Palembang (ANTARA) – Model pembiayaan melalui pinjaman online kian marak di tengah masyarakat, tapi banyak pula yang belum tepat dalam menggunakannya sehingga terhimpit hutang yang terus berbunga karena terpedaya jasa teknologi finansial ilegal.
Zainab (33) sama sekali tidak menyangka dirinya akan dipermalukan sedemikian rupa gara-gara meminjam uang secara online di sebuah lembaga teknologi finansial (fintech) ilegal yang belakangan dia ketahui.
Penjual nasi di kawasan Benteng Kuto Besak Palembang ini, mengenal jasa pinjaman online ilegal tersebut dari seorang pria yang ‘door to door’ mendatangi sejumlah pedagang di tempat wisata tersebut.
“Cuma KTP, nomor telepon, dan ada rekening bank lalu kontak nomor telepon beberapa orang anggota keluarga. Itu saja, mudah sekali kedengarannya waktu itu,” kata dia yang diwawancarai di tempatnya berdagang kawasan Benteng Kuto Besak Palembang, Jumat (8/11).
Lantaran tergiur dengan ucapan bahwa uang akan ditransfer pada hari itu juga, Zainab pun tanpa pikir panjang langsung meminjam uang senilai Rp2 juta sesuai dengan batas maksimalnya, dengan masa pengembalian satu bulan.
Ibu tiga anak ini membutuhkan uang untuk berpindah lokasi berjualan ke kawasan kuliner yang persis berada di bantaran Sungai Musi. Ia membutuhkan tambahan modal untuk membeli gerobak baru, kursi dan meja.
Karena sudah menggebu, ia pun tidak mempertimbangkan bahwa pinjaman online tersebut memberikan bunga yang sangat tinggi yakni 1,5 persen per hari atau 45 persen per bulan.
“Ya saya butuh modal, untuk beli gerobak yang agak bagus, karena waktu itu pemerintah fasilitasi tempat untuk puluhan pendagang karena Palembang mau Asian Games tahun 2018 lalu,” kata dia.
Dengan harapan meraup untung besar karena Palembang bakal dikunjungi banyak wisatawan, ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Zainab malah merugi karena omset yang diraup hanya Rp500.000 per hari, sementara modal yang dikeluarkan sekitar Rp350.000.
Praktis, ia hanya mengantongi untung sekitar Rp150.000 per hari. Namun ini bukanlah untung bersih karena Zainab juga harus membayar biaya kebersihan, listrik, dan keamanan sekitar Rp33.000 setiap harinya.
Saat itu, Zainab juga tidak mengerti mengapa warung tenda kuliner khas Palembang itu kurang menarik minat pendatang sehingga sebagian besar pedagang mengalami kerugian. Dalam kondisi seperti itu, tentunya sulit baginya untuk menyisihkan uang untuk membayar hutang pokok plus bunga.
Akibat tak membayar, pada hari pertama jatuh tempo ia sudah mendapatkan telepon plus pesan singkat dari pengelola fintech ilegal. Keesokan harinya, Zainab mulai diteror, dengan ditelepon dan di-sms berkali-kali. Mirisnya lagi, ia mendapatkan cacian tak pantas, mulai dari akan dilaporkan ke polisi, hingga suruhan untuk menjual barang-barang pribadi.
Karena sudah tidak tahan atas keadaan itu, Zainab memilih menonaktifkan telepon selulernya. Rupanya pengelola fintech ilegal tersebut tak kehilangan akal. Mereka mulai menghubungi satu per satu kerabat Zainab sehingga benar-benar mempermalukannya. Akhirnya, ia terpaksa menjual cincin perkawinannya.
“Ada salah seorang keluarga saya, sampai marah-marah. Kenapa kamu yang pinjam, saya yang ditagih. Saya benar-benar trauma,” kata dia.
Saat akan membayar, betapa terkejutnya ia karena dengan keterlambatan 20 hari dari jatuh tempo membuat hutang pokoknya melenjit dari Rp2.000.000 menjadi Rp2.900.000. Kemudian dirinya juga harus membayar denda Rp800.000 karena setiap hari mendapatkan denda Rp40.000 sehingga total harus membayar menjadi Rp3.700.000. “Pas dengan harga emas satu suku waktu itu,” kata Zainab lirih.
