
Jakarta (ANTARA) – Bagi sebagian orang, mendengar irama Britpop seolah menjadi pintu masuk ke dalam kenangan masa-masa mendukung tim sepak bola kesayangan. Tidak berlebihan rasanya jika genre musik asal Britania Raya ini seakan melekat erat dengan kultur sepak bola Inggris, bahkan Eropa secara umum. Fenomena ini tentu tidak hadir begitu saja, tetapi tumbuh melalui sejarah panjang interaksi antara musik, olahraga, hingga gaya hidup penikmatnya.
Britpop mencapai puncak kejayaan pada dekade 1990-an melalui nama-nama besar seperti Oasis, Blur, hingga Pulp. Tiga band ini bukan hanya mempengaruhi arah musik populer pada masa itu, tetapi juga merefleksikan semangat kelas pekerja yang menjadi tulang punggung pendukung sepak bola di Inggris. Lagu-lagu dengan lirik lugas, narasi kehidupan sehari-hari, hingga kritik sosial menjadikan Britpop seolah menjadi “soundtrack” kehidupan di tribun stadion.
Lagu legendaris ‘Three Lions (Football’s Coming Home)’, misalnya, menjadi salah satu contoh betapa eratnya Britpop dengan atmosfer sepak bola. Meski liriknya ditulis dua komedian David Baddiel dan Frank Skinner, musiknya digarap The Lightning Seeds—band Britpop kenamaan yang membawakan nuansa anthemik dalam lagu tersebut. Lagu ini selalu menggema di stadion setiap kali tim nasional Inggris berlaga di ajang internasional.
Baca juga: Band Britpop 1990an Suede akan hadir di Soundrenalin 2019
Tak berhenti di situ, aura kebebasan sekaligus sedikit “kenakalan” Britpop juga selaras dengan gaya hidup fans sepak bola. Lihat saja Oasis, dengan Liam Gallagher yang dikenal sebagai pendukung fanatik Manchester City, sehingga berhasil melambangkan gaya hidup santai nan nyentrik terhadap entitas tersebut. Lagu ‘Cigarettes and Alcohol’ secara terang-terangan merayakan budaya minum, merokok, hingga kebebasan hidup, sesuatu yang kerap ditemui di tribun stadion, khususnya di liga-liga kasta bawah Inggris.
Tak hanya Oasis, Blur pun yang dikenal erat hubungannya dengan klub Chelsea membawa identitas lokal London melalui album dan liriknya. Lagu ‘Parklife’, misalnya, dianggap sebagai potret kelas pekerja perkotaan—kelompok yang menjadi mayoritas di tribun penonton. Sementara itu, Pulp melalui ‘Common People’ menyoroti perbedaan kelas dengan cara sarkastik namun jujur, lagi-lagi selaras dengan semangat pendukung sepak bola yang umumnya tumbuh dari komunitas pekerja.
Fenomena saling mengisi antara musik dan sepak bola juga ditandai dengan penggunaan lagu Britpop di stadion. ‘Bittersweet Symphony’ dari The Verve sempat menjadi lagu pengantar pertandingan timnas Inggris melalui siaran ITV. Lagu-lagu The Stone Roses bahkan hingga kini masih diputar di Old Trafford, markas Manchester United, setiap kali laga kandang digelar.
Baca juga: Penjualan tiket tur reuni Oasis dimulai dengan kekisruhan
Selain soal musik, pengaruh Britpop merasuk ke ranah fesyen pendukung sepak bola. Gaya ‘Mod’ dan ‘Casual’ dengan ciri khas kaos Fred Perry, jaket Harrington, sepatu Adidas klasik, hingga syal Burberry menjadi seragam tak resmi bagi para penikmat sepak bola, khususnya di tribun Championship hingga non-liga. Hal ini tidak lepas dari penampilan para musisi Britpop yang kerap mengenakan atribut serupa, termasuk jersey klub lokal sebagai simbol kebanggaan daerah.
Tak mengherankan, ketika Manchester City meluncurkan jersey keempat yang didesain bersama Noel Gallagher, salah satu pentolan Oasis, publik pun langsung mengaitkan hal ini dengan warisan panjang Britpop di kultur sepak bola. Pun ketika Damon Albarn dari Blur melalui Gorillaz terlibat dalam peluncuran kit Chelsea pada 2017, aroma Britpop seolah tidak pernah benar-benar hilang dari lapangan hijau.
Fenomena ini seolah menegaskan satu hal: Britpop dan sepak bola di Inggris tumbuh bersama sebagai simbol ekspresi kelas pekerja. Musik menghidupkan semangat tribun, tribun membalas dengan membangun loyalitas lintas generasi. Meski masa keemasan Britpop telah lama berlalu, pengaruhnya tetap terasa. Dan dengan kabar reuni Oasis yang kembali mengguncang publik, hubungan erat antara Britpop, sepak bola, dan fesyen sepertinya masih akan terus bergema di stadion-stadion Inggris. Hal ini menjadi sebuah pengingat bahwa musik, olahraga, dan identitas kerap berhubungan erat, demikian merangkum dari sejumlah sumber.
Baca juga: Histori Rock Indonesia, saat britpop lebih dikenal indies
Pewarta: Raihan Fadilah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.