Produk Ritel Online Belum Diwajibkan SNI
Pola konsumsi masyarakat terus mengalami pergeseran. Dari belanja secara offline menjadi online. Meski porsi belanja online masih sangat kecil, pertumbuhannya cukup signifikan. Pelaku bisnis harus melakukan penyesuaian dengan kondisi itu. Di sisi lain, pemerintah juga harus cepat dalam menerbitkan rambu-rambu tentang perdagangan online untuk melindungi masyarakat.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, tutupnya beberapa gerai ritel modern tidak menunjukkan daya beli masyarakat yang menurun. Melainkan pola belanja masyarakat yang sudah berbeda. ”Kelompok milenial ini cara belanjanya berbeda,” ujar Enggar di Jakarta, akhir pekan lalu. Kini masyarakat lebih simpel dalam berbelanja. Banyak yang mulai enggan berbelanja memilih barang mengelilingi lorong. Masyarakat cenderung datang berbelanja sesuai tujuannya.
Hal itulah yang menurut Enggar perlu dipahami para pengusaha ritel. Karena itu, mereka bisa menyesuaikan diri. Dia mencontohkan, perusahaan ritel harus memiliki brand spesifik. ”Memang ada perpindahan online, tapi offline tetap bisa (bertahan, Red),” katanya.
Selain soal cara belanja yang berbeda, toko ritel harus mulai melirik daerah yang ”masih sepi”. ”Kalau terlalu berdekatan, pasti ada yang menjadi korban,” jelasnya.
Senada dengan pernyataan Enggar. Managing Director Supermal Karawaci Heru Nasution mengakui saat ini pelaku usaha retail offline perlu melakukan inovasi pada bisnisnya. Sebab, Heru menganggap gerai usaha tutup karena tidak mendapat manajemen dan inovasi yang baik. ”Jika sebelumnya hanya berbasis pada consumer based, ritel sekarang ini perlu mengedepankan experience based. Nilai itulah yang dijual sehingga konsumen punya alasan untuk berbelanja di mal,” ujar Heru.
Heru menambahkan, ritel meredup tak sepenuhnya karena tergerus online. Sebab, secara porsi kontribusi, penjualan online masih sangat kecil bila dibanding offline. ”Jika kami lihat, angkanya masih 1,2 sampai 1,8 persen. Itu kecil sekali. Artinya, potensi segmen ritel offline juga masih sangat terbuka,” tambahnya.
Penasihat Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Handaka Santosa menganggap dalam kondisi saat ini, bisnis offline dan online perlu bersaing dengan fair. Untuk itu, pengusaha berharap pemerintah segera mengetok palu tentang regulasi penjualan online.
”Ada banyak hal yang perlakuannya tidak sama. Misalnya soal SNI produk yang dijual. Di bisnis offline, semua barang yang kami jual harus sesuai SNI, tetapi online tidak ada yang mengontrol. Selain itu tentu saja soal pajak. Beban pajak untuk offline sangat banyak, sedangkan itu tidak terbebani di bisnis online,” ujar Handaka.
Pelaku usaha pun tak menampik meski porsinya masih kecil, peningkatan online sangat pesat. Peritel offline pun saat ini berusaha mengintegrasikan kekuatan online untuk mendukung bisnisnya. ”Jadi, sekarang kami juga push layanan online, di mana konsumen bisa melihat dan memilih barang via aplikasi, untuk kemudian di-pick up di gerainya langsung di mal,” ungkap Handaka.
Sementara itu, menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, share transaksi online terhadap perdagangan dalam negeri masih terbilang sedikit. Meski, pertumbuhannya luar biasa. ”Tapi, sampai saat ini kami belum punya angka pasti, tiap lembaga riset punya versi sendiri-sendiri, kami akan padukan,” katanya.
Meski demikian, Suhariyanto menyebut BPS pun telah melakukan beberapa survei kecil-kecilan terhadap penggunaan transaksi online dalam konsumsi rumah tangga. Temuannya, dari 10 ribu rumah tangga, hanya 15 persen yang pernah melakukan transaksi online.
Selain itu, komoditas yang diperjualbelikan dalam online juga masih terbatas pada peralatan elektronik. Contohnya, ponsel dan berbagai aksesori seperti jam tangan. Paling besar adalah membeli tiket pesawat, kereta api, memesan hotel, serta berbagai akomodasi perjalanan lainnya. ”Kalau komoditas-komoditas besar seperti pangan atau beras tidak pakai online,” jelasnya.
Saat ini BPS tengah berunding dengan asosiasi pengusaha online Indonesia E-Commerce Association untuk merumuskan dan memetakan besarnya transaksi ekonomi digital pada total perekonomian nasional. ”Data-data transaksi online, mereka sudah punya,” katanya.
Menurut Suhariyanto, perlu ditentukan kriteria konsumsi rumah tangga yang baru dalam transaksi online. Dalam metode yang konvensional, BPS biasanya menggunakan klasifikasi konsumsi rumah tangga yang sudah diuji dengan standar internasional. ”Klasifikasinya disamakan dulu, kalau tidak sama, nanti semuanya bingung,” ungkapnya.
Perlu juga mendeteksi komoditas apa yang akan menjadi tren ke depan. Selain itu, perubahan transaksi online begitu cepat. Suhariyanto menjelaskan, saat ini e-commerce bisa digolongkan menjadi dua, formal dan tidak formal. Formal adalah penjualan barang di platform toko-toko online yang terkemuka seperti Tokopedia, Bukalapak, Lazada, dan Zalora.
Selain itu, saat ini tengah berkembang penjualan tidak formal. ”Seperti ibu-ibu yang menjual barangnya lewat Facebook, itu kan transaksinya online, tapi bayarnya tidak,” kata Suhariyanto. Gejala semacam itu juga perlu dirumuskan ke depan. Namun, menurut Suhariyanto, pemerintah bakal fokus pada transaksi yang formal terlebih dahulu. ”Semoga kita cepat dapat picture (gambaran, Red),” ungkapnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.