Saking kesal atas keadaan itu, Zainab juga meluapkan amarahnya ke seseorang yang menawari pinjaman online tersebut. Namun, bukannya mendapatkan ucapan yang menyejukan dari yang bersangkutan, ia malah dimaki-maki dengan alasan jika tidak sanggup membayar seharusnya tidak usah meminjam uang.
Kejadian buruk yang menimpa Zainab ternyata juga dialami pedagang lain di kawasan kuliner BKB tersebut, Aliyah. Perempuan asal Ogan Komering Ilir ini juga mengaku jera berhubungan dengan fintech ilegal.
Menurutnya, karena kejadian yang menimpa Zainab dan Aliyah tersebut membuat sebagian besar pedagang di kawasan kuliner itu enggan meminjam uang secara online. Mereka lebih percaya meminjam uang ke perbankan, salah satunya BRI yang menawarkan bunga hanya 7,0 persen per tahun dengan masa pengembalian 12 bulan.
“Bisa pinjam mulai dari Rp5 juta sampai Rp25 juta, tapi yang di sini rata-rata pinjam Rp5 juta. Memang agak lama prosesnya jika dibandingkan pinjaman online, tapi daripada tidak bisa bayar saya dipermalukan,” kata dia.
Namun dibalik kisah pilu pinjaman online ilegal tersebut, cerita berbeda justru dialami Febri. Lulusan SMK Negeri 6 Palembang jurusan jasa boga ini malah mendapatkan berkah atas keberadaan model pembiayaan finansial teknologi ini.
Ia yang memiliki usaha catring bersama ibunya sudah beberapa kali memanfaatkannya, seperti pada April lalu, saat ia mendapatkan pesanan 1.000 piring dengan harga satuan Rp25.000.
“Kalo usaha catring kan jelas, modal dan untung itu langsung dibagi dua saja. Jadi saya pikir apa salahnya pinjam secara online saja untuk tambahan modalnya yang kurang Rp4.000.000,” kata dia.
Febri kemudian mencari informasi lembaga fintech yang terdaftar di situs resmi Otoritas Jasa Keuangan. Akhirnya ia merujuk pada dua jasa fintech sekaligus karena kebutuhan modal Rp4 juta, sementara masing-masing lembaga hanya menyediakan limit maksimal Rp2 juta.
Salah satu yang menjadi konsentrasi Febri saat itu, selain fintech tersebut harus legal, juga suku bunganya harus relatif rendah. Jasa fintech legal ini ternyata menawarkan bunga 0,8 per hari dengan masa pengembalian maksimal 60 hari. Sementara untuk denda biaya keterlambatan hanya 1,0 persen per harinya dari total pinjaman.
Kemudian, persyaratannya juga relatif mudah yakni KTP, nomor telepon, dan rekening bank, serta sama sekali tidak mencantumkan nomor telepon kerabat seperti yang sempat dikhawatirkan Febri.
“Saat dihubungi petugas administrasinya, hanya dikasih tahu suara saya direkam, ada kamera untuk memindai wajah dari aplikasi yang sebelumnya saya ‘download’. Itu saja, jadi saya tenang, tidak ada minta-minta nomor telepon,” kata dia.
Karena semua persyaratan terpenuhi, Febri pun langsung menerima transfer dana dari jasa fintech tersebut dan ia sangat bersyukur karena dapat mengembalikan pinjaman tersebut dalam masa satu bulan.
UMKM dan pertumbuhan ekonomi
Pengamat ekonomi Universitas Sriwijaya (Unsri) Isni Andriana mengatakan pinjaman online saat ini berkembang pesat di masyarakat karena didasari adanya kebutuhan dari masyarakat yang ingin mendapatkan dana cepat tanpa persyaratan administrasi yang ribet.
