dengan sponsorship Garuda Indonesia ke Liverpool. Kalau klub tersebut tak juara, apa ya bisa dianggap sebagai kerugian perusahaan dan korupsi?” ujar Yusril. 

Apapun yang terjadi pada Liverpool dan para pebalap itu, Garuda Indonesia dan Pertamina tentu tetap mendapatkan nilai sebuah promosi. Salah satunya, brand mereka bisa dilihat jutaan orang dari penjuru dunia.

Begitu pula yang terjadi pada penyediaan mobil listrik untuk APEC. Pihak pemberi sponsor tentu mendapatkan nilai promosi. Sebab brand mereka menempel pada mobil listrik yang dipamerkan di APEC. ”Jadi tidak ada urusan dengan kerugian negara dan korupsi,” kata mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) itu.

Yusril menambahkan, keuangan BUMN termasuk kekayaan negara yang dipisahkan. Sehingga, perhitungan untung rugi pada BUMN harusnya didasarkan pada itung-itungan bisnis. ”Dalam bisnis kan biasa terjadi untung dan rugi,” sambungnya.

Oleh sebab itu, salah jika penegak hukum menilai kerugian BUMN secara parsial atau satu persatu. Harusnya, penegak hukum melihat rugi tidaknya BUMN seperti halnya pada perusahaan biasa. Yakni, dilihat dari hasil audit akhir tahun. Dari laporan rugi labanya.

Yusril menambahkan, niatan penyediaan prototype mobil listrik sebenarnya mulia. Saat itu pemerintah menugaskan Dahlan Iskan (selaku Menteri BUMN) agar menampilkan karya anak negeri dalam perhelatan KTT APEC. Dahlan lantas memiliki ide agar yang ditampilkan mobil listrik karya anak negeri. 

Salah satu alasannya karena ketika itu pengembangan mobil listrik di Indonesia sedang bergairah. Kemampuan para engineer dalam negeri juga tak kalah dari negara-negara maju. ”Saya bisa memahami ide itu. Sebab ibarat perlombaan lari, pengembangan mobil listrik di dunia saat ini sama-sama masih di garis start,” ungkapnya.

Hal tersebut berbeda dengan mobil nasional (mobil konvensional berbahan bakar minyak). Yusril kembali mengibaratkan dengan lomba lari. Menurut dia, pengembangan mobil nasional di sejumlah negara seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Eropa telah sampai garis finis.

”Jadi percuma kalau kita berlomba dengan negara yang sudah berada di garis finis. Apa yang mau dikejar?” terangnya.

Atas dasar itulah Dahlan ingin pengembangan mobil listrik di Indonesia terus dipayu. Salah satunya dengan menampilkan karya anak negeri kepada dunia, lewat kehadiran para kepala negara di KTT APEC. Apalagi salah satu semangat yang diusung dalam KTT APEC ialah go green.

Teknologi mobil listrik tentu cocok dengan semangat tersebut. ”Perhatian dunia saat ini kan memang pada masalah energi. Perlu transportasi alternatif yang tidak lagi menggunakan bahan bakar minyak,” terang Yusril.

Perkara penyediaan mobil listrik untuk APEC 2013 sendiri telah menjerat Dasep Ahmadi sebagai terdakwa. Dia merupakan pemilik PT Sarimas Ahmadi Pratama, perusahaan yang mengerjakan pesanan mobil listrik APEC. 

Dalam kasus tersebut, Kejaksaan Agung (Kejagung) terkesan sangat tendensius mengaitkan Dasep dengan Dahlan melalui penerapan pasal 55 ayat 1 ke-1. Salah satu tudingan Kejagung ialah Dahlan dianggap menunjuk langsung Dasep.

”Itu semua tidak benar, proses yang seperti itu Pak Dahlan tidak terlibat. Beliau itu hanya memberikan ide,” ujar Yusril. Oleh karena itu Pengadilan Tipikor Jakarta dalam vonisnya terhadap Dasep tak melihat keterlibatan Dahlan. Vonis itu juga dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. 

Yusril mengaku sampai saat ini belum menerima salinan putusan dari Mahkamah Agung (MA) terkait kasasi perkara tersebut. Oleh karenanya, Yusril keberatan dengan statemen Jaksa Agung M Prasetyo yang sudah menyudutkan kliennya atas dasar putusan kasasi Dasep Ahmadi.

”Tidak semestinya Jaksa Agung berkata seperti itu karena penegakan hukum harus didasarkan atas fakta yang berkembang di persidangan,” ujarnya. Faktanya persidangan memang tak ada indikasi keterlibatan Dahlan dalam perkara Dasep. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Ulang Tahun Pertama, Organisasi Roehana Koeddoes Menggelar Operasi Katarak

Wako Kunjungi Pedagang Pasar Senen