JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan mengawal inisiatif masyarakat untuk terus berinovasi menghasilkan teknologi yang feasible untuk mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar atau benda lain yang bermanfaat.
Demikian dikemukakan Ujang Solihin Sidik dari Ditjen Pengelolaan Limbah, Sampah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kepala Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan KLHK, Noer Adi Wardojo, dalam acara Focus Group Discussion (FGD), di Jakarta, Senin (16/12).
FGD yang tersebut bertujuan mendapatkan standar minimal untuk alat pirolisis sampah plastik untuk kebutuhan sederhana ini juga menghadirkan peneliti konversi energi dari ITB Bandung, Panji Prawisudha, dan peneliti PTSEIK, BPPT, Herman.
Ujang Solihin mengatakan respons praktis publik mencari solusi sampah plastik diwujudkan dengan membuat tungku pembakaran sampah, mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak (BBM), dan sampah plastik jadi bahan bakar tungku UMKM.
Dalam konteks munculnya insiatif masyarakat ini, tugas pemerintah atau KLHK adalah melakukan verifikasi solusi praktis dari aspek dampak lingkungan dan kesehatan. Apabila solusi praktis itu dipastikan dapat digunakan, harus dibuat alat/mesin dan prosedur diikuti supervisi, monitoring, dan evaluasi. “Jika solusi praktis tersebut menjadi sumber baru polusi, harus dihentikan dan dicari solusi praktis alternatif,” kata Ujang.
Penegasan senada dikemukakan Kepala Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan KLHK, Noer Adi Wardojo. Menurutnya, tugas KLHK memang mengawal berbagai teknologi tepat guna yang diguanakan masyarakat agar tidak menimbulkan persoalan lingkungan baru.
“Tapi, bila ditemukan ada masalah di lapangan, kita bersama mencari solusi dan bukan membawanya ke ranah hukum. Sebab idenya memang bagaimana memanfaatkan sampah plastik agar lebih berguna,” ujar Noer Adi.
Belum Ekonomis
Sementara itu, Panji Prawisudha mengatakan pemanfaatan plastik untuk energi sudah dalam skala besar dilakukan Tiongkok dan India, sedangkan di Indonesia masih dalam skala reaktor kecil-kecil. “Memang ini relatif sederhana, tapi banyak tantangan teknisnya, terutama risiko kebocoran, baik kebocoran di rekator atau di salurannya,” katanya.
Dia membandingkan vendor dalam negeri yang lebih mampu mengetahui beragam jenis sampah dibanding vendor asing yang menyederhanakan sampah dalam dua jenis saja. “Yang jelas sampah plastik bisa diolah jadi BBM, tapi belum ekonomis,” tambahnya.
Panji menjelaskan sambil menunjukan proses pemanfaatan plastik menjadi BBM yang disebut prolisis. BBM yang dihasilkan dari proses ini katanya, lebih mirip seperti minyak tanah.
Panji mengingatkan, ke depan perlu keseriusan untuk mengolah sampah plastik ini sebab teknologi terus berkembang. Masalahnya untuk membuat reaktor dan menjalankan serta memeliharanya membutuhakn dana yang besar. “Harus dicari jalan bagaimana APBD dan juga CSR perusahaan bisa mendukung upaya pengurangan dan pemanfaatan sampah plastik untuk enegi ini,” katanya. sur/AR-3