in

Mencari Jati Diri Payakumbuh

Botuang (bambu) tidak sekadar diletakkan jadi judul acara di Payakumbuh Botuang Festival (PBF) 2017. Ada beberapa hal yang melingkupinya. 

Bambu akrab dalam kehidupan masyarakat, terutama di Payakumbuh. Banyak nama tempat memakai ’bambu’ dan variannya seperti Buluahkasok,  Subarangbatuang, Parakbatuang, Balaibatuang, Talang dan Auakuniang. 

Dalam kultur Minangkabau, bambu tersebut dalam seni ukir, pucuak rabuang. Dalam pepatah juga disebutkan nan bak pucuak rabuang, ketek baguno gadang tapakai. Pepatah itu mengingatkan pada kita untuk hidup seperti bambu. Kecil berguna, besar terpakai. 

Kemudian, di daerah Luhak Limopuluah, alat musik tradisi kebanyakan memakai tumbuhan penahan air terbanyak ini. Misalnya, saluang, sampelong, bahkan ada telempong batuang. Begitu juga di area kuliner, rabuang (bambu muda) bisa dijadikan santapan enak.

Lebih dari itu, PBF 2017 hanyalah pancingan. Tidak hanya dalam persoalan ekonomi, tapi kebudayaan. Dari sudut arsitektur, bambu ditaksir jadi masa depan dunia. Ketika kayu sudah tak bisa ditebang, ketika bahan bangunan menanjak naik, bambu bisa dijadikan solusi. 

Informasi yang didapat dari pakar bambu asal Payakumbuh, Dr Astuti Masdar, bambu bisa bertahan 15 tahun, jika dalam penanganan yang tepat. Beliau juga memperlihatkan gambar jembatan, rumah, serta gedung yang memakai bambu sebagai bahan dasar. Terlihat kokoh sekaligus indah.

PBF juga dilaksanakan bukan hanya memperlihatkan bagaimana bambu bisa merambah ke seni instalasi atau kontemporer. Bagaimana, bambu dan bunyinya bisa menyatu dalam dunia digital.

Helat ini juga tidak hanya menonjolkan bagaimana sebuah festival bisa mengajak masyarakat dalam meningkatkan nilai ekonomis daerahnya. Atau, membentuk masyarakat yang lebih berkarakteristik.

PBF ingin membantu menemukan jati diri Kota Payakumbuh. Sebuah kota yang belum menemukan merek walau beberapa kegiatan hilir-mudik di tahun ini. Pernyataan ini bukan bermakna bahwa kegiatan yang sudah diadakan tidak rancak.

Jika ingin mengatakan Payakumbuh Kota Kuliner, Kota Wisata, Kota Fashion secara terpisah, maka kita akan menghadang dan berhadapan dengan sebutan yang sama dari daerah lain seperti Joglosemar (Jogyakarta-Solo-Semarang), Jember, dan Banyuwangi.

Payakumbuh jadi Kota Festival atau Kota Iven, lebih mungkin. Sepanjang bulan bisa digelar acara-acara yang berkaitan napas kehidupan warga. Acara itu bukan tidak ada. 

Payakumbuh beruntung memiliki tim kreatif yang solid. Baik dalam konsep maupun pelaksanaan. Nama-nama seperti Iyut Fitra, Ijot Goblin, Dr Yusril Katil, Yusra Maiza dan Abdallah Rahman Razik bisa direkomendasi untuk mengerjakan segala bentuk festival. 

PBF hanyalah contoh bagaimana sebuah helat bisa menyatukan akar tradisi dan urban. Tanpa menghilangkan warna satu sama lain. PBF bisa menggerakkan syarat-syarat yang dibutuhkan masyarakat hari ini seperti ekonomi. Yang lebih penting, bisa jadi ikon Payakumbuh. Dan itu lahir dari bambu.

***

Payakumbuh Botuang Festival (PBF) 2017 sudah berjalan tiga hari (26-28 November). Antusiasme masyarakat terlihat di berbagai tempat. Bahkan hujan tak menghalangi warga mendatangi lokasi acara. Itu terpantau dari media massa dan sosial. Untuk itu, apresiaisi layak disematkan pada jurnalis yang ada di Payakumbuh dan Sumbar pada umumnya.

Acara puncak PBF akan berlangsung dua hari ke depan (1-2 Desember) di Panorama Ampangan, Payakumbuh Selatan. Tentu antusiasme, warga tetap diharapkan membubung tinggi. 

Sangat diharapkan, warga tidak untuk menonton saja, tapi menyaksikan sebuah peristiwa kebudayaan. Peristiwa yang kita harapkan bersama-sama memunculkan awal mula karakter festival di Payakumbuh. Peristiwa yang diharapkan bisa mengubah wajah Payakumbuh di masa depan. Semoga. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Sumbar Waspada Dampak Siklon Dahlia

Kabupaten Karimun Memastikan Kecukupan Sembako Jelang Akhir Tahun