Harus Ada Sumber Pertumbuhan Baru
Menggairahkan perekonomian yang stagnan bukanlah perkara gampang. Dibutuhkan sinergi kebijakan dan pengelolaan anggaran yang tepat sasaran.
Pemerintah baru saja merilis RAPBN 2018 dengan target belanja negara Rp 2.204,4 triliun dan penerimaan Rp 1.878,4 triliun. Melalui rancangan anggaran tersebut, pemerintah menyatakan komitmennya untuk menjaga pengelolaan fiskal yang sehat dan berkelanjutan.
Komitmen itu tercermin dalam sejumlah indikator ekonomi makro dan target dalam postur anggaran. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang dipatok 5,4 persen hingga target perpajakan Rp 1.609,4 triliun. Namun, untuk menggapai target tersebut, banyak tantangan yang mesti dilewati.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan, target pertumbuhan 5,4 persen pada 2018 harus tercapai. Sebab, jika tak tercapai, akan muncul dampak, yakni pada tingkat pengangguran yang semakin tinggi.
Menurut Enny, selain mencapai target, kualitas pertumbuhan harus mementingkan pemerataan ekonomi. Dengan begitu, dampak pertumbuhan ekonomi juga dirasakan seluruh lapisan masyarakat. “Mengapa harus 5,4 persen, itu karena elastisitas pertumbuhan kita 1 persen (menciptakan, red) kurang dari 200 ribu lapangan kerja baru,” ujarnya.
Jika pertumbuhan 5,4 persen tidak terpenuhi, bukan hanya angka pengangguran terbuka yang semakin lebar. Angka pengangguran terselubung juga akan bertambah. Dia mencatat, angka pengangguran terselubung saat ini lebih dari 15 persen. “Jadi, sekarang yang harus dilakukan adalah mengejar target pertumbuhan. Tetapi, kualitas pertumbuhan juga harus diperbaiki,” tegasnya.
Salah satu upaya perbaikan yang efektif ialah mencari sumber-sumber pertumbuhan baru. Hingga kini sumber-sumber pertumbuhan masih terpaku pada sektor-sektor jasa dan perdagangan. Dengan adanya sumber pertumbuhan baru, pemerataan bisa tercapai. Kata Enny, salah satu janji pemerintah yang harus direalisasikan adalah transformasi struktural. Langkah transformasi struktural diperlukan agar struktur ekonomi juga dapat digerakkan sektor-sektor produksi dan investasi.
“Jadi, bagaimana agar struktur ekonomi kita yang hanya lebih banyak digerakkan konsumsi ini mulai juga menggerakkan sektor produksi, sektor investasi. Baru ada pemerataan,” tuturnya.
Dari sisi perpajakan, lanjut Enny, pengenaan cukai kantong plastik perlu dilakukan. Menurut dia, selain dapat meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan, pengenaan cukai kantong plastik bisa digunakan pemerintah untuk menambal defisit dari kekurangan penerimaan pajak. “Cukai kantong plastik, bukan cukai plastik. Cukai ini bukan maknanya hanya sebagai sumber penerimaan negara, tapi sebagai pengendalian yang paling utama,” urainya.
Di tahap awal, pemerintah dapat mengenakan cukai dengan tarif rendah pada kantong plastik. Kemudian dinaikkan secara bertahap untuk mengendalikan peredarannya. Enny juga menggarisbawahi perlunya pengelompokan pada kantong plastik yang akan dikenai cukai. Kenaikan tarif cukai juga perlu dilakukan pada minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA).
Dosen kebijakan ekonomi FEB Universitas Indonesia Berly Martawardaya memandang perlunya pengategorian tarif cukai pada jenis kantong plastiknya. Hal itu disebabkan dampak buruk pencemaran kantong plastik pada lingkungan. “Landfill (tempat pembuangan) dipenuhi kantong plastik, di sungai, di laut mencemari. Tapi, perlu ada kategori. Misalnya, plastik yang sudah biodegradable yang cepat terurai tak perlu kena cukai. Cukai dikenakan ke kantong-kantong plastik yang susah terurai,” tuturnya.
Target penerimaan bea dan cukai di RAPBN 2018 ditetapkan Rp 194,1 triliun atau naik Rp 5 triliun (2,6 persen) dari outlook APBN Perubahan di 2017. Khusus target setoran dari cukai Rp 155,4 triliun. Perinciannya, berasal dari cukai hasil tembakau Rp 148,2 triliun, cukai etil alkohol Rp 170 miliar, cukai minuman mengandung etil alkohol Rp 6,5 triliun, dan pendapatan cukai lainnya yang diharapkan berasal dari cukai kantong plastik Rp 500 miliar.