Bila bank konvensional mengharuskan calon peminjam membawa dokumen dan pergi ke cabang bank tersebut untuk melakukan transaksi, pendaftaran tabungan, mengajukan kredit dan lain sebagainya, dengan fintech bisa menghemat banyak waktu karena proses pendaftarannya yang tidak memakan waktu lama, dan cukup menggunakan smartphone saja.
“Sebenarnya fintech ini menjadi solusi atas persoalan UMKM selama ini yang sulit untuk bankable,” kata dia.
Seperti diketahui, lembaga keuangan formal saat ini hanya dapat menembus 20 persen dari UMKM. Data OJK menunjukkan, dari 59 juta pelaku UMKM di Indonesia, baru sekitar 12 persennya yang memiliki akses ke layanan pinjaman. Padahal, UMKM berkontribusi hingga 60 persen terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Terkait ini, Isni menilai, justru perusahaan fintech lending dapat meraup peluang ini karena realisasi penyaluran pinjaman diketahui 80 persennya ke pelaku UMKM. Bahkan, saat ini fintech berusaha menemukan cara untuk mengambil 40 persen masyarakat yang tidak memiliki rekening bank.
“Inilah mengapa saya percaya bahwa fintech, melalui dukungan dan bimbingan yang tepat dari regulasi, akan dengan cepat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar dia.
Tapi dengan catatan, ia melanjutkan, masyarakat perlu diedukasi bahwa pinjaman online ini tidak bisa dilakukan untuk setiap kegiatan ekonomi. Peminjam harus menggunakannya untuk kegiatan produktif yang benar-benar menghasilkan untung dalam waktu dekat atau ‘bridging loan’.
Ini penting dipahami oleh masyarakat mengingat pinjaman online memberikan suku bunga yang relatif lebih tinggi dari bank, dan tenor waktu yang singkat yakni hanya satu hingga dua bulan saja.
Selain itu, yang teramat penting yakni mengedukasi masyarakat untuk mengakses pinjaman online yang sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan karena fintech ini memiliki sistem yang selalu diawasi oleh otoritas, termasuk adanya penerapan kode etik yang dirumuskan asosiasi fintech itu sendiri.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan Regional VII Sumatera Bagian Selatan Panca Hadi Suryatno mengatakan OJK sudah mengeluarkan aturan yang ketat terkait penyelenggaraan fintech seperti aturan bunga maksimal 0,8 persen per hari dan pelarangan untuk mengakses data pribadi peminjam.
“Jadi yang boleh itu hanya pakai microphone, kamera, dan lokasi. Di luar itu tidak boleh, jika terbukti maka jasa fintech-nya akan langsung ditutup. Tapi ini untuk fintech legal (terdaftar) di OJK saja,” kata Panca yang dijumpai di ruang kerjanya Jumat (8/11).
Tapi, ia melanjutkan, pemerintah juga tidak menutup mata atas kejadian-kejadian terkait fintech ilegal. Melalui Satgas Waspada Investasi, yangmana OJK juga terlibat didalamnya, juga aktif dilakukan pemblokiran situs-situs fintech ilegal bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Pada Oktober 2019, Satgas menutup 133 entitas.
Akan tetapi, pelaku kejahatan ini tetap tidak kehilangan akal dengan terus menciptakan entitas baru fintech ilegal. Berdasarkan temuan terbaru Satgas pada Oktober lalu diketahui terdapat 1.773 fintech ilegal, yangmana 34 persennya dikendalikan atau memiliki server di luar negeri.
Menurut Panca, Satgas berupaya maksimal untuk membendung operasi fintech ilegal ini dengan berkolaborasi dengan banyak pihak seperti meminta Badan Reserse Kriminal Polri untuk menindak tegas pelaku dan Kominfo untuk memblokir aplikasinya, serta melarang industri perbankan untuk bekerja sama.
Berbagai upaya penguatan fintech peer to peer (P2P) Leading juga terus dilakukan OJK dalam rangka mendorong pertumbuhan industri ini. Di antaranya, penyusunan peraturan teknis terkait pelaksanaan pendaftaran, perizinan, pengawasan, sistem monitoring online fintech lending termasuk penggunaan E-KYC (Electronic Know Your Customer).
