Pernahkah kita mendengar pepatah Tua-tua kelapa makin tua makin berminyak? Mungkin banyak yang tahu arti peribahasa tersebut. Namun mungkin ada juga yang belum mengetahui maksudnya. Ada juga yang sudah mengetahuinya, namun memberikan persepsi berbeda.
Pepatah Tua-tua kelapa makin tua makin berminyak mengandung dua makna. Pertama, semakin tua semakin berisi, baik dari segi kematangan pengalaman, wawasan, dan ilmu pengetahuannya. Kedua, semakin tua semakin tampak kuat dan awet muda.
Bila ditilik makna keduanya hampir sama, hanya saja dipandang dari sisi berbeda. Makna pertama mengarah pada sisi intelektual, mental, spiritual; makna kedua mengarah pada sisi jasmani atau fisik.
Bagaimanakah dengan guru? Apakah semakin tua semakin matang, semakin berisi, semakin memiliki banyak pengalaman dan wawasan ilmu pengetahuan? Apakah semakin tua semakin energik? Ataukah semakin tua semakin pikun? Atau mungkin semakin tua semakin loyo? Mari kita bahas.
Kompas.com merilis bahwa penelitian membuktikan pikiran kita semakin meningkat saat usia kita bertambah. Bahkan, pada usia yang matang itulah terjadi puncak performa otak, demikian menurut buku The Secret Life of the Grown-Up Brain: The Surprising Talents of the Middle-Aged Mind karya Barbara Strauch.
Strauch mengungkapkan menurunnya kemampuan otak pada usia paruh baya sebenarnya hanya mitos. Justru kita semakin pintar saat garis-garis halus di sudut mata atau bibir mulai terjadi. Tentunya Strauch memiliki tiga dasar ilmiah atas pendapatnya tersebut.
Pertama, pikiran berkembang, karena sel-sel otak terus bertumbuh saat memasuki usia 40 hingga 68 tahun. Kedua, penggunaan otak kiri dan otak kanan, karena saat mencapai umur 40 tahun ke atas, kita cenderung menggunakan otak kiri dan otak kanan. Ketiga, berpikir kratif, karena menurunnya konsentrasi akibat bertambah usia, justru memicu lebih kreatif mencari alternatif solusi.
Jadi, berdasar pendapat Strauch di atas, maka seorang guru yang semakin berumur apabila ia terus melatih ketajaman otaknya, maka ia tidak kalah cerdas dan energik dari yang muda. Bagaimana caranya? Sederhana saja jawabnya, “Selalu Belajar”.
Apalagi pada era digital ini menuntut pembelajaran berbeda dari biasa, yaitu pembelajaran berbasis teknologi. Suka atau tidak suka, guru harus mengikuti perkembangan teknologi. Bila tidak, guru akan terkendala dalam pemakaian teknologi pembelajaran.
Saat ini menyebar berbagai pelatihan pembelajaran berbasis teknologi di media sosial.
Guru yang dahulunya meremehkan pemakaian gawai sebagai alat pembelajaran, akhirnya berputar haluan beralih ke gawai tersebut.
Guru muda dan energik mungkin tak terkendala karena sudah terbiasa dengan teknologi. Bagaimana dengan guru tua? “Wah, saya sudah tua gagap teknologi (gaptek)” Kondisi tersebut tidak bisa dijadikan alasan. Banyak guru yang telah berumur bahkan lebih setengah abad sangat piawai menggunakan teknologi. Kuncinya, guru mau dan terus belajar.
Setelah guru mempelajari berbagai teknik pembelajaran berbasis teknologi, guru perlu mengetahui peta kompetensi siswa. Sebagai mana kita ketahui masing-masing siswa memiliki karakteristik dan latar belakang yang berbeda.
Tentunya untuk menerapkan metode pembelajaran yang tepat bagi siswa, guru harus memiliki data pemetaan tentang siswa yang diajarkannya. Sebab secanggih apapun teknologi yang dikuasi guru, apabila tidak bisa diaplikasikan kepada siswa, maka hal tersebut akan percuma saja.
Jadi, yang terpenting bukan canggihnya teknologi pembelajaran, tetapi pengelolaan yang tepat dari pembelajaran tersebut. Untuk menemukan cara yang tepat tentu guru perlu banyak belajar dan bertanya kepada guru lain. Mungkin pengalaman guru lain dapat membantu memecahkan masalah dengan kasus yang sama.
Sharing pengalaman para guru banyak ditemui di media sosial. Oleh karena itu bergabung dan belajarlah dengan berbagai komunitas, termasuk dengan kaum milenial agar menular energi mereka kepada kita. Bergabunglah dalam komunitas yang banyak memberikan ilmu dan mewadahi kegiatan yang bermanfaat sehingga pengetahuan kita tentang hal baru juga bertambah.
Selanjutnya, guru juga perlu menjadi pengajar bukan hanya untuk siswa, tetapi juga untuk rekan guru lainnya. Cobalah berani tampil menjadi pemateri pada webinar. Tentu sebelumnya, guru aktif mengikuti webinar, menyimak dan memperhatikan bagaimana narasumber tampil.
Langkah berikutnya cobalah tampil sebagai pemateri di sekolah, KKG, MGMP, atau komunitas lainnya. Bisa jadi mulanya malu dan takut karena belum terbiasa, namun dengan sering dilakukan tentu akan terbiasa.
Ibarat pepatah “bisa karena terbiasa”. Berkat latihan terus menerus, bukan tidak mungkin guru tua yang tadinya gaptek lebih piawai menggunakan teknologi. Marilah kita menjadi pengajar pembelajar.(***)