Ayah Meninggal Dunia, Ibu Menikah Lagi
Gempa bumi di Pidie Jaya, Nangroe Aceh Darussalam, menimbulkan trauma mendalam bagi anak-anak. Terlebih bagi mereka yang menghadapinya seorang diri, tanpa sosok ayah atau ibu. Berikut beberapa kisah pilu bocah-bocah yang kehilangan orangtua mereka.
GEMPA bumi 6,4 skala Richter (SR) di Kabupaten Pidie Jaya, Rabu (7/12), membuat kesibukan di RSUD Pidie Jaya berlipat-lipat. Banyak korban meninggal maupun luka-luka yang dilarikan ke RS milik pemerintah itu.
Siang kemarin (8/7), puluhan korban luka-luka memadati RS itu. Saking penuhnya, banyak pasien terpaksa ditempatkan di lorong-lorong. Petugas medis pun sampai kewalahan menangani satu per satu korban yang memiliki luka variatif. Mereka juga harus ekstra hati-hati karena banyak material bangunan yang berserakan di lantai.
Meski demikian, para perawat tetap memberikan pelayanan normal seperti biasa kepada pasien. Namun, untuk antisipasi, semua ranjang dikeluarkan dari ruangan.
Tempat tidur pasien itu dijejer di pinggiran lorong rumah sakit untuk memudahkan evakuasi bila gempa susulan terjadi. “Kebanyakan pasien takut kalau dirawat di dalam (ruangan, red),” ujar Nurul Khusna, perawat di RSUD Pidie Jaya.
Pagi kemarin, tiga perawat mendata identitas korban gempa. Mereka juga memeriksa kondisi kesehatan pasien. Terutama yang mengalami luka parah. Saat pendataan sedang berlangsung, seorang perawat terlihat kebingungan ketika melihat seorang anak perempuan terletak di ranjang pasien.
“Ini orangtuanya mana?” tanya perawat bertubuh besar itu. Tak lama kemudian, salah seorang pria dengan sebatang rokok menyala di jari tangan kanan, beranjak dari duduk. Dia langsung menghampiri perawat sembari berbisik, “Ayahnya tidak jelas di mana, kalau ibunya dibawa ke Rumah Sakit Sigli,” ujar pria yang belakangan diketahui bernama Basri yang ditugasi menjaga Misrayana, 11, bocah yang berbaring di ranjang tersebut.
Basri pun kesulitan menjelaskan seperti apa nasib ayah Misrayana pascagempa Rabu itu. Bola matanya terus menatap ke arah bocah yang terpasang selang infus di tangan kirinya itu.
“Setahu saya mereka (orangtua Misrayana, red) sudah pisah ranjang sejak dua tahun lalu,” ucap pria yang mengaku saudara jauh bocah perempuan yang mengalami luka berat di kedua kakinya tersebut.
Misrayana yang sedari tadi mendengarkan percakapan Basri dan perawat, tidak mengeluarkan sepatah kata apa pun. Tatapan matanya kosong. Wajahnya pucat. Sesekali dia meringis menahan sakit. “Bapak lagi nggak di rumah,” tuturnya lirih saat ditanya ke mana perginya sang ayah.
Pelajar kelas 5 SD Pante Raja Tunong itu mengaku lebih sering sendirian di rumah sakit sejak musibah gempa meluluhlantakkan rumahnya di Desa Lhok Puuk, Kecamatan Pante Raja, Pidie Jaya.
Ibu dan tiga saudara kandungnya dilarikan di rumah sakit berbeda yang memiliki fasilitas lengkap. Sebab, mereka mengalami luka berat akibat tergencet reruntuhan material bangunan.
Misrayana pun tidak mampu bercerita banyak tentang kronologi gempa yang menimpa sebagian rumahnya. Yang dia ingat saat itu kakinya sudah tertimpa dinding tembok kamar.
Selang beberapa menit guncangan hebat terjadi lagi. Kala itu dia sedang tidur di samping ibunya. “Bangun-bangun…,” tutur Misrayana menirukan teriakan ibunya. Misrayana merasa diselamatkan oleh tetangganya beberapa saat setelah tembok dinding menghantam kakinya.
Saat ini, Misrayana hanya ingin cepat sembuh dan bisa kembali bersekolah. Dia juga berharap rumahnya yang rusak segera diperbaiki pemerintah. Misrayana ingin sekali bertemu kembali dengan orangtuanya.
“Ingin lihat Ayah, ingin bertemu Ibu, ingin kumpul sama teman-teman,” tutur Misrayana dengan mata berkaca-kaca.
Musibah gempa yang menewaskan lebih dari 100 jiwa di Pidie Jaya dan sebagian Bireuen itu juga dialami Wen Mulyadi, 14. Tanpa sosok orangtua, pelajar kelas 2 MTSn Pangwa tersebut harus mengungsi ke tempat yang lebih aman di Desa Mee Pangwa, Kecamtan Trenggadeng. Di sana dia tinggal bersama neneknya yang sudah renta. “Ayah meninggal, ibu menikah lagi,” ungkapnya.
Kondisi rumah Wen memprihatinkan. Sebagian bangunannya hancur. Dia pun tidak berani tidur di rumah karena khawatir gempa susulan kembali terjadi. Sejauh ini, Wen bersama pengungsi lain mengandalkan bantuan makanan yang dikelola pemerintah desa untuk sekadar bertahan hidup.
Lain lagi cerita Salfa Azka, 2,5 tahun. Ketika gempa terjadi, balita itu mendadak sakit panas dan dirujuk ke RSUD Pidie Jaya. Dia kemarin didampingi ayahnya, Emrazi, 33, yang anggota tentara.
“Kemarin dia saya ajak ke markas karena dipanggil komandan. Tapi pagi ini badannya panas. Saya minta izin tidak bertugas,” ujar pria yang tinggal di Kecamatan Panteraja itu.
Salfa didiagnosis panas tinggi karena stres dan trauma. Anak perempuan yang biasanya riang itu hanya diam selama menjalani perawatan. Cuma sesekali suaranya terdengar saat menangis atau hendak pipis.
Menurut cerita ibu Salfa, seakan pertanda pada Selasa malam (6/12) anak-anak dan suaminya mengaku kepanasan di dalam rumah. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidur di ruang TV yang kebetulan dekat pintu keluar. Firasat itu ternyata benar. Sekitar pukul 05.00, mereka terbangun karena guncangan gempa.
Saking takutnya, Emrazi dan keluarga merangkak keluar rumah. “Hari masih gelap. Jadi saya disuruh merangkak daripada tersandung sesuatu,” ujarnya.
Setelah itu, Salfa harus dibawa ke sana-kemari dan terpaksa menginap di warung karena takut gempa susulan. Akibatnya, badannya jadi panas hingga kejang-kejang. (*)
LOGIN untuk mengomentari.