Secara umum, target penerimaan negara saat ini didominasi penerimaan pajak ketimbang penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dalam RAPBN 2018, pemerintah menetapkan target penerimaan negara Rp 1.878,4 triliun yang terdiri atas penerimaan pajak Rp 1.609,38 triliun dan PNBP Rp 267,87 triliun dan penerimaan hibah Rp 1,19 triliun.
Berly memandang rancangan tersebut dibuat sedemikian rupa karena PNBP, terutama dari sektor migas, sudah tak bisa jadi andalan. “PNBP sudah turun terus. Orang yang masih bilang Indonesia kaya migas harus mikir lagi. Dari sektor komoditas (tambang) juga sudah mulai turun. Sekarang malah kita sudah net importer. Di mana sekarang pajak menyumbang 85 persen lebih penerimaan” urainya.
Karena itu, penerimaan dari PNBP, terutama migas, tak lagi bisa berkontribusi banyak. Pemerintah diminta harus memaksimalkan cukai dan pajak. Hal itu mengingat potensi cukai memiliki peluang yang besar. Dengan begitu, pajak dan cukai merupakan sektor pendapatan yang harus digenjot. “Migas sangat kecil. Andalan masih PPh nonmigas dan cukai. Makanya, kalau maksimal, 2018 harus memaksimalkan pajak dan cukai,” jelasnya.
Terkait inflasi 3,5 persen, ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menilai target tersebut cukup agresif. Sebab, dengan target inflasi yang rendah, pemerintah harus berupaya keras menjaga stabilitas harga pangan. Selain itu, dari segi spending atau belanja, untuk tahun depan pemerintah tampaknya berfokus pada pemerataan sosial, baru selanjutnya belanja infrastruktur. Ada dua hal yang menjadi tantangan dalam belanja pemerintah tahun depan.
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta menuturkan, pertumbuhan tahun depan bisa mencapai target jika pemerintah melakukan beberapa kebijakan yang tepat sasaran. Di antaranya, harmonisasi belanja dan penerimaan. Kemudian memperkuat pertumbuhan sektor riil, khususnya dari swasta. Selanjutnya, pemerintah harus menjaga defisit di level aman.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus D.W. Martowardojo menilai RAPBN 2018 sudah sesuai dengan sasaran BI. Dari sisi nilai tukar, dia melihat asumsi Rp 13.500 per USD sudah cukup sesuai. “Itu bisa kami terima,” katanya.
BI sendiri memproyeksikan rupiah pada 2018 berada di kisaran Rp 13.400 sampai Rp 13.600 per USD. Menurut Agus, asumsi rupiah itu sudah tepat, terutama didasarkan pada inflasi yang rendah. Meski begitu, ada beberapa hal yang perlu diwaspadai terkait rupiah, terutama faktor global. Kebijakan fiskal dan perdagangan global dari pemerintahan AS akan memengaruhi rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS. Hal itu juga dapat pengaruhi pergerakan rupiah.
Di luar rupiah, mantan menteri keuangan tersebut menilai komitmen pemerintah untuk menuju defisit fiskal 2,19 persen sudah tepat. Sebab, tahun ini defisit fiskal diperkirakan mencapai 2,67 persen. Selain itu, total utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih aman karena hanya mencakup 28 persen dari PDB. “Kalau tidak lebih dari 30 persen saya kira masih aman,” lanjut Agus.
Ragu Ekspansi
Sementara itu, pelaku usaha digelayuti pertanyaan soal kapabilitas pemerintah merealisasi target-target yang dipatok dalam RAPBN 2018. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyorot target penerimaan pajak yang dipatok tinggi. Menurut dia, sebenarnya tidak ada masalah dengan peningkatan target pajak. Asal pemerintah konsisten dengan usahanya untuk mendorong daya saing pengusaha.
“Pajak akan selalu mengikuti pertumbuhan ekonomi. Apa yang kita lihat selama ini adalah stagnasi. Target pertumbuhan 5,4 persen tidak pernah tercapai. Cenderung di bawahnya,” ujarnya. Melihat potensi yang dimiliki pelaku usaha, mencapai target pajak tak sulit jika koordinasi pemerintah, khususnya dalam konteks antar kementerian, terjalin dengan baik. “Sebenarnya kami menilai arah pengembangan ekonomi Presiden Jokowi sudah baik. Tapi, implementasinya buruk. Kuncinya ada di soliditas kabinet. Jika sistem manajemennya masih amatir begitu, ya kami pelaku usaha ragu untuk melakukan ekspansi dan mengembangkan usaha masing-masing,” beber Hariyadi. (*)
LOGIN untuk mengomentari.