3 Jam Berjibaku dan Sempat Diseret Satu Kilometer
Dua pedagang keliling di Batam mengambil risiko melawan buaya karena khawatir si buaya bakal mengancam aktivitas mereka dan warga lain. Hanya berbekal kayu sambungan, tali jangkar, dan satu senter.
Dengan pelan-pelan, dua pria itu mendorong dua batang kayu yang sudah disambung. Di ujungnya dipasang tali jangkar yang telah diubah menjadi jerat. Hari beranjak senja. Mulai gelap. Di tangan Doni Efendi dan Erwin, dua pria tersebut, hanya ada satu senter sebagai sumber penerangan.
Sementara itu, beberapa meter dari perahu pancung yang mereka naiki, sang “musuh” begitu menggetarkan: besar, diam, seolah memang sudah menunggu untuk diserang dan menyiapkan serangan balik!
Satu, dua, tiga, saat jerat sudah sampai di hadapan moncong sang musuh, sial, tali tersangkut sesuatu. Butuh waktu yang tak sebentar bagi mereka untuk melepaskan tali itu dari sangkutan. Sekaligus memikirkan bagaimana memasukkan jerat ke leher si buaya.
Baru setelah badan buaya bergerak karena disenggol dengan kayu, jerat itu masuk ke leher. Selesai? Malah sebaliknya. Buaya besar tersebut, sang musuh itu, berontak.
Dengan tenaga besarnya, ia menyeret Doni dan Erwin yang memegangi tali ke hilir. Yang diseret berusaha keras menahan laju buaya. Suasana pun menjadi sangat menegangkan.
Pada detik-detik kritis itu, pikiran mereka berkecamuk: Bagaimana jika buaya sepanjang sekitar 5 meter tersebut balik badan dan menyerang? Sementara hari kian gelap. Dan, tak ada siapa pun di tepian Sungai Seilangkai, Sagulung, Batam, senja itu, selain mereka…
***
Semuanya seolah berjalan seperti biasa pada Kamis sore lalu (25/5) itu bagi Doni dan Erwin. Mereka menyusuri Sungai Seilangkai dalam perjalanan pulang setelah menjajakan barang dagangan ke beberapa pulau kecil di sekitar Batam.
Sudah bertahun-tahun mereka menggeluti pekerjaan sebagai pedagang keliling. Dengan mereka bertempat tinggal di Perumahan Putera Moro 2 dan Perumahan Puteri Hijau di Kelurahan Seilekop, Kecamatan Sagulung, Kota Batam, Sungai Seilangkai merupakan jalur satu-satunya menuju rumah.
Melihat monyet berloncatan atau beragam binatang air pun praktis sudah menjadi makanan sehari-hari mereka tiap pergi atau pulang lewat sungai itu.
Tapi, sore itu, sekitar 2 kilometer dari hilir, di mana rumah mereka berada, pandangan keduanya bersirobok dengan sesuatu yang belum pernah mereka lihat sebelumnya: seekor buaya besar yang tengah berjemur di rawa-rawa di tepi sungai.
Terkejut, tentu saja. Doni dan Erwin seketika menghentikan laju perahu pancung. Mereka lalu mengamati buaya tersebut dari jarak sekitar 6 meter. ”Tampak diam dan tenang saja buaya itu. Justru kami yang khawatir, takut diserang,” ujar Doni kepada koran ini.
Meski dilanda rasa takut yang luar biasa, Doni langsung mengabadikan gambar buaya raksasa itu dengan ponsel pintarnya. Lantas mengunggahnya ke media sosial.
Hampir setengah jam mereka memperhatikan buaya itu. Buaya pun demikian. Sama-sama diam. Saling mengawasi. Seperti dua musuh yang tengah memasang kuda-kuda. “Jujur, gemetar badan saya saat itu,” ungkap Doni.
Bagian perut buaya tersebut tampak membengkak. Seperti baru selesai makan atau menelan sesuatu. “Baru habis makan monyet kali ia. Perutnya bengkak,” kata pria 31 tahun itu.
Melihat kondisi buaya yang sangat mungkin sedang kekenyangan itu, Doni dan Erwin akhirnya berani membuka suara. Mereka berdiskusi untuk mengambil langkah selanjutnya.
Erwin yang lebih tua sembilan tahun daripada Doni menyarankan agar buaya tersebut dibiarkan saja. “Kita cuma berdua, mana bisa menaklukkan buaya itu. Itu misi bunuh diri namanya,” kata Erwin, seperti ditirukan Doni.
Tapi, Doni punya pertimbangan lain. Jika buaya tersebut tidak ditangkap, ke depan, rutinitas berdagang mereka akan berisiko. Bisa-bisa binatang purba itu akan menyerang mereka di lain waktu saat melintasi sungai tersebut.
“Sungai ini satu-satunya jalan keluar dan masuk kami,” ujar ayah satu anak itu.
Pertimbangan lain, sungai tersebut selama ini ramai didatangi warga untuk memancing. Anak-anak juga sering datang untuk bermain layang-layang. “Bisa saja orang mancing atau anak-anak yang main diserangnya nanti,” tutur Doni.
Dari pertimbangan-pertimbangan itu, Doni akhirnya mengajak Erwin menangkap buaya tersebut meskipun hanya berdua. Tentu saja mereka sadar bahwa itu tak mudah. Perlu perhitungan yang matang.
“Apalagi, hari sudah mau gelap dan kondisi sungai berlumpur karena rawa-rawa. Jadi, kalau kami dekat, tentu sangat berbahaya,” papar Doni.
Keduanya lantas mencari alat bantu seadanya yang ada di sekitar. Mereka pun menyambungkan dua batang kayu agar bisa menjangkau lokasi buaya itu berjemur tanpa harus mendekat.
“Kebetulan, di pancung kami ada tali jangkar yang cukup panjang. Makanya, muncul ide kami untuk mengikat buaya itu dengan tali jangkar itu,” ujar Doni.
Tapi, mereka tahu, dengan alat bantu tersebut, itu tetap misi yang sangat berbahaya. Mereka bukan Jaka Tingkir, tokoh dalam legenda Jawa pada abad ke-16 yang mampu menaklukkan buaya dengan tangan kosong. Dengan kalimat lain, seperti kekhawatiran Erwin, jangan-jangan itu memang seperti misi bunuh diri…
***
Buaya dengan leher yang sudah terjerat itu terus berontak. Doni dan Erwin terus diseretnya. Untuk membantu menahan buaya, dua pedagang keliling tersebut menghidupkan mesin perahu mereka. Sambil tangan mereka tetap memegangi tali.
Tapi, pertarungan seret-menyeret itu tetap dimenangi si buaya. Sampai perahu kehabisan bahan bakar minyak (BBM), ia terus melaju. Hampir tiga jam Doni dan Erwin berjibaku dengan buaya yang terus menyeret mereka ke arah pesisir pantai, sekitar 1 kilometer dari lokasi awal. Keduanya mulai kehabisan tenaga.
Persis saat seretan buaya agak mengendur, dengan tenaga tersisa, keduanya lantas memutuskan untuk turun dari pancung. Mereka bergegas mengikat tali pengikat itu ke pohon bakau. “Sekitar pukul 20.00, baru kami bisa ikat ke pohon,” kenang Doni.
Setelah mengikat tali jangkar tersebut ke pohon bakau, keduanya beristirahat sebentar sebelum begerak menuju rumah masing-masing. “Malamnya, Bang Erwin yang tak bisa tidur. Dia dan Kevin (kawan mereka yang lain, red) kembali ke lokasi buaya itu untuk pastikan buaya itu tak lepas atau kabur,” ujar Doni.
Saat pagi baru temuan buaya tersebut dilaporkan ke Kecamatan Sagulung. Pihak kecamatan bersama warga lain akhirnya bergotong royong mengevakuasi buaya tersebut ke darat.
Si buaya memang sudah tidak melawan lagi karena kehabisan tenaga. Tapi, dengan berat sekitar setengah ton, tetap tak mudah mengevakuasinya. Dibutuhkan puluhan orang untuk memindahkannya ke darat.
Oleh petugas Kecamatan Sagulung, buaya tersebut lantas diangkut dengan sebuah truk untuk dibawa ke kantor Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam. “Kemungkinan akan dibawa ke lokasi penangkaran buaya di Pulau Bulan,” ujar Kasi Trantib Kecamatan Sagulung M Jamil.
Jamil juga mengimbau warga yang biasa beraktivitas di sekitar sungai tersebut untuk lebih waspada. “Bisa jadi, masih ada buaya yang lain. Jadi, untuk sementara, hindari dulu lah mancing atau beraktivitas di dekat sungai,” imbau Jamil.
Doni dan Erwin tentu tak bisa lama-lama menghindari Sungai Seilangkai. Mata pencarian mereka bergantung di sana. Mereka tentu hanya bisa berharap buaya yang baru saja ditaklukkan dengan susah payah itu tak punya kakak, adik, istri, atau teman. (*)
LOGIN untuk mengomentari.