“You cannot hoist a piece of cloth and call it a flag” (Gata han keumah ta peuék sikrék idja dan tadjak kheun; Njöekeuh bandera!). Kata-kata ini diucapkan oleh Tengku Hasan Muhammad di Tiro satu hari setelah peringatan 1 tahun re-deklarasi Aceh Merdeka (AM) pada tanggal 4 Desember 1977 di Aluë Bambang, pedalaman Pidie. Dalam narasinya, Tengku Hasan selalu menyampaikan bahwa kesadaran politik menjadi salah satu hal penting dalam membentuk sebuah ideologi, pun demikian dengan gerakan perlawanan yang bangkitkan olehnya.
Bendera tidak sekedar menjadi simbol tanpa makna. Negara manapun di dunia, sehelai kain (baca: Bendera) tersebut tidak hanya sebagai bukti kedaulatan, tapi didalamnya memiliki pesan, nilai dan filsafah suatu bangsa yang sarat dengan sejarah keagungannya. Oleh karena itu, tulisan ini hanya sekedar tawaran terkait nilai dan falsafah yang terkandung dalam 40 tahun (4 Desember 1976 – 4 Desember 2016) perjalanan Gerakan Aceh Merdeka hingga sampai pada titik perdamaian seperti saat ini. Karena itulah, tulisan ini tidak bermaksud untuk membangkitkan perlawanan, tidak juga untuk merusak nilai-nilai perdamaian Aceh dengan Indonesia yang seharusnya kita jaga dan kita syukuri bersama. Tapi, ini hanya sekedar paradigma tentang sejarah yang mungkin sudah dilupakan atau terlupakan.
Banyak kalangan, khususnya dari mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hanya mengetahui bahwa 4 Desember adalah hari ketika Tengku Hasan Tiro mendeklarasi ulang Aceh Merdeka, akan tetapi banyak yang melupakan dan luput dari ingatan bahwa Hasan Tiro sengaja mengambil tanggal 4 Desember sebagai manifestasi atas peristiwa perang Belanda-Aceh yang menyebabkan syahidnya Teungku Chik Ma’at di Tiro di Aluë Bhöt, Tangse. Peristiwa ini menjadi inspirasi besar dalam perjalanan Tengku Hasan. Tengku Chik Ma’at di Tiro telah mengajarinya bagaimana seharusnya hidup dan bagaimana seharusnya mati.
Tengku Chik Ma’at di Tiro, anak muda berumur 16 tahun yang ditawarkan hadiah oleh H.J.Schmidt, komandan Belanda yang memimpin perang di Tangse-Geumpang untuk menumpas perlawanan para ulama Tiro. Tengku Ma’at paham, bagaimana seharusnya mengambil sikap atas tawaran dan godaan paling hina dalam peperangan itu. Schmidt membujuk Tengku Ma’at melalui seorang wanita keluarga Tiro. Satu-satunya jawaban yang didapatkan Schmidt dari wanita itu adalah; Hana Djalan, Dijih galak keu syahid, lagée Ku dih! Inilah jawaban Tengku Ma’at sosok pemuda Aceh yang digelar oleh Belanda sebagai Zoon van Zijn Vader (Aneuk Agam Ayah – Putera sang Ayah). Akhirnya, melalui senjata Nussy – veteran dan penunjuk jalan Belanda – dua butir peluru menembus jantungnya hingga mayatnya yang syahid ditemukan oleh Schmidt dan serdadunya dari Ambon dan Manado.
Kisah ini, diakui oleh Belanda sebagai salah satu roman sejarah paling agung dalam catatan perang Belanda dengan Aceh. Sayangnya, banyak generasi Aceh bahkan para mantan kombatan GAM melupakan peristiwa yang telah menginspirasi Tengku Hasan sebagai simbol dari makna perlawanannya dengan Indonesia dimasa lalu. Benar kata Tengku Hasan di Tiro, kisah ini hanya sanggup dilukis oleh seniman sehebat Velasquez, dihargai sebagai peristiwa dramatis oleh manusia setingkat Shakespeare, ditulis sebagai syair oleh sosok Frederico Garcia Lorca, ataupun hanya mampu ditulis sejarahnya oleh Plutarch, sosok sejarawn Yunani yang telah menulis biografi Alexander the Great dan Julius Caesar. Ya, hanya sekelas mereka yang mungkin bisa menghargai bagaimana nilai dan makna dalam peristiwa syahidnya Tengku Chik Ma’at di Tiro ini.
Tengku Chik Ma’at dan Tengku Hasan di Tiro telah mengajarkan generasi Aceh bagaimana seharusnya menjadi Aneuk Agam yang mampu menulis nasibnya sebagai sebuah bangsa. Tanggal 3 dan 4 Desember telah menjadi sejarah bagi Aceh bagaimana seharusnya manifesto perlawanan itu terbentuk. Hingga akhirnya, Tengku Hasan di Tiro berpesan dalam satu perintahnya pada peringatan 4 Desember 1987; Gata keuh njang djeut keu Tutué seubagöe teumpat njang peuhuböeng kemuliaan Aceh njang uliköt ngöen masa ukeu. Gata njöekeuh njang mungken peusamböeng kemuliaan, kemeugahan bansa Aceh dimasa njang ka uliköet dengöen masa ukeu. Gata njöe bék djeut keu Tutuè patah, bék djeut Tutuè reubah. Geunulam gata geuhón lagéena. Peu njang ka ulön peuding ateuh bahöe gata njöe, geuhón!
Sejarah sebagai satu tanggung jawab yang diamanahkan oleh Tengku Hasan di Tiro pada masa perang justru tidak menemukan tempat yang layak hari ini (masa perdamaian Aceh) dipundak mereka yang sudah berkuasa. Sejarah hanya menjadi sentiment semata, dan mungkin Tengku Hasan di Tiro hanya sekedar komoditi untuk berkuasa. Aceh sedang menunggu sosok Aneuk Agam Aceh yang tidak Peuglah Putjök Dröe, dan tokoh yang mampu menempatkan dirinya tidak sebagai Tutué patah atau Tutué reubah, hingga generasi Aceh bisa melihat bagaimana masa lalunya dan bagaimana seharusnya dia menentukan masa depannya. Pat teuma njan, pat? Wallahu ‘alam.