Bagi sebagian orang kritik bisa dianggap menodai agama atau keyakinan orang lain. Konstitusi negeri ini sebetulnya memberi jaminan bagi setiap orang untuk menyampaikan hak berpendapat. Tapi hati-hati, hak itu bisa menyeret ke balik terali besi.
Itulah yang terjadi pada Otto Radjasa, dokter di Balikpapan, Kalimantan Timur. Jaksa menuntutnya 3 tahun kurungan perjara atas dakwaan penodaan agama. Otto diadili lantaran statusnya di media sosial pada November tahun lalu dinilai melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Juga pasal penodaan agama dalam Kitab Hukum Pidana. Di status yang sudah dihapus itu, Otto berkomentar soal Aksi Bela Islam 212 beberapa waktu silam. Sebelum diadukan ke polisi Otto mendapat sejumlah teror dan intimidasi.
Di persidangan, ahli agama, pidana, dan bahasa yang bersaksi menilai status itu tak menodai agama. Kata mereka, status itu mesti dilihat sebagai kritik atau satir atas maraknya aksi di ibukota.
Tapi jaksa mengabaikan fakta persidangan itu dan tetap menuntut hukuman berat pada dokter Otto. Pun polisi yang jauh hari punya kewenangan mengabaikan laporan yang tak memenuhi unsur pidana. Kedua institusi penegak hukum itu, juga majelis hakim, sepatutnya mengkaji lebih dalam perkara atau laporan yang diterimanya. Apalagi konstitusi juga menjamin kebebasan berpendapat. Jangan sampai malah bertindak tak adil pada orang yang jadi korban persekusi karena menyampaikan hak berpendapat atau kritik.