Dibiarkan Telantar, Tinggal Simbol dari Kaum
Rumah gadang bagi masyarakat Minangkabau tak hanya sebagai tempat tinggal saja. Tapi juga dijadikan tempat dilaksanakannya berbagai prosesi adat. Namun dewasa ini, keberadaan rumah gadang seakan ditinggalkan. Dibiarkan telantar dan pada akhirnya roboh sendiri.
Banyak alasan yang dikemukakan kaum pemilik rumah gadang menelantarkannya. Mulai dari keterbatasan biaya hingga tak ada lagi keluarga inti pewaris rumah gadang yang tinggal di kampung. Meski demikian, masih ada juga rumah gadang dirawat bahkan dijaga sehingga keberadaannya tetap eksis.
Seperti kondisi rumah gadang di Jalan Kasiklolo, RT 03, RW 01, Kelurahan Gunungsarik, Kecamatan Kuranji. Rumah gadang tersebut seakan roboh. Kondisinya condong ke belakang. Dinding kayu rumah tersebut terlihat rapuh. Sedangkan lantai di dalam rumah bolong, dan tak layak lagi dijadikan pijakan.
Namun hampir di setiap sudut dan sisi pintu serta jendela tampak ukiran lama seperti itik pulang patang, cino gagang, lumuik hanyuik, serta kaluak paku terukir asli di bangunan sudah tua tersebut. Arsitekturnya unik, dibangun tak menggunakan paku, tapi dengan cara dipahat.
Rumah gadang tersebut terdiri dari lima ruangan. Yakni tiga kamar, satu ruang lepas, dan dapur. Tanpa kamar mandi. Mandi cuci kakus anggota keluarga di rumah gadang itu memafaatkan sungai kecil.
“Rumah gadang ini atapnya bergonjong, menggunakan kayu banio di setiap sisi rumah, dengan empat jendela yang diukir dan seng lama merek Apolo,” ungkap Syafbanar, pemilik rumah gadang tersebut.
Tak hanya itu, di ruangan tersebut terbentang kasur kecil lengkap dengan selimut, kemungkinan itu milik penghuninya. “Sekarang rumah ini dihuni adik bungsu,” ucapnya.
Ia jelaskan dinding rumah dibuat menggunakan bambu yang dicancang. “Nama bambunya kuriang yang dicancang halus dengan kapak, kemudian ditempelkan ke bagian dinding yang akan dibentuk. Membangunnya tidak menggunakan paku,” jelasnya.
Asal mula rumah gadang tersebut, dulunya dibangun oleh suku kaum Caniago Solok Nan Saparuik. “Dahulunya moyang saya kaya raya, jadi dia bangun rumah gadang ini megah dengan ukiran arsitektur yang diupahkan. Kalau sekarang mana ada lagi tukang yang bisa mengukirnya,” bebernya.
Ia memperkirakan rumah gadang tersebut sudah ada sejak tahun 1945. Bagian bawah rumah gadang ini dulunya digunakan tempat bersembunyi saat perang. “Setelah merdeka, panggung bawah rumah gadang itu tempat beternak ayam dan sapi,” jelasnya.
Sebenarnya, rumah gadang tersebut juga mempunyai rangkiang yang berfungsi menyimpan padi. Tapi saat itu sudah dirobohkan. Lantaran digunakan untuk akses pembuatan jalan. “Kalau di sini rangkiang itu disebut kapuak, untuk lumbung padi, cuma ada satu, tapi sudah dijadikan jalan,” terangnya.
Rumah gadang tersebut mulai ambruk sejak tiga tahun yang lalu, akibat angin kencang dan badai. Namun belum ada perbaikan. “Kini saya menumpang ke rumah anak dan tinggal bersama cucu,” tuturnya.
Armen Nur, 48, adik Syafbanar menegaskan akan menjaga rumah gadang tersebut. “Saya sudah biasa tidur dengan kondisi rumah gadang yang lapuk ini. Jadi tidak takut,” tuturnya.
