in

Mandan Egois, Bikin Pecah Kongsi

Beberapa waktu lalu di sebuah warung di Kelurahan Kuranji, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, empat orang pemuda bermain batu domino. Mereka main berpasangan atau bamandan.
Dalam permainan itu, masing-masing mandan harus mengerti dan mengetahui kartu rekannya sehingga bisa keluar menjadi pemenang dan menumbangkan lawannya. Strategi permainan harus diatur sedemikian rupa, agar kartu lawan bisa dikontrol sehingga mereka tidak berkutik.

Dalam permainan itu, sifat ego harus dihilangkan meskipun memiliki kartu bagus. Jika mandan sudah tinggal satu kartu, kartunya harus diperjuangkan agar bisa menang, meskipun kartu rekannya bagus. Itulah gunanya bamandan sama-sama mengerti tidak saling egois memikirkan kartu sendiri.

Saat itu skor permainan imbang 1-1. Untuk mencari pemenang dilanjutkan satu set lagi. Pada set terakhir itu, kegaduhan mulai muncul dari satu pasangan. Salah satu pemain mulai marah, karena rekannya tidak lagi memikirkan kartunya. Padahal kartunya kartu bagus yang patut diperjuangkan dan bisa finish menjadi pemenang. Namun rekannya malah memperjuangkan dan memikirkan kartunya sendiri, padahal dia masih punya empat kartu, sedangkan mandannya hanya tinggal dua kartu.

Otomatis kondisi tersebut langsung terbaca oleh lawan yang akur dalam bermain. Mereka dengan mudah menebak dan mengontrol kartu pasangan yang sedang bertengkar itu. Hasilnya, set tersebut mereka menangkan.

Itulah mengerikannya pecah kongsi. Kemenangan yang hampir digapai tiba-tiba sirna karena ketidaksepahaman. Fenomena itu tidak hanya terjadi di meja domino saja. Pada pemerintahan, pecah kongsi juga sering terjadi. Seperti hubungan wali kota dan wakil wali kota serta bupati dan wakil bupati yang retak dan tidak harmonis.

Di Sumbar, pecah kongsi antara kepala daerah beserta wakilnya terlihat jelas dan nyata. Pada bulan pertama, hingga setahun menjabat mereka memang sehati dan sejalan dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun selanjutnya hubungan mulai tidak harmonis.

Muncul masing-masing ego di antara mereka. Dari persoalan sepele hingga menjadi persoalan serius yang tidak terselesaikan. Di antaranya pengambilan kebijakan tertentu, kemudian takut kalah pamor, hingga terjerumus oleh ego parpol yang mengusung keduanya. Persoalan kecil lainnya adalah perebutan penempatan tim sukses di dalam sistem pemerintahan. Mereka mulai berselisih pendapat karena punya jagoan masing-masing untuk instansi tertentu.
Awalnya hanya berbeda pendapat, kemudian membesar menjadi persoalan serius dan menggelinding seperti bola salju. Lama-lama semakin besar dan sulit untuk dibendung. Sama seperti persoalan kedua pemimpin itu, sulit untuk diselesaikan.

Yang parahnya, persoalan kedua kepala daerah itu, malah diaduk-aduk di dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mereka mulai lupa diri dan tidak malu lagi diperbincangkan oleh banyak pihak termasuk masyarakat kecil.

Kinerja pemerintahan yang seharusnya terkontrol dengan baik oleh kepala daerahnya malah minim perhatian, karena pemimpin itu sibuk dengan ego masing-masing.

Bupati sesukanya, wakil bupati mungkin tidak bisa apa-apa karena kekuasaan terpenuh berada di tangan bupati. Begitu juga dengan wali kota yang sibuk dengan urusan ini urusan itu. Sementara wakil wali kota sibuk menyiapkan diri untuk manjadi wali kota selanjutnya, karena posisi wakil dinilai tidak menyenangkan karena keterbatasan kebijakan.

Pada Mei lalu, Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit mengatakan dengan jelas pemicu keretakan hubungan kepala daerah itu adalah soal pembagian kewenangan.

Belakangan, beredarnya kabar Gubernur Sumbar Irwan Prayitno marah besar. Karena dinilai tidak mau rujuk dengan wakilnya, Wali Kota Padangpanjang di SP1. Media masa di Sumbar sendiri beramai-ramai memberitakan hal itu hingga menjadi trending topic.

Pertikaian-pertiakain kepala daerah itu sendiri juga diperkuat oleh sejumlah pemberitaan di media masa. Bahkan kebanyakan ekspose yang dilakukan sejumlah media hanya terfokus kepada bupati/wali kota. Sementara kegiatan setiap wakil nyaris tidak terpublis.

Akibatnya komunikasi pemerintahan tidak berjalan dengan baik. Sistem pemerintahan mulai reot dan keropos. Paling menakutkan adalah munculnya kebijakan tertentu yang bisa bersifat merugikan.  

Namun siapa yang menjadi korban dalam kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut? Ya, tentu masyarakat kecil yang perekonomiannya berada di bawah.

Pemimpin yang seharusnya sejalan dalam memajukan daerah dan menciptakan kesejahteraan masyarakatnya malah tidak bergandengan tangan dalam menjalankan program terutama program yang langsung menyentuh masyarakat.

Janji, visi dan misi yang disampaikan ke masyarakat mulai terlupakan karena kepala daerah itu sibuk dengan ego pribadi yang mereka bawa dalam sistem pemerintahan.

Kini keinginan masyarakat hanyalah kedamaian. Sudahi pertikaian dan bersama-samalah membangun daerah. Daerah yang maju dan masyarakat yang sejahtera adalah daerah kepala daerah yang punya visi dan misi kemudian berupaya menggapainya secara bersama-sama, tidak berjalan sendiri-sndiri. Itulah kepala daerah yang punya pengabdian kepada masyarakat bukan punya pengabdian kepada ego sendiri. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Konflik Satwa Dilindungi dan Manusia masih Terjadi di Sumbar

Tak Cukup sekadar Menang