Pemilihan kepala daerah di Jakarta tak hanya menumpulkan akal sehat tapi juga mematikan rasa kemanusiaan segelintir warganya. Urusan kekuasaan membuat sekelompok kecil orang tega memprovokasi untuk menolak mensalatkan jenazah warga yang berbeda pilihan. Sebagian bahkan berdalih menyebut jenazah itu sebagai bangkai sehingga tak sepatutnya diurus.
Setelah itu semua terjadi, barulah pemerintah Provinsi Jakarta menurunkan spanduk pemecah belah itu. Hingga kemarin, Satpol PP telah menurunkan lebih 200 spanduk penolakan mensalatkan tersebut. Kata pelaksana tugas gubernur, sebagian ada yang keberatan dengan penurunan spanduk tersebut. Mestinya, untuk pernyataan terbuka berbau kebencian yang dipasang di tempat umum, aparat tak perlu segan menurunkan – meski dengan paksaan.
Kata Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid, pemasangan spanduk itu ekspresi lantaran hukum tak dilaksanakan. Petinggi Partai Keadilan Sejahtera itu menyarankan kepada polisi, agar daripada menurunkan spanduk, lebih dahulu melakukan koreksi atas kerja-kerja di bidang hukum.
Pernyataan pembiaran alias menolerir semacam ini sesungguhnya bagian dari provokasi kebencian. Sebagai seorang petinggi negara yang menjaga konstitusi Wakil Ketua MPR sepatutnya memperhatikan potensi gesekan berbau SARA itu. Alih-alih meredakan, itu malah seperti memberi dukungan bagi tindak tak manusiawi tersebut.
Sepatutnya aparat sejak jauh-jauh hari menindak tegas dengan menurunkan spanduk. Tindakan preventif itu perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya penolakan mensalatkan jenazah di masjid setempat. Karena mencegah pemicu SARA ini akan jauh lebih baik daripada memadamkan kala api membakar melebar ke mana-mana. Api SARA yang menghancurkan akal sehat, kemanusiaan dan silaturahmi antarwarga.