in

Melihat Aktivitas ”Oemar Bakrie” Setelah Pensiun

Urus Anak-anak Dhuafa, Ingin Guru lebih Berani

Pensiun sebagai pegawai negeri sipil, tidak membuat sejumlah ”Oemar Bakrie” di Luak Limopuluah, berhenti bekerja nyata untuk dunia pendidikan. Meski tidak lagi mengajar di dalam kelas, tapi aktivitas mereka memberi secercah harapan. Betapa tidak, pada ”zaman now” ini masih ada insan yang menjadikan profesi guru sebagai ladang pengabdian tanpa batas. 

”DARI pohon mangga jangan diminta buah rambutan. Tetapi jadikan setiap pohon menghasilkan buah yang manis,” ungkap Engku Muhammad Syafei, mantan Mendikbud sekaligus pendiri INS Kayutanam. Ungkapan yang diabadikan budayawan AA Navis dalam buku ”Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei” itu, agaknya betul-betul mendarah-daging bagi seorang Hafnizal, 62.

Meski sudah pensiun sebagai guru kimia salah satu SMA di Kabupaten Limapuluh Kota, tapi Hafnizal tetap bercita-cita melihat pendidikan di negeri ini  memanusiakan manusia. Dalam arti lain, peserta didik tidak harus dipaksa menjadi ”ini” atau ”itu” ketika dewasa. Tapi, biarkan mereka tumbuh dan berkembang, sesuai bakat dalam diri masing-masing. 

”Yang paling penting ditanamkan adalah akhlak peserta didik itu sendiri. Ini memang tidak semudah mengucapkannya. Butuh keteladanan dari guru dan orang tua. Sebab, pepatah klasik mengatakan, guru kencing berdiri, muridnya kencing berlari. 
Bila moral guru dan lingkungan rusak, bagaimana bisa berharap, moral peserta didik akan lebih baik. Keteladanan jadi kuncinya,” kata Hafnizal kepada Padang Ekspres, Jumat (24/11).

Selain ingin melihat pendidikan di negeri ini memanusiakan manusia, Hafnizal yang berasal dari Lintau, Tanahdatar, ingin pendidikan betul-betul berkeadilan sosial sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945. 

Maksudnya, peserta didik harus mendapat kesempatan yang sama atas akses pendidikan. Termasuk buat anak-anak berprestasi secara akademik, tapi mengalami keterbatasan secara ekonomi.

Untuk yang terakhir ini, Hafnizal tidak sekadar berteori. Sejak menjadi guru hingga pensiun Februari 2016 lalu, pria yang akrab dipanggil Pak Oyong ini, mewakafkan dirinya ”ayah asuh” bagi 80 anak-anak berprestasi yang terkendala biaya untuk kuliah di perguruan tingggi negeri. Kini, dari 80 anak asuhnya, 60 orang sudah meraih gelar sarjana.

”Alhamdulilllah, dari 60 orang yang sudah jadi sarjana itu, sebanyak 11 orang sudah selesai pula mengambil gelar master di Universitas Indonesia, UPI Bandung, ITS Surabaya, Unand, UNP, dan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Kemudian, sebanyak 6 dari 60 orang itu, sudah meraih gelar dokter dari Unand, Universitas Bengkulu, dan Unsyiah Aceh,” kata Hafnizal, penuh syukur.

Diakui Hafnizal, dari 80-an anak asuhnya, memang tidak sepenuhnya yang dia biayai. Sebab, dalam perjalanan waktu, bantuan dari dermawan lain yang dijuluki Hafnizal sebagai ”Tangan-tangan Tuhan”. ”Ada banyak tangan-tangan Tuhan yang membantu. Pemerintah juga sudah menyediakan banyak beasiswa untuk mahasiswa berprestasi dari keluarga tidak mampu, baik itu bidik misi atau beasiswa lain,” ujarnya.

Kini, menurut Hafnizal, ”anak asuhnya” yang menuntut ilmu di perguruan tinggi, tinggal belasan orang. Walau Hafnizal sendiri tidak lagi menerima gaji penuh seperti saat menjadi guru, tapi dia tetap serius mengurus anak-anak tersebut. Malahan, semakin hari, anak asuhnya semakin bertambah.

Lantas, dari mana Hafnizal mendapatkan biaya untuk membantu anak-anak tersebut? Sementara dia sendiri sudah pensiun sebagai pegawai negeri sipil? Jawaban Hafnizal, sangat sederhana: Tuhan Maha Pengasih. Berdasarkan pengalaman empirisnya, jika kita membantu orang, Tuhan pun akan membantu kita. Hafnizal yakin betul dengan yang satu ini.

”Buat teman-teman guru yang sudah pensiun, bantulah apa yang bisa kita bantu buat meningkatkan kualitas pendidikan. Jika ada anak-anak berprestsi, tidak mampu untuk kuliah di perguruan tinggi negeri, carikan jalan. Jangan pernah ragu untuk menolong seseorang. Percayalah, ketika kita menolong dengan ikhlas, Allah SWT juga akan menolong kita. Bahkan, seribu pintu akan dibukakan,” kata Hafnizal.

Dia mengaku sudah pernah membuktikan ucapanya tersebut. Terakhir, setahun lalu. Saat itu, istri tercintanya, Martalisda yang merupakan guru SMAN 1 Harau, meninggal dunia dalam usia 58 tahun. Sebelum wafat, Martalisda sempat dirawat selama berbulan-bulan di Jakarta. Sedangkan putra tunggal mereka, Rahmad Zaki Aulia, juga membutuhkan biaya untuk melanjutkan pendidikan masternya di Nano Teknologi, UKM Malaysia.

”Saya saat itu sempat berpikir, mau cari biaya ke mana. Letakkanlah, biaya berobat istri bisa diurus BPJS-Kesehaatan. Tapi, untuk tinggal selama berbulan-bulan di Jakarta, tentu butuh biaya juga. Apalagi, putra kami yang baru saja menikah di Malaysia, saat itu sedang menyelesaikan S2 di UKM. Saya sempat khawatir juga,” kenang Hafnizal.

Namun, apa yang terjadi kemudian, justru di luar perkiraaan Hafnizal. ”Ada-ada saja, Tangan-Tangan Tuhan yang datang membantu dan tidak saya kenal sebelumnya. Bahkan, selama di Jakarta, saya dipinjami mobil, disuruh tinggal di apartemen selama berbulan-bulan, dan diberi uang. Banyak uang saya saat itu. Bahkan, dengan uang tersebut, bisaa pula saya membelikan netbook dan mengirimi biaya kuliah untuk anak-anak asuh. Sekali lagi, alhamdulillah,” kata Hafnizal. 

Dia sempat keberatan, pengalaman empirisnya dalam membantu anak-anak tidak mampu, diekspos. ”Saya takut dianggap ria,” ujarnya. Namun setelah diyakinkan, bahwa kisahnya bisa menjadi inspirasi bagi guru-guru yang sudah pensiun, Hafnizal akhirnya tak bisa mengelak. ”Kalau itu tujuannya, terserahlah. Tapi saya belum apa-apa,” katanya.

Kini, selain membantu anak-anak dhuafa dengan uang pensiunan guru, Hafnizal juga memiliki pendapatan dari honor sebagai komisioner Baznas Limapuluh Kota. Sejak setahun terakhir, Hafnizal memang didorong awak media bergabung dengan Baznas. Sebab, hampir nyaris setiap waktu, pekerjannya mengurus anak-anak tak mampu. Bila sewaktu-waktu terbentur, diharapkan dia bisa mendapat solusi alternatif dari Baznas.

Namun, menurut Hafnizal, potensi zakat di Baznas, masih belum maksimal. ”Banyak potensi zakat belum tergali. Sedangkan, proposal yang masuk untuk meminta zakat, sangat banyak. Termasuk dari guru-guru. Saya sempat heran juga, guru-guru kok mengadunya ke Baznas. Ternyata, ini persoalan krusial kita. SK guru  banyak di bank. Sehingga, gaji yang diterima, dipotong setiap bulan. Untuk membiayai anak kuliah, kadang sudah kewalahan. Barangkali, lewat organisasi, seperti PGRI, perlu dipikirkan penguatan kesejahteran guru,” kata Hafnizal.

Hitung-hitungan Hafnizal, banyak potensi penghasilan guru yang bisa diberdayakan untuk kesejahteraan bersama. Misalnya, uang sertifikasi yang dipotong setiap penerima. “Saya hitung-hitung, bisa miliaran loh jumlahnya. Kenapa, tak diberdayakan lewat PGRI? Nanti, kalau terkumpul, bisa digunakan PGRI buat beli tanah. Di atas tanah itu, bangunlah kantor PGRI dan ruang pertemuan untuk disewakan lewat  koperasi. Saya pikir, wadah ini nantinya bisa pula menjadi tempat mengadu bagi guru-guru,” sarannya.

Hanya saja, sebagai seorang pensiunan, Hafnizal mengaku ragu, apakah sarannya akan diterima. “Barangkali, ini perlu disuarakan kawan-kawan guru yang masih aktif. Saya pikir, perlu keberanian mendobrak sistem. Agar dari baik, supaya menjadi lebih baik lagi. Tujuannyaa kan juga untuk kesejahteraan guru. Kalau guru sejahtera, tentu lebih fokus meningkatkan kualitas pendidikan,” ujarnya.

Disisi lain, aktifitas Hafnizal membantu kuliah anak-anak dhuafa, meski dia sendiri sudah pensiun sebagai guru, menginspirasi rekan-rekanya yang memasuki usia pensiun. Misalnya saja, Zuheri Ramli,60. Pensiun sebagai guru  di Kecamatan Harau beberapa bulan lalu, Zuheri kini bergabung dengan Yaysan Haji Rasul yang dikelola Hafnizal.

Sebulan lalu, Zuheri yang dulu tercatat  sama-sama aktifis Komunitas Suara Hati Nurani Guru dengan Hafnizal, menggalang bantuan untuk Nul Melsy Elfi. Gadis pintar asal  Talangmaua, Mungka, Limapuluh Kota ini, terbentur biaya kuliah di Fakults Kedokteran, Universitas Bengkulu. 

Bersama Hafnizal, Zuheri mengantar kambing untuk dipelihara oleh keluarga Nul Melsy Efi. Sehingga, sewaktu-waktu bisa digunakan untuk biaya kuliah. “Saya sudah pensiun pula. Sama dengan Pak Oyong (Hafnizal). Ketimbang hanya duduk-duduk di rumah, saya pikir, lebih baik saya ikut kegiatan sosial yang bermanfaat untuk pendidikan,” kata Zuheri kepada Padang Ekspres secara terpisah. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

BERITAPAGI – Senin, 27 November 2017

Pemuda Semangat Perubahaan