Ada gula, ada semut. Ada yang percaya, maka “pabrik” hoax akan terus eksis. Pengungkapan Saracen tidak akan sepenuhnya menghentikan beredarnya hoax. Membuat publik lebih pintar otomatis akan menghilangkan “konsumen” hoax.
Pengamat politik Rocky Gerung menilai, yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah meningkatkan budaya membaca masyarakat. Dengan demikian, pengetahuan mereka akan meningkat. Kalau sudah seperti itu, mereka tidak akan gampang percaya dengan berita bohong. “Banyak yang sebenarnya tidak tahu betul, tapi di media sosial ngeyel dengan pendapatnya,” tuturnya.
Bahwa publik semakin sulit dipisahkan dari media sosial, itu keniscayaan. Bahkan, durasi mereka untuk berinteraksi di media sosial akan semakin tinggi. Akibatnya, mereka rawan percaya berita bohong.
Bukan hanya itu, interaksi di media sosial berpotensi menimbulkan salah paham. “Orang tidak perlu memperhatikan intonasi, mimik muka, ataupun gestur,” beber Rocky. “Pemerintah seharusnya berfokus meningkatkan budaya literasi. Bagi-bagi buku seharusnya,” tutur dia.
Jika ditarik ke belakang, hoax mulai marak ketika Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Berita yang mulanya menelisik hal negatif tiap-tiap pasangan calon berkembang di media sosial seperti Facebook. Selanjutnya, hal-hal yang terkait agama dan ras pun dibawa untuk memberi warna kelam Pilpres 2014. Pesan-pesan yang belum tentu benar juga muncul di WhatsApp.
Ace Hasan Syadzily, anggota Komisi II DPR, mencermati, berita-berita yang belum bisa teruji kebenarannya itu turut tumbuh subur dengan dukungan masyarakat. “Masyarakat percaya dan ikut menyebarkan. Jadi, kita itu seperti pion-pion mereka,” katanya.
Menurut politikus Partai Golkar tersebut, saking banyaknya, hoax dapat menggiring opini publik. Berita-berita tersebut akhirnya membuat hal yang belum teruji kebenarannya seolah memiliki kebenaran mutlak. Bahkan, kadang muncul fenomena yang salah dianggap benar sesuai penilaian yang ada di hoax. (*)
LOGIN untuk mengomentari.