Rabu ini dunia memperingati 30 tahun hari tanpa tembakau. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencetuskan peringatan ini karena memperkirakan setiap tahun kebiasaan merokok telah menyebabkan 5,4 juta kematian. Itu sebab, hari ini diserukan pada para perokok untuk berpuasa mengisap asap selama 24 jam.
Satu dekade kemudian, muncul Insiatif Bebas Tembakau yang mendorong dunia internasional memberi perhatian pada masalah kesehatan terkait dampak tembakau. Termasuk di dalamnya Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC).
Kesadaran global itulah yang membuat lebih 190 negara bersedia meneken FCTC. Sayang, tak ada Indonesia di sana. Tahun lalu Presiden Joko Widodo berdalih tak meneken lantaran tak mau ikut-ikutan. ‘Kita harus melihat kepentingan nasional’, begitu dalih Jokowi saat rapat terbatas di Istana Kepresidenan.
Namun Jokowi tak menjelaskan kepentingan nasional yang dia maksud. Patut diduga itu adalah kepentingan bisnis industri pertembakauan yang bernilai ratusan triliun itu. Dari pungutan cukai saja, tahun ini pemerintah menargetkan meraup sekitar 150 triliun Rupiah. Naik sekitar 6 persen dari tahun lalu.
Angkanya memang fantastis, menunjukkan tingginya konsumsi rokok di negeri ini. Cukai sebesar itu didapat dari proyeksi produksi 340 miliar batang yang diisap para pecandunya.
Setarakah kepentingan nasional industri tembakau dan dampaknya bagi masyarakat? Penelitian Lembaga Demografi Universitas Indonesia pada tahun lalu menyatakan pengeluaran negara akibat konsumsi tembakau ini mendapai lebih 378 trilliun Rupiah. Kerugian negara itu akibal hilangnya tahun produktif lantaran sakit, kecacatan dan kematian akibat merokok. Data BPS menunjukkan pecandu rokok sebagian besar berusia produktif di kisaran 24 hingga 44 tahun.
Pemerintah sepatutnya memperhitungkan dengan sungguh dampak itu. Semestinya kesehatan jutaan perokok dan orang sekitar yang terpapar asap, juga jadi kepentingan nasional yang diperhatikan dan dilindungi negara.