in

Kisah Kejujuran

Kita tidak tahu, bahwa orang lain tahu kita telah berlaku tidak jujur. Kisah ini, sesungguhnya bukan cerita masa lalu yang coba diungkit kembali. Kejadiannya adakala di sekitar kita, pada hari-hari yang kita lewati. Namun, mungkin kita saja kurang menjadikannya renungan.

Ketika kita berjanji untuk bertemu seseorang, misalnya, karena  merasa kurang sreg, lalu dicarilah dalih ataupun alasan untuk tidak ketemu sebagai pembenaran. Dan orang tersebut tahu bahwa sesungguhnya kita sedang berdusta dengan alasan yang kita sampaikan. Kita merasa orang tersebut memaklumi alasan tersebut.

Bisa juga ada titipan dari seseorang, namun kita “merasa” perlu juga dengan barang yang “dititipkan” itu, seolah “dilupa-lupakan”, dan berharap titipan itu akan ditelan waktu dan kita anggap titipan yang kemudian menjadi tidak utuh itu akan diterima seseorang apa adanya. Padahal, ia tahu kita sedang tidak jujur tapi pura-pura tidak tahu saja.  Logika yang dipakai sudah dicari, tapi tak bertemu dengan penerima titipan. Padahal, berusaha menghindari.

Sebagai pemimpin publik, juga tidak terlepas dari ujian kejujuran. Beragam tagline ketika masa kampanye. Baik dalam bentuk baliho maupun spanduk; jujur dalam pengabdian, kami pelayan publik, atau dekat dengan rakyat dan banyak lagi harapan-harapan kebaikan.

Dalam implementasi, adakalanya setelah kursi perjuangan berhasil diraih, janji-janji tersebut pun terlupakan. Padahal publik menunggu sang janji, dan sejauh ini publik tidak melakukan gugatan class action.

Kita tidak tahu bahwa orang lain tahu kita telah berlaku tidak jujur. Padahal—hakikatnya, janji dan kejujuran itu identik dengan kemuliaan, sebagaimana juga sumpah setia.

Dan, Allah juga berfirman ketika memberi peringatan kepada hamba-Nya orang mukmin, dalam surah Al-Isra’ ayat 34; “Dan, penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawaban.”

Namun, bila kita ingin mengambil hikmah, peristiwa spritualitas tentang  kejujuran juga terjadi di zaman Khalifah Umar bin Khatab. Dalam sebuah perjalanannya ke suatu tempat, Khalifah Umar tiba-tiba bertemu dengan seorang anak penggembala yang sedang menggembala ratusan kambing.

Umar menguji, apakah si anak itu bersikap jujur dan amanah. “Juallah kepadaku barang satu ekor saja, dan katakan kepada tuanmu salah satu kambingnya dimakan srigala,” ujar Umar.

Betapa kagetnya Khalifah yang dikenal teguh menjaga amanah ini  mendengar jawaban polos sang penggembala, “Di mana Allah? di mana Allah? Jika tuan menyuruh saya berbohong, di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah tuan mau menjerumuskan saya ke dalam neraka karena telah berbohong?”

Singkat cerita, Umar yang saat itu sangat terharu, akhirnya bertemu dengan majikan si penggembala, lalu diperoleh kesepakatan si anak gembala dimerdekakan Khalifah Umar.

Tidak hanya sampai di situ, semua kambing yang digembalakan si anak, diborong Umar, lalu diberikan kepada anak gembala sebagai hadiah atas kejujuran dan perilaku amanah si anak tadi.

Sesungguhnya, bila saja kita memanfaatkan momentum renungan terhadap perilaku berdalih, melupa-lupakan, asyik sendiri setelah meraih kursi; sebenarnya kita adalah penebar kebaikan sejati.

Namun, karena jalan yang ditempuh dengan cara berpikir instan; bertindak untuk kepentingan sesaat saja, maka tanpa disadari kitapun menjadi orang yang tersesat di jalan yang benar.

Dalam Al Quran disebutkan, bahwa memenuhi dan mematuhi janji, termasuk sifat orang bertakwa sekaligus sebab utama dalam menggapai ketakwaan.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 40; “Dan penuhilah janjimu kepadaKu, niscaya Aku penuhi janjiKu kepadamu.”

Artinya, dengan memenuhi janji, untuk sebuah kebaikan, maka realitas dari janji itu, kelak menjadi jalan ibadah. Bahkan, dapat menghapus kesalahan dan memasukan ke surga. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

HITI: PP Gambut Hambat Investasi

QS. Al Baqarah: 49