Kadang dalam praktik jurnalistik, yang hasilnya bisa dilihat di media cetak maupun online di daerah ini, kita bagai melihat informasi yang wilayah sirkulasinya pada sebuah lapau, yang merembet keluar oleh si pembawa cerita dengan versi masing-masing. Lapau, dalam budaya Minangkabau, sebuah ruang di mana bertemu dan berkumpulnya secara sengaja atau tidak, sekelompok orang dari berbagai lapisan. Mulai dari orang biasa, tokoh, politisi, pemangku adat, sumando, pemuda dan lainnya, hadir untuk mencicipi menu yang ada di lapau tersebut, sesuai selera, terutama kopi, teh, teh telur atau goreng pisang dengan ketan.
Kadang berita di media, tidak lebih menarik daripada “topik” ota (obrolan) di lapau di kampung-kampung atau kedai kopi di kota, karena banyak jurnalis yang kurang mampu menghadirkan berita atau peristiwa, yang melebihi hangat berita atau letupan obrolan di lapau. Dan, menariknya, lapau juga menjadi ajang berbantahan informasi, termasuk ruang di mana berita atau hoax, bisa diterima atau dibantah. Semua sampai ke lapau melalui teknologi gadget, dari media sosial yang sulit dipastikan akurasinya.
Saat ini, tidak hanya berita koran atau televisi, isu dari media sosial pun jadi bahan diskusi. Bahkan, di lapau-lapau ini, seakan satu sama lain saling memverifikasi, saling menguatkan (akurasi), atau bagai melakukan check and balances dalam praktik jurnalistik.
Ketika duduk di lapau, kita mendengar omelan kecil soal berita yang dibacanya, yang jika disimpulkan tidak menarik. Ini sebuah penanda, kerja jurnalistik, di zaman sekarang ini bisa sebagai daya tarik sebuah produk jurnalistik, bisa tergerus oleh sensasi media sosial, yang belum tentu betul-tidaknya, tapi selalu menjadi topik menarik di lapau atau kedai kopi. Apalagi, informasi dari mulut ke mulut, di lapau kadang berkembang menarik.
Misalnya, cerita kepala daerah yang pecah kongsi. Beragam pendapat yang mengemuka. Sebab, di antara penghuni lepau ada juga tim sukses, atau mantan tim sukses. Kalau tim sukses kategorinya masih terpakai. Sedang mantan tim sukses adalah mereka yang sudah ditinggal. Nah, perdebatan atau letupan kepala daerah “pecah kongsi” ini misalnya, dengan data dan sumber beragam, kadang menyebar ke lapau-lapau lain, yang justru kadang tidak ditemukan pada media cetak atau lokal kita. Dari penyebaran inilah, kita kadang mendapatkan koreksian atau penambahan, baik dari mereka yang pendukung atau mantan tim sukses.
Perdebatan berbagai informasi di lapau itu, sebetulnya tidak terbatas. Berita-berita media pun tak luput dari kritik. Sebuah fakta, bahwa masyarakat lapau, kadang tidak puas hanya suguhan informasi yang bersifat sepihak dan seremonial. Apalagi, kadang-kadang media kurang utuh dalam penyajian pemberitaan? Sehingga, dalam ranah orang lapau, tak jarang media juga diledek, atau dikesampingkan sembari mengatakan, apalah berita koran ini! Maka, lapau pun menjadi ajang pelepasan ketidakpuasan atas pemberitaan tersebut.
Terjadinya “reaksi” masyarakat lapau, kadang-kadang bisa meluruskan infomasi yang simpang siur, termasuk yang dimuat media jika tak akurat. Bahkan dipertanyakan karena meragukan informasi, atau kurang jelasnya apa yang dihadirkan. Hal ini tentu dikarenakan ada warga lapau yang paham duduk persoalan dan kejadian dari sebuah peristiwa yang diberitakan, sementara di sisi lain media dalam liputannya kurang jeli dan komprehensif.
Sementara itu, mereka yang duduk dan berdiskusi di lapau dari beragam komunitas atau kalangan, ada kaum intelektual, politisi, pengusaha, tokoh masyarakat, ASN, pemuda dan lainnya, yang jelas mereka termasuk orang-orang yang menguasai informasi. Tak jarang, terjadi perdebatan, berbantahan, dan bisa saja berakhir antiklimaks, satu sama lain pulang dengan membayar kopi sendiri-sendiri, atau membayarkan kawan yang tadi bersitegang urat leher.
Dengan agak nyeleneh, kita kadang bisa menyebut jurnalisme ala lapau, lebih diterima masyarakat, jika profesionalisme dan kreativitas dan inovasi produk jurnalistik saat ini tidak menjadi perhatian serius. Lebih sering kita dengar, seseorang menjadikan ota-ota lapau sebagai referensi, termasuk perdebatan (diskusi) lapau sebagai sumber pengetahuan yang mencerahkan.
Jika ota lapau pada kemudiannya tidak akurat, jauh dari fakta, tak ada yang protes, dia akan lalu oleh ota (obrolan/ debat) berikutnya. Tapi, jika media massa, tak akurat, kurang menarik, amatiran, ia langsung diejek dan ditinggal pembaca. Lapau tidak, bisa habis dengan kopi baru esok harinya.
Apalagi, saat ini, lapau mulai berisi generasi milenial, bisa saja mereka di kedai kopi pusat kota, atau lebih sedikit mentereng di coffee shop, membincang peristiwa yang tidak lagi bersumber pada media karena media kurang memahami kebutuhan publik secara kreatif dan inovatif. Sedangkan lapau kampung-kampung, pun melek informasi, yang bisa saja dibawa oleh anak kemenakan yang sudah kuliah, mengikuti perkembangan dunia melalui internet, membuat lapau atau kedai kopi dalam artian luas, sebagai wadah baru membincang sesuatu. Sebagaimana ungkapan, ‘setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya’.
Kondisi yang juga berlaku di profesi dan organisasi lain, untuk penduduk pengunjung lapau juga begitu, mengalami perubahan.
Memahami lapau sebagai salah satu proses terjadinya dialektika, produk ’orang lapau’ walau sebatas kopi (sebagai istilah balapau), sesungguhnya memfasilitas terjadinya proses bercengkerama, silaturahmi, juga berbagi informasi, termasuk isu-isu liar yang jika tidak awas, memicu perselisihan.
Namun, lapau adalah wilayah budaya orang Minang, dari sana kadang sesuatu bisa saja disimpulkan sekalipun dari dasar peristiwa yang besar di istana negara.
Akan halnya dengan jurnalisme, secara sederhana, juga perlu belajar memahami isu atau dinamika apa yang dibutuhkan publik, setidaknya dari lapau. Lapau bisa dijadikan wadah konfirmasi sosial, apakah betul isu atau pemberitaan sudah sesuai kebutuhan masyarakat hari ini. (*)
LOGIN untuk mengomentari.