in

Kematian dr Stefanus dan Pesan Tuhan

Setiap mahasiswa ilmu komunikasi semester satu pasti diajari apa itu unsur atau elemen komunikasi. Elemen (pokok) komunikasi tidak lain adalah komunikator, komunikan, media, pesan, dan umpan balik. Tidak ada tindak komunikasi yang tidak mempunyai pesan (message). Suami istri saling berdiam pun dikatakan tindak komunikasi dan pasti ada pesan tertentu di balik “saling diam” itu.

Agama apa pun percaya bahwa Tuhan itu ada. Bahkan, Tuhan senantiasa bekerja dan berkomunikasi dengan umat-Nya, baik secara individu maupun kelompok. Ketika Tuhan berkomunikasi dengan umat-Nya, pasti ada pesan-pesan yang disampaikan. Hanya, kita acap kali tidak sadar apa sebenarnya pesan yang disampaikan Tuhan itu.

Kita juga percaya bahwa Tuhan berkomunikasi melalui beragam media dan beragam cara. Seseorang yang sombong dan arogan kadang mendadak merasa “invalid”, tidak berdaya sama sekali menghadapi segala permasalahan yang dihadapinya. Tuhan boleh jadi sedang menegur keras orang tersebut supaya tidak sombong. Supaya ingat siapa dia sesungguhnya.

Bencana alam yang bertubi-tubi juga sering diartikan sebagai teguran keras Tuhan kepada umat-Nya. Pejabat tinggi yang rakus dan suka bertindak zalim terhadap rakyatnya mendadak “dihajar” stroke dan langsung tewas. Memang, ilmu kedokteran bisa memberikan penjelasan yang masuk akal tentang tewasnya petinggi itu. Namun, orang yang dekat dengan Tuhan pasti percaya, lalu berpetuah kepada anak cucunya: Jadi orang jangan sombong, nanti Tuhan marah!

Jangan lupa, Tuhan Maha Esa, Mahatahu, Mahaadil dan …seekor burung yang jatuh dari pohon pun takkan lepas dari campur tangan Tuhan.

Lalu, apakah kematian dr Stefanus Taufik SpAn (Jawa Pos, 29/6) yang mendadak itu memang kehendak Tuhan? Tentu, sebagai umat beragama, kita harus percaya hal itu. Kalau kematian Stefanus diartikan (a) sebagai komunikasi Sang Pencipta kepada umat-Nya dan (b) setiap tindak komunikasi selalu mengandung unsur pesan, apa pesan yang hendak disampaikan Tuhan kepada kita sekalian melalui kematian Stefanus?

Berita tentang kematian dr Stefanus masih simpang siur. Awalnya, kematiannya dikaitkan dengan beban kerja yang terlalu tinggi sehubungan dengan libur panjang Lebaran. Namun, beberapa sumber membantah kabar tersebut. 

Pada 24–25 Juni 2017 almarhum hanya melayani satu pasien di ICU dan satu pasien operasi jantung. Ada juga dokter yang menduga Stefanus terserang penyakit yang bernama brugada syndrome. Saya tidak mengerti kok bisa dokter itu menduga-duga Stefanus mendapat serangan jantung, padahal hanya opini dari jarak jauh.

Saya kira semua pihak tidak boleh main duga-duga terkait dengan kematian Stefanus. Kita pun tidak boleh serta-merta mengkritik pihak rumah sakit seolah-olah manajemen rumah sakit tidak manusiawi, menjejali dokter anestesi itu dengan beban kerja yang lebih.

Yang jelas, sehari sebelum kematiannya, almarhum menghubungi pihak keluarga, mengaku kelelahan. Kelelahan karena apa? Tidak ada yang tahu. Bisa saja Stefanus juga praktik di rumah sakit lain selain di RSPI Bintaro. Bukankah dia tidak full time di RSPI Bintaro?

Dari perspektif komunikasi, kematian mendadak Stefanus mengandung pesan (Tuhan) yang jelas: Dokter harus menjaga kesehatan juga, jangan over-burden. Orang yang menikmati tugasnya kadang tidak menyadari bahwa beragam penyakit perlahan-lahan mulai mengepung tubuhnya.

Bukan lagi rahasia, cukup banyak dokter kita yang bekerja  “seperti kuda”. Dulu ada seorang dokter saraf yang bekerja bisa sampai pukul 02.00 dini hari. Pasiennya “banjir”. Padahal, usianya lebih dari 60 tahun. Saya pernah tanya: “Tidak capek, Dok?”
“Ya, tentu capek! Tapi, saya tidak bisa tolak. Nanti saya dikira sombong.”

Ada seorang dokter spesialis kandungan di Jakarta Selatan yang pasiennya juga ramai. Waktu itu saya mengantar istri untuk konsultasi. Saya sudah 30 tahun kenal dokter kandungan tersebut. Malam itu saya lihat wajahnya berkeringat. Dia terlihat sangat lelah. “Apa resepnya, Dok, bisa tetap fit meski pasien begitu banyak?” Dia berusaha tersenyum. Tapi, saya tahu, senyumnya “dipaksakan”.

Masih di Jakata Selatan, ada ahli jantung yang sangat terkenal. Hampir setiap hari dia melakukan operasi jantung. Kadang sampai pukul 12 malam. Pasiennya sangat ramai meski tarifnya juga selangit. Saya hanya heran becampur kagum: Begitu kuat fisik dan mental dokter ini!

Kecuali dokter, sejumlah profesi lain juga rentan “dipanggil” Tuhan secara mendadak sehingga amat mengejutkan keluarga. Seorang jaksa agung kita meninggal mendadak tidak lama setelah berpidato sesudah merayakan ulang tahunnya. Tidak sedikit politikus yang mati karena terserang stroke. Ada politikus yang sudah uzur, tapi enggak mau pensiun juga, padahal jantungnya diketahui bermasalah.

Waktu krisis moneter 1998, beberapa pengusaha besar juga terkena stroke. Ada yang langsung tewas dan ada yang sembuh, bahkan bangkit kembali berbisnis. Kesehatan wartawan juga rentan terganggu. Kerja wartawan kerap berpacu dengan stres berat. Penyakit jantung dan hepar, tampaknya, merupakan dua “sahabat” kebanyakan jurnalis.

Melalui kematian dr Stefanus yang mendadak itu, Tuhan mengingatkan kita semua untuk bekerja dalam batas kemampuan intelektual, fisik, dan mental kita. Sayang, kadang manusia tidak menyadari batas-batas intelektual, fisik, dan mental yang dimilikinya.

Bukan hanya keluarga, para kolega dan tetangga pun sangat berduka atas kepergian Stefanus. Dokter itu memang dikenal pekerja keras, periang, supel dalam pergaulan, dan ganteng. Pendidikan kedokterannya dilalui dengan mulus. Semoga Tuhan yang Maha Pengasih tetap mendampingi dan menolong istrinya yang sedang menjalani pendidikan spesialis di Bali dan anaknya yang baru berusia lebih dari setahun. Amin. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Nadhiva Berharap Berkah Idul Fitri

Melihat Eksistensi Perajin Dandang yang Mulai Tergerus Zaman