Kemarau telah tiba. Ibarat lonceng, peringatan sudah berbunyi dari ujung barat Indonesia: kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Sudah lebih sepekan sebagian Kabupaten Aceh Barat tertutup kabut asap akibat karhutla. Api menghanguskan sekitar 70 hektar lahan, sebagian besar areal gambut. Sekolah diliburkan. Rumah sakit telah merawat 20 orang lebih warga Meulaboh yang menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB memprediksi ancaman karhutla dan kekeringan akan terus meningkat seiring puncak musim kemarau pada Agustus dan September. Demi tak menanggung rugi akibat dampak kabut asap seperti tahun 2015 lalu, lima provinsi langganan karhutla menetapkan status siaga darurat. Ini untuk memudahkan upaya penanggulangan bencana.
Satgas terpadu hadir di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Tak hanya itu, BNPB juga telah menyebar dan menyiagakan helikopter pemboman air (water bombing) di wilayah langganan karhutla. Upaya preventif dan penegakan hukum juga dilakukan; tidak ada kompromi pada pelaku pembakar lahan.
Berkejaran dengan waktu, pantauan satelit menunjukkan jumlah dan sebaran titik panas (hotspot) terus meningkat lantaran cuaca makin kering. Di saat yang sama mata kita mesti ekstra awas menjaga hamparan hutan dan gambut agar tak lagi dibakar seenaknya. Peristiwa Karhutla 2015 yang menyeret belasan perusahaan di Riau dalam dugaan pembakaran lahan secara sengaja jangan sampai terulang.
Sikap tegas dan gerak cepat diperlukan untuk menghalau mimpi buruk berulangnya bencana kabut asap. Jangan lagi kita merugi miliaran dollar karena tak becus melindungi hutan dan gambut yang tersisa. Jangan sampai kita gagal merawat titipan generasi mendatang.