ACEHTREND.CO, Banda Aceh – Surat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang ditujukan kepada Gubernur Aceh menegaskan bahwa jika memang mutasi pejabat di lingkungan Pemerintah Aceh dibutuhkan maka surat Mendagri dinilai sebagai bentuk persetujuan tertulis tapi harus dengan keputusan baru setelah gubernur mencabut keputusan yang lama.
Hal itu ditegaskan oleh Mawardi Ismail, ahli hukum Unsyiah menerangkan substansi surat Mendagri Nomor 820/1809/83 bertanggal 11 April 2017 yang oleh sebagian orang terkesan “meu wot-wot“, namun isinya oleh Mawardi disebut terang, jelas dan tegas.
“Keputusan baru ditetapkan setelah keputusan lama dicabut terlebih dahulu. Ingat, bukan dengan memperbaiki, juga tidak secara bersamaan, cabut dulu, lalu lakukan mutasi sesuai peraturan perundang-undangan, baru menetapkan kembali keputusan Gubernur Aceh sebagai pengganti atas keputusan lama, baru sah!”, jelasnya, Rabu (12/) sore di Banda Aceh.
Surat yang harus dicabut terlebih dahulu sebelum menerbitkan keputusan baru/pengganti, yaitu keputusan Gubernur Aceh Nomor PEG.821.22/004/2017 tanggal 10 Maret 2017 tentang Pengangkatan Dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama (Eselon II) di Lingkungan Pemerintah Aceh.
Mawardi mengingatkan peraturan perundang-undangan yang mesti dipedomani dalam melakukan mutasi pejabat, sebagaimana disebut dalam surat Mendagri adalah: untuk promosi harus mengikuti mekanisme seleksi terbuka, termasuk jika mengikutsertakan tenaga fungsional dari perguruan tinggi, yang juga lebih dahulu harus mendapat izin tertulis dari instansi induk.
Begitu pula jika melakukan demosi maka harus dengan alasan yang jelas sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dan Peraturan Pemerintah No. 46/2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil.
“Termasuk apabila terdapat jabatan yang lowong agar ditunjuk Pejabat Pelaksana Tugas atau mendayagunakan kembali pejabat eselon II yang ada,” tambah Mawardi menjelaskan isi surat Mendagri agar tidak salah dipahami.
Pejabat Lama Pulih Kembali
Mawardi juga memberi tahu, dengan dicabutnya keputusan yang lama, maka keputusan yang sebelumnya, dengan sendirinya kembali berlaku.
“Jadi, pejabat yang sudah dinon-job-kan, aktif kembali, sedang pejabat yang dilantik pada 10 Maret 2017 dengan sendirinya batal, dan semuanya akan terang setelah gubernur menetapkan keputusan pengganti usai menjalankan mutasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” tegas Mawardi Ismail.
Terakhir Mawardi mengingatkan, jika Gubernur Aceh masih mengabaikan peraturan perundang-undangan dalam melakukan mutasi pejabat di lingkungan Pemerintah Aceh maka ada kemungkinan akan digunakan Pasal 32 dan Pasal 33 UU ASN.
Berikut bunyi lengkap Pasal 32 dan Pasal 33 UU ASN:
Pasal 32
(1) KASN berwenang:
a. mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi mulai dari pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi;
b. mengawasi dan mengevaluasi penerapan asas, nilai dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
c. meminta informasi dari pegawai ASN dan masyarakat mengenai laporan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN;
d. memeriksa dokumen terkait pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN; dan
e. meminta klarifikasi dan/atau dokumen yang diperlukan dari Instansi Pemerintah untuk pemeriksaan laporan atas pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, KASN berwenang untuk memutuskan adanya pelanggaran kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
(3) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang untuk wajib ditindaklanjuti.
Pasal 33
(1) Berdasarkan hasil pengawasan yang tidak ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3), KASN merekomendasikan kepada Presiden untuk menjatuhkan sanksi terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang yang melanggar prinsip Sistem Merit dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan;
b. teguran;
c. perbaikan, pencabutan, pembatalan, penerbitan keputusan, dan/atau pengembalian pembayaran;
d. hukuman disiplin untuk Pejabat yang Berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan
e. sanksi untuk Pejabat Pembina Kepegawaian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:
a. Presiden selaku pemegang kekuasan tertinggi pembinaan ASN, terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian; dan
b. Menteri terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Pejabat yang Berwenang, dan terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.