Sebagai mamak, ia paham makna dan fungsi rumah gadang. Rumah gadang tersebut tak boleh ditinggali oleh mamak, kecuali penghulu. Rumah itu milik tempat tinggal kemenakan dan suami serta anak-anaknya. “Tapi kondisi saat ini berbeda, rumah gadang sudah tak layak huni lagi,” ucapnya.
Tak hanya itu, dahulu rumah gadang tersebut digunakan untuk acara perhelatan dan musyawarah. Jika ada anak kemenakan yang akan menikah, wajib dirayakan di rumah gadang. “Rumah gadang tempat berkumpulnya keluarga saparuik. Arsitektur yang dibuat memanjang, tujuannya supaya ninik mamak bisa duduk di sudut ruang tersebut. Ketika ada anggota keluarga yang masuk rumah tidak melangkahi ninik mamak,” jelasnya seraya berkata, saat ini tradisi tersebut sudah mulai hilang.
Di Kabupaten Solok, ada sejumlah rumah gadang yang dibiarkan telantar. Di antaranya Nagari Kinari, Kecamatan Bukitsundi dan Nagari Sulitair, Kecamatan X Kotodiatas. Kedua nagari tersebut juga terkenal dengan masyarakat perantaunya.
Dari pantauan Padang Ekspres, sebuah rumah gadang di nagari Kinari, terlihat kurang terawat. Sisi sampingnya yang terbuat dari sasak (anyaman bambu) tampak seperti sudah lapuk dan berlumut. Atapnya sudah karatan dan sepertinya tidak terlalu kokoh untuk terus berdiri. Kondisi bangunan kelihatan memprihatinkan.
“Orang yang punya kebetulan hampir semuanya ada di rantau, bisa dibilang semuanya. Karena yang tinggal di nagari ini tidak ada, makanya rumah gadang itu diabaikan. Tapi sekali-sekali mereka masih membersihkan, walaupun belum direhab secara keseluruhan,” ujar Heriza, 33, warga Kinari kepada Padang Ekspres, Jumat (1/12).
Begitu juga sebuah rumah gadang yang ada di Nagari Kotogadang, walaupun rutin dibersihkan sekali seminggu, tetap saja butuh direnovasi. Seperti dinding sasak, lantai dan atap yang terlihat sudah usang. Namun, tidak adanya keluarga inti pemilik rumah gadang yang bisa untuk melihat kondisi rumah membuat rumah gadang tersebut hanya dibersihkan saja oleh tetangga.
“Kebetulan ini rumah ini sudah dititipkan oleh pemilik rumah kepada saya. Beliau dibawa anaknya yang bekerja di Bekasi, Jawa Barat. Kalau untuk renovasi saya tidak sanggup, karena itu harus keputusan dari yang punya rumah,” ujar, Dewi Sartika, 35.
Tokoh adat Nagari Kotogadang Guguk, Kecamatan Gunung Talang, Lukman Hakim, 78, mengatakan pemilik-pemilik rumah gadang umumnya sudah berusia lanjut dan kebanyakan anak mereka sudah mendirikan rumah semi modern juga. Sementara anak-anak mereka cenderung membawa orangtuanya tinggal bersama mereka. Rumah gadang hanya menjadi simbol dari keluarga/kaum tersebut.
“Kebanyakan rumah gadang di sini dibangun setelah perang PRRI 1959 dulu, waktu itu hampir seluruh rumah gadang dibakar tentara pusat, setelah perang usai, barulah rumah dibangun ulang. Ada yang terus melakukan renovasi dan ada juga yang membiarkannya tak berpenghuni karena anak-anaknya sudah punya rumah baru,” katanya.
Permukiman Tradisional
Di Nagari Andaleh Baruah Bukik, Kecamatan Sungayang, Tanahdatar masih terdapat puluhan rumah gadang yang hingga saat ini masih dihuni dan berjalan sesuai fungsinya. Meski begitu ada juga beberapa rumah gadang yang sudah dalam kondisi rusak dan tidak bisa ditempati lagi.
Djarmis Datuak Jampono, salah seorang Datuak Nan Salapan dari Suku Malayu Topi Koran di Andaleh Baruah Bukik mengatakan, jika saat ini kondisi rumah gadang di nagari setempat masih banyak ydipakai warga terutama kaumnya.
Meski telah berumur puluhan tahun rumah gadang tersebut, namun penghuni rumah berusaha memberikan perawatan dengan memperbaiki titik-titik yang rusak. “Contohnya, ada yang diperbaiki tangganya, ada dapurnya, ada juga lantainya, tergantung mana yang rusak itu lah yang diperbaiki. Makanya hingga saat ini masih banyak rumah yang ditempati,” sebutnya.
Sementara itu Wali Nagari Andaleh Baruah Bukik, Albayani Datuak Paduko Besar mengatakan, setidaknya 68 rumah gadang yang dimiliki oleh empat suku di nagari tersebut.
“Dari jumlah itu, 39 unit terdapat di Jorong Baruah Bukik, dan 29 unit di Jorong Andaleh. Namun, delapan dari jumlah berada dalam keadaan rusak dan tidak ditempati, sedangkan yang lainnya masih dihuni hingga saat ini,” sebutnya.
Umumnya sebut Albayani, rumah gadang tersebut sudah berumur puluhan tahun atau dibangun sebelum tahun 1970-an silam. “Karena kondisi ini, bahkan kami dinobatkan sebagai permukiman tradisional oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) pada tahun 2004,” jelasnya.
Wali nagari yang baru dilantik akhir bulan kemarin itu mengatakan, jika saat ini kendala utama yang menjadi penghalang adalah persoalan dana dalam memperbaiki rumah gadang. “Selain itu, tentunya segala bentuk perkayuannya juga susah dicari. Karena kondisi saat ini berbeda dengan kondisi zaman dahulu,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar, Riau, dan Kepri, Nurmatias mengatakan saat ini pihaknya baru melakukan pendataan rumah gadang yang masuk dalam kategori cagar budaya sesuai undang-undang minimal berumur 50 tahun.
“Beberapa rumah gadang yang hingga saat ini banyak terdapat di kawasan Kabupaten Solok dan Solok Selatan, kemudian Sijunjung dan Tanahdatar. Itupun kondisinya beragam, ada yang rusak, ada yang baik dan ada yang ditempati hingga saat ini,” sebutnya.
Namun, untuk perbaikan rumah gadang yang masuk dalam cagar budaya selalu diajukan perbaikan dan biaya perawatan ke Dirjen Kebudayaan bagi rumah gadang yang membutuhkan perawatan dan perbaikan. Hanya saja, setiap usulan tersebut terkadang tidak semua yang dikabulkan.
“Untuk tahun lalu saja kita hanya dapat anggaran untuk biaya perawatan dan perbaikan dua rumah gadang saja yakni rumah gadang Gajah Maaram Solok dan Rumah Gadang Duapuluh Ruang Solok, dan tahun ini hanya satu saja, yakni lanjutan Rumah Gadang Duapuluh Ruang tersebut,” jelasnya.
Meskipun masuk cagar budaya, namun tidak seutuhnya rumah gadang masuk tanggungjawab pemerintah sebut Nurmatias. Maka dari itu, pemilik rumah ataupun penghuni rumah juga harus melakukan pemeliharaan terhadap aset-aset kebudayaan tersebut.
“Jadi kami sebenarnya hanya memfasilitasi, untuk yang punya tetap juga memiliki tanggung jawab dalam memeliharnya. Kemudian, Pemda masing-masing juga diharapkan dapat berpartisipasi dalam pelestarian rumah gadang tersebut,” imbaunya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.