Namun yang paling efektif, menurut Panca yakni kesadaran dari masyarakat untuk tidak mau bekerja sama dengan fintech ilegal.
Untuk membangkit kesadaran masyarakat itu, OJK Sumbagsel aktif menyambangi komunitas seperti perkumpulan istri-istri PNS dan TNI/Polri. “Saat saya memberikan edukasi, memang diakui fintech ini sedang booming di masyarakat, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari ibu-ibu ini,” kata dia.
Sejauh ini tingkat literasi masyarakat terhadap industri keuangan bank dan nonbank di Sumatera Selatan masih perlu ditingkatkan karena berdasarkan hasil survei OJK tahun 2016 baru mencapai 31,3 persen. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tingkat inklusi keuangan (pemanfaatan produk industri) yakni sudah mencapai 72,4 persen.
Oleh karena itu, edukasi terkait industri keuangan harus terus digalakkan hingga ke pelosok desa berkerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumsel melalui Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah hingga anggota industri keuangan itu sendiri seperti perbankan, asuransi, pembiayaan, pasar modal, dan lainnya.
Namun di tengah masih rendahnya literasi masyarakat dan banyaknya stigma negatif terhadap pinjaman online, sesungguhnya model pembiayaan ini memberikan berkah luar biasa bagi perekonomian Indonesia.
Sampai Agustus 2019, sebanyak 48 perusahaan fintech telah masuk ke dalam 15 kluster inovasi keuangan digital. Sementara itu, 127 fintech P2P Lending telah mengantongi tanda terdaftar dari OJK. Dari jumlah itu, tujuh pemain telah mengantongi izin permanen.
Sejauh ini 127 fintech yang terdaftar itu telah menyalurkan pinjaman senilai Rp60,41 triliun per September 2019 atau meningkat 166,51 persen (ytd), dengan outstanding pinjaman mencapai Rp10,18 trilun atau meningkat 101,83 persen (ytd). Sedangkan untuk jumah rekening peminjam mencapai 14.359.918 entitas atau meningkat 229,40 persen (ytd) dan akumulasi rekening lender 558.766 entitas atau meningkat 168,28 persen (ytd).
Khusus di Sumatara Selatan, jumlah peminjam mencapai 229.841 orang dengan total pinjaman Rp754 miliar atau meningkat 136 persen (ytd) per September 2019. Sedangkan lender berjumlah 7.193 orang.
Menurut Panca, jika merujuk pertumbuhan maka capaian tahun ini cukup mencengangkan, tapi jika merujuk pada jumlah penduduk Sumatera Selatan sekitar 8 juta jiwa, sejatinya potensi ini belum tergarap maksimal.
Head of Public & Government Relation Akseleran, Rimba Laut di Palembang (3/5/2019), mengatakan, hal ini juga yang melatari perusahaannya terus memperluas akses permodalan Usaha Mikro Kecil dan Menengah maupun alternatif berinvestasi di luar Pulau Jawa.
Keputusan ini juga dilatari fakta bahwa jumlah peminjam (borrower) tertingginya untuk di Sumatera justru ada di Sumatera Selatan hingga Maret 2019 dengan total Rp4 miliar. Sedangkan, jumlah pemberian dana mencapai sekitar Rp7 miliar.
“Target kami secara nasional senilai Rp1 triliun dengan jumlah pemberi dana pinjaman bertambah hingga 100 ribu. Dengan semakin meleknya masyarakat terhadap fintech, kami sangat optimis target ini bakal tercapai,” kata dia.
Hadirnya fintech ilegal yang mengenakan bunga tinggi tak masuk akal dan metode penagihan yang tak manusiawi, membuat nama fintech terkesan negatif akhir-akhir ini. Namun, masyarakat tidak perlu khawatir atas keberadaan fintech ilegal yang meresahkan ini karena Otoritas Jasa Keuangan terus mengawasi semua kegiatan fintech agar terus tumbuh dan berkembang di Indonesia.