in

Mendesak Myanmar Akui Etnis Rohingya

Laporan Human Right Watch mencatat setidaknya tiga desa di Rakhine Barat dibakar oleh tentara Myanmar yang mengakibatkan 28 orang tewas. Kondisi tidak hanya terjadi saat ini, tetapi sejarah mencatat berbagai kekejaman terhadap etnis Rohingya telah terjadi sejak masa lalu.

Salah satu akar masalah penderitaan etnis Rohingya di Myanmar adalah dihapuskannya etnis Rohingya dari konstitusi Myanmar (Constitution of the Republic of the Union of Myanmar 2008). Pemerintah Myanmar secara resmi hanya mengakui 135 kelompok etnis yang berbeda.

Kelompok etnis ini dimasukkan dalam delapan “ras etnis nasional utama”, yaitu Kachin, Kayah, Kayin, Chin, Mon, Bamar, Rakhine, dan Shan. Warga etnis Rohingya secara perlahan-lahan semakin terbuang dari Myanmar.

Keadaan etnis Rohingya tidak juga membaik. Pemerintah Junta Militer Myanmar pun masih mendiskriminasi etnis Rohingya sehingga pecah kerusuhan besar pada 2012 dan 2014.

Puncaknya pada 2015, Pemerintah Myanmar diduga mencabut status kewarganegaraan etnis Rohingya, dengan cara menarik kartu putih (KTP sementara) dari penduduk etnis Rohingya sehingga tidak punya kewarganegaraan lagi. Inilah penyebab mereka mengungsi dari Myanmar karena tidak punya status kewarganegaraan dan perlakuan diskriminasi.

Situasi inilah yang dihadapi oleh negara-negara kawasan, termasuk Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Pada awal 2015 di Indonesia, khususnya Provinsi Aceh dan Sumatra Utara menerima gelombang pengungsi etnis Rohingya yang berasal dari Bangladesh dan Myanmar.

Menteri Luar Negeri RI menyebutkan, sepanjang awal Maret 2015 terdapat empat gelombang pengungsi Rohingya dan Bangladesh yang masuk dengan perahu. Gelombang pertama sebanyak 558 orang, gelombang kedua 664, gelombang ketiga 47 orang, dan gelombang keempat 96 orang.

Total berjumlah 1.346 orang. Gelombang pengungsi Rohingya di Indonesia pertama kali terjadi pada 2009, dan kini sebagian mereka telah ditempatkan di rumah detensi dan penampungan di berbagai tempat di Indonesia.

Belajar dari kasus Rohingya, banyak persoalan yang dapat diambil manfaatnya, mengingat hingga kini Indonesia belum menjadi negara pihak pada Konvensi Jenewa Tahun 1951 tentang Pengungsi dan Protokol 1967. Padahal, gelombang pengungsi ke Indonesia semakin banyak dan dari aspek kenegaraan akan menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia.

Terhadap pengungsi akibat human made disaster yang menjadi korban gangguan terus-menerus terhadap pribadi atau kebebasan fundamental atau penindasan/persekusi karena ras, warna kulit, asal etnis, agama, golongan sosial atau opini politik mereka, terutama karena mereka terpaksa meninggalkan negara asalnya, pada dasarnya juga tetap merupakan persoalan humaniter dan ditangani secara humaniter pula (Eny Soeprapto: 2000).

Dalam jangka pendek, selain tetap memberikan pertolongan dan bantuan bagi kelangsungan hidup mereka, Indonesia dituntut memainkan peran global terkait permasalahan etnis Rohingya yang semakin menjadi beban kawasan Asia Tenggara.

Namun, tantangan Pemerintah Indonesia ataupun UNHCR serta IOM dalam penanganan etnis Rohingya tidaklah mudah. Di antaranya, pertama, sulitnya pemulangan ke Myanmar karena mereka tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar dengan dasar telah dihapusnya etnis Rohingya dari konstitusi Myamnar.

Dampaknya, mereka tidak diberikan identitas kewarganegaraan (KTP) sehingga terbuang menjadi stateless citizen (penduduk yang kehilangan status kewarganegaraan), dan otomatis tidak ada jaminan pemenuhan HAM dari negara terhadap mereka.

Kedua, tantangan sulitnya UNHCR mempromosikan pengungsi etnis Rohingya ke negara-negara pihak dalam Kovensi Jenewa Tahun 1951 tentang Pengungsi dan Protokol 1967. Contohnya, dalam beberapa tahun terakhir, hanya ada 16 orang Rohingya yang diterima Pemerintah Jerman, meskipun alokasi setiap tahunnya 500 orang.

Lebih banyak negara pihak menampung pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika. Bahasa menjadi kendala karena sebagian besar imigran Rohingya memiliki kesulitan berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris.

Ketiga, lamanya etnis Rohingya ditampung di Indonesia akan menjadi beban negara. Dalam UU Imigrasi, hanya diberikan jangka waktu maksimal 10 tahun dan sulit menempatkan etnis Rohingya di negara-negara pihak.

Sejalan dengan Pembukaan UUD 1945, Indonesia menyatakan bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dalam konteks pengungsi Rohingya, menemukan relevansinya. Jika tidak bisa menjamin kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai sebuah bangsa, minimal Pemerintah Myanmar memberikan pengakuan dan perlindungan etnis Rohingya sebagai warga negaranya.

Sebagai salah satu negara tertua di Asia Tenggara, Indonesia melalui pemerintah tentu diharapkan memiliki peran besar untuk menggunakan seluruh upaya diplomasi dalam menekan Pemerintah Myanmar menjamin perlindungan dan pemenuhan hak bagi etnis Rohingya.

Cara paling sederhana adalah pengakuan mereka sebagai warga negara dan dimasukkan dalam konstitusi Myanmar, bersama 135 kelompok etnis lainnya. Peran diplomasi tidak hanya menjadi tugas Pemerintah Indonesia, tetapi juga aktivis HAM.

Terutama National Human Right Instution (NHRI) yang terus menyampaikan sikap dan pandangannya. Kerja sama di kawasan dan internasional menjadi salah satu upaya menekan Pemerintah Myanmar, yang represif terhadap etnis Rohingya.

Jika upaya diplomatik dan multilateral buntu, mempertimbangan praktik Pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya dan persoalannya menjadi beban kawasan Asia Tenggara, tidak salah jika ada usulan kepada Pengadilan Pidana Internasional bahwa Pemerintah Myanmar telah melakukan pelanggaran HAM berat. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional mengatur adanya pelanggaran HAM yang berat, yaitu kejahatan genosida.

Mengingat perbuatan ini sudah memenuhi unsur yang diatur, yaitu setiap tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan ataupun sebagian, kelompok bangsa, etnis, ras, atau agama seperti dengan cara (a) Pembunuhan para anggota kelompok; (b) Menyebabkan kerusakan/luka-luka tubuh ataupun mental yang sangat serius terhadap anggota kelompok;

Selanjutnya, (c) Dengan sengaja merugikan kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkah dapat berakibat pada kerusakan fisik secara keseluruhan ataupun sebagian; (d) Tindakan berat yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran kelompok itu; dan (e) Pemindahan paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain. 

ROL

Redaksi:
Informasi pemasangan iklan
Hubungi:
Telp. (0651) 741 4556
Fax. (0651) 755 7304
SMS. 0819 739 00 730

What do you think?

Written by virgo

Setya Novanto Jadi Ketua DPR Lagi, Ini Kata Jokowi

Lukman Edy Terpilih Pimpin Pansus RUU Pemilu