in

Malagak

Sekitar 40 tahun lalu Buya Hamka pernah mengatakan, gaya hidup mewah adalah racun yang amat berbahaya yang dapat memusnahkan kekuatan suatu bangsa. Dengan kemewahan, orang ingin hidup melebihi dari kekuatannya.

Bak kata pepatah, katak hendak jadi lembu. Kini di sekeliling kita, makin sambuah katak bersalin rupa menjadi lembu. Bermunculan orang kaya baru. Setidaknya menang di lagak. Istilah pangkat kopral penghasilan jenderal bukan hal yang aneh.

Begitulah cara kerja neokolonialisme. Taktik penjajahan jiwa dengan membangkitkan keinginan hidup mewah pada rakyat negara-negara berkembang. Konon makin bertambah mewah hidup orang, bertambah pudarlah cita-citanya. 

Yang satu hendak melebihi yang lain dalam kemewahan. Kemewahan dalam membangun rumah, kemewahan dalam menghiasinya, kemewahan dalam memilih kendaraan, kemewahan dalam kehidupan sehari-hari. 

Simbol-simbol kemewahan bermunculan di setiap sudut kota. Dunia gemerlap itu selalu ramai oleh mereka yang terbiasa hidup mewah. Tempat-tempat hiburan malam menjamur. Wanita-wanita setengah telanjang tanpa malu berseliweran di negeri adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. 

Beberapa perantau sempat urut dada menyaksikan perkembangan kampungnya yang katanya religius itu. Ketika kota-kota besar di provinsi lain mulai menyulap simbol-simbol kemewahan dengan taman-taman bermain, di “kampung buya” bermunculan fasilitas kaum hedonis.

Ibu wali kota Padang mengaku kaget begitu menyaksikan wanita-wanita belia menjajakan diri di tempat-tempat hiburan malam. Lebih terperangah lagi, mereka ternyata anak gadih Minang. “Di lapangan pekerjaan satu ini, transformasi knowledge dari tenaga impor ke pribumi berlangsung sukses,” sindir teman-teman jurnalis yang terlibat cekcok dengan centeng tempat hiburan malam di Padang baru-baru ini.

***

Kemewahan bikin etos kerja luntur. Dari pegawai rendahan hingga big boss tidak fokus bekerja. Semua giat mencari harta sebanyak-banyaknya demi hidup mewah. Instansi pemerintah atau swasta sama saja. Virus penghancur bangsa ini telah mewabah ke mana-mana.

Karena gaya hidup mewah, bos dan anak buah kehilangan motivasi kerja. Sama-sama terbius dengan kenikmatan dan fasilitas. Prestise lebih penting daripada prestasi. Tidak peduli perusahaan marasmus yang penting pimpinan dan karyawannya makmur.

Lihat saja perusahaan swasta atau pelat merah yang hidupnya prihatin, gaya hidup pimpinan dan karyawannya cenderung mewah. Manipulasi dan korupsi menjadi-jadi.

Pungutan liar di birokrasi dipicu karena keinginan gaya hidup mewah. Ingin malagak gaji tak cukup. Anak bini banyak kandak. Tidak peduli ada satgas sapu bersih pungli, main pakuak dan palak tetap jalan. 

Di beberapa grup Whattsap di daerah ini, sempat menjadi viral terkait rumitnya pengurusan paspor dan visa. Sejumlah pelaku pariwisata mengaku masih sering dipersulit dalam berurusan. 

Tidak sedikit pula pelaku usaha yang mengaku masih ribetnya bila menjalin kerja sama dengan pemda. Kalau tidak panuah ka ateh, panuah ka bawah jadi pula. Bukan pungli, tapi cash back. Hehe begitu istilahnya.

Akrobat kuitansi seolah lumrah. Dari hulu sampai hilir seolah tutup mata. Gaya hidup mewah mendorong aparatur negara menambah pendapatan lewat mark up nilai proyek atau pungli kepada pengguna jasa.

Kultur dan tradisi dalam masyarakat berpengaruh terhadap kinerja birokrasi. Sikap apatis alias tidak peduli dan tidak mau tahu terhadap apa pun yang terjadi di sekelilingnya, termasuk apa yang terjadi di birokrasi. Dalam derajat yang lebih parah, masyarakat yang masih terbelakang mau menerima apa saja produk pelayanan birokrasi dengan sikap fatalistik, walaupun dirugikan.

Mentalitas hedonis dan pragmatis alias tidak mau repot dan cenderung cari enak saja, ikut menyuburkan pungli dan kolusi. Rasa ketergantungan yang berlebihan terhadap birokrasi, tak jarang membuat masyarakat mau menerima saja berbagai perlakuan menyimpang. Seperti halnya kontraktor yang rela dipotong anggaran proyeknya oleh oknum birokrasi, asalkan bisa mendapat proyek.

Kemewahan membuat orang malas bekerja. Coba lihat perilaku pejabat pemerintahan yang manja dalam menjalankan pekerjaan. Banyak di antara eselon 1 dan II harus memiliki ajudan, sekretaris dan sopir pribadi. Jamak di negara maju, seorang top senior official sekalipun tidak ada yang memiliki ajudan dan sopir. 

Di tengah penderitaan masyarakat yang tidak berujung, banyak juga birokrat yang tega melakukan hobi mewah nan mahal seperti golf, rapat dinas di hotel mewah, belanja ke luar negeri dan sebagainya. Tidak sedikit daerah yang pendapatan asli daerah kecil, pejabatnya justru banyak yang kaya raya bak bangsawan kerajaan di masa lampau.

Karena kemewahan pula, beberapa politisi kita harus menjalani hari tuanya di penjara. Benar kata Buya Hamka, kemewahan adalah racun pemusnah bangsa.(*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

ANRI Siap Menjaga Arsip Budaya dan Pariwisata Indonesia

Kuliner dan Budaya Nusantara Pikat Pelajar Asing di Manchester