in

Kekalahan Diplomasi GAM

Penandatanganan MoU Helsinki

15 Agustus 2005 menjadi momen penting dalam sejarah Aceh maupun Indonesia. Dua bangsa yang berseteru akhirnya menyatakan diri bersatu menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia. Aceh yang diwakili GAM bersedia meletakkan senjata dengan beberapa syarat yang kemudian disepakati kedua pihak.

MoU bersejarah itu merupakan prestasi pemerintahan SBY-JK yang baru setahun memimpin. Mereka mampu “menjinakkan” kekuatan perlawanan bersenjata. Politik identitas ala GAM memang konflik terpanjang dalam sejarah Indonesia pasca deklarasi kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta.

Gerakan perlawanan oleh GAM bukanlah tanpa sebab bukan pula tanpa argumen kuat. Terlepas kontroversinya alasan dan argumen GAM, faktanya konflik di Aceh melibatkan pihak internasional. Korban jiwa berjatuhan dari kedua belah pihak. Itulah konflik yang selalu menyisakan cerita dan korban jiwa.

Konflik bersenjata berujung dengan diplomasi, konflik berakhir dan perdamaian pun disambut gegap gempita oleh kedua pihak. Aceh dan Indonesia sepakat menatap masa depan tanpa melupakan masa lalu. Butir-butir MoU dijadikan bekal kedua belah pihak.

Ibarat pasangan kekasih yang sepakat mengarungi bahtera rumah tangga, Aceh-Indonesia sepakat menjalin hubungan sehidup-semati. Istri memang harus taat suami namun suami juga harus melaksanakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Aceh harus taat pada Indonesia sebagaimana konstitusi mengaturnya.

Lambat namun pasti, suami semakin sering tidak peduli pada si istri. Satu demi satu janji MoU dianggap janji emosional, janji sepasang insan ketika landa asmara. Indonesia dengan kewenangannya terus melakukan pelanggaran, dengan rasionalitas dianggap itu bukan pelanggaran.

Posisi bargaining Aceh terhadap pemerintah Indonesia memang tak sekuat dahulu. Kini Aceh sudah menjadi bagian Indonesia yang harus taat pada regulasi penguasa. Apalagi GAM kini tak lagi memiliki kekuatan seperti dahulu, GAM secara de jure sudah membubarkan diri.

Fakta ini harus diakui oleh Aceh, terutama kombatan GAM yang masih ingin Aceh berpisah dari Indonesia. Jangan heran dan tak perlu teriak kencang-kencang bila butir-butir MoU nantinya dilanggar oleh pemerintah Indonesia. Pengakuan atas pemerintah Indonesia berarti ikut, taat dan patuh pada regulasi pemerintah Indonesia.

Harus kita ingat bersama bahwa hukum masih bergantung pada politik. Pasal-pasal MoU 2005 bisa dan sangat mungkin dilanggar Indonesia, MoU 2005 tidak melibatkan UN (United Nation) sebagai wadah bangsa-bangsa diatas muka bumi. Inilah kekalahan diplomasi GAM termasuk Aceh atas Indonesia.

Suatu hari nanti Aceh kembali menjadi “sapi” perahan bagi pusat. Sumber daya alam Aceh akan dikelola perusahaan Asing dan Aceh tak mendapat apapun kecuali limbah dan penyakit akibat limbah. Kasus Medco yang beroperasi di Aceh Timur salah satu bukti lemahnya Aceh bahkan Indonesia terhadap korporat Asing.

Sumber daya alam Aceh yang melimpah akan selalu menjadi incaran perusahaan Asing. Pemerintah Indonesia yang patuh pada Asing semakin meyakinkan kita bahwa Aceh telah jatuh tertimpa tangga pula.

Berharap Aceh akan kembali dihormati dan disegani pemerintah pusat adalah mimpi. Tanpa gerakan perlawanan yang dilakukan GAM Aceh bukan siapa-siapa bagi Indonesia. Tentu saja bukan berharap Aceh kembali perang senjata akan tetapi Indonesia sebaiknya mengingat sejarah konflik Aceh.

Janda konflik serta yatim-piatu korban konflik masih banyak yang belum terpenuhi hak-haknya. Pemerintah Aceh harus mendesak pusat berlaku adil, harus pula meminta KPK maupun kajari Aceh mengusut dugaan penyelewengan dana bantuan korban konflik.

Perdamaian jangan dimaknai damai-damai soal ketidakbenaran. Soal halal-haram tidak ada khilafiyah apalagi istilah damai-damai. Kekalahan diplomasi GAM harus disiasati dengan baik oleh seluruh komponen bangsa Aceh.

Memiliki sumber daya alam (SDA) berlimpah harus diikuti dengan sumber daya manusia mumpuni. Jangan lagi meminta kemerdekaan dari Indonesia akan tetapi mari menciptakan kemerdekaan sendiri. Sebuah bangsa yang siap bersaing diera kompetitif.

Karena sudah menjadi bubur sebaiknya ditambahkan ayam, garam, bawang dan bahan lainnya agar menjadi bubur ayam. Tak perlu menyesali kegagalan diplomasi tahun 2005 yang lalu.

Komentar

What do you think?

Written by virgo

Lift Hotel Mati, Katering Haji Basi

Merokok, Perlu